Melihat masa lalu yang begitu gelap, hanyalah angka-angka dan prediksi yang mampu meraihnya. Sedangkan Ali Syariati memilih kitab suci demi menguak sejarah yang tak sempat terekam itu: tragedi dan ironi kedua anak Adam.
Pemikir cerdas dari negeri para Mullah itu mengingatkan kita kembali tentang Qabil dan Iqlima serta Habil dan Lubuda (Abel dan Cain dalam tradisi Ibranik). Tatkala tiba saat dimana anak-anaknya harus dinikahkan, Qabil menolak perintah orang tuanya agar menikah dengan Lubuda yang tidak secantik Iqlima parasnya. Adam dan Hawapun bimbang dan Allah menyambut kebimbangan itu dengan sebuah petunjuk: barangsiapa yang memberikan pengorbanan kepada Tuhan pada sebuah bukit, dan kurbannya diambil, kepadanyalah dikasihkan hak untuk menikahi Iqlima.
Syahdan, setelah semua persiapan rampung maka pengurbanan siap dihidangkan kepada Ilahi, yang tidak menghianati dari firasat Adam bahwa Iqlima hanya cocok bagi Habil; petir menyantap kurban Habil hingga kinclong tak tersisa. Sementara gandum yang memang bukan dari gandum terbaik di masa itu, masih utuh dan tidak raib seperti domba Habil. Tepat setelah itu, muncul iri-dengki dalam hati Qabil, yang dia pelihara hingga membelukar menjadi benci – sebuah benih kejahatan dalam diri manusia.
Ketika Adam harus meninggalkan rumah untuk beberapa hari, sempurnalah kesempatan itu. Yang dalam hal ini adalah air, yang mengucuri benih itu, hingga berkecambang, dan kejahatan bermetamorfosa dari niat ke laku tindakan; digenggamnya erat batu itu dan dihantamkan tepat di kepala Habil. Dan Qabil tidak akan selesai, sebelum dia benar-benar yakin jasad saudaranya itu sudah tak bernyawa. Pembunuhan, untuk pertama kalinya terjadi di atas bumi.
Demikianlah tutur Ali Syariati, bahwa Habil dan Qabil adalah pentas yang pantas dimana perwujudan manusia di zaman-zaman selanjutnya direpresentasikan: zaman tumpah darah dan peperangan. Inilah zaman yang menyisakan pilihan: “kau mau jadi serigala, atau domba?”
Homo homini lupus, adalah adagium yang hingga hari ini familiar sejak pertamakali dilantangkan Hobbes. Sang nahkoda Leviathan itu mahfum betul, bahwa makhluk yang bernama manusia itu, tidak ayal adalah serigala dengan rupa berbeda! Manusia adalah serigala bagi manusia lain, homo homini lupus. Meskipun Hobbes menawarkan monarki absolut sebagai resolusi “perang semua melawan semua (bellum contra omnes)”, bukankah saat itu rakyat menyerahkan hak menjadi serigala pada negara dan sisanya jadi domba?
Pada titik inilah, sepertinya ide – yang seakan sudah taken for granted – mengenai fitrah manusia yang katanya hanif, condong pada kebenaran dan kebaikan, mesti dipertanyakan kembali. Lantas bagaimana dengan kejahatan? Pembunuhan? Perkosaan? Serta seabreg perilaku banal lainnya; apakah laku jahat adalah wajah gelap dari tabiat dasar manusia? Fitrah itu?
Beberapa orang ada yang terang-terangan menyangkal “kebaikan” sebagai jati diri manusia, mereka sudah frustasi mempercayai kebaikan itu akan tiba dengan anggun dan mengulurkan lengannya pada umat yang malang dalam jurang yang ngarai. Pada level pemikiran, tidak ada yang lebih pantas menerima kehormatan ini selain Arthur Schopenhauer seorang filsuf Jerman yang kalah pamor dibanding Hegel. Aksioma yang dia rekat dalam-dalam adalah: “alam semesta ialah teater makan-memakan universal.”
Sedangkan pada level tindakan, Marques de Sade mengilhami betul hal ini selama duapuluh tujuh tahun didekam oleh jeruji penjara. Dengan libido membludak dan menggebu-gebu dia menyeru: “Aku membenci alam – aku harus menumbangkan rencana-rencananya. Merintangi kemajuannya, menghentikan peredaran bintang-gemintangnya, menjungkirbalikkan ruang semesta yang mengambang itu, menghancurkan apa saja yang mendukung alam dan memihak apa saja yang mengancam alam, pendek kata, menghina segala kerja-Nya...”
Tentu saja pendapat Sade adalah janggal dan picik di mata kita, sebab kejahatan merupakan kebajikan terluhur baginya, “bukalah pintu-pintu penjara, dan kebajikan bakal merengkuhmu.” Sebagai seorang dengan nafsu seksual berkobar-kobar dan perilaku banal yang acap melibas susila, mungkin Sade akan berbangga diri bila mengetahui, dunia hari ini menjadikannya sebagai simbol dari “kondisi psikologis dimana seseorang mereguk kenikmatan karena melakukan penyiksaan...” – itulah “sadisme.”
Seorang psikoanalis-sosial, Erich Fromm, membentangkan cakrawala gagasan dalam teksnya perihal sengkarut sadisme ini. Meski secara terminologis sadisme sangat dekat dengan dimensi seksualitas yang sangat privat, tetapi pada level sosial tidak jarang sadisme melakukan penampakan acapkali berita-berita kriminal muncul dalam tayangan TV.
Mereka yang mengidap sadisme, hanya bisa mengisi lobang hampa dalam jiwa mereka dengan melihat orang lain disakiti, menjerit ketakutan, kepayahan dan menderita – hal-hal yang akan memprihatinkan disaksikan oleh manusia normal. Kepuasan itu bisa saja mengisi kekeringan gairah, hasrat maupun libido, tetapi dahaga yang tersembuhkan itu tak akan bertahan lama.. Kita semua mahfum, jouissance, hasrat itu, adalah hewan yang tak pernah puas; ketika kita berhenti menkonsumsi kenikmatan, bukan kepuasan saat itu, akan tetapi kelelahan.
Nekrofilia adalah kecenderungan yang lebih serius dan ekstrem dari kelanjutan sadisme. Ketika para pengikut Marques de Sade tengah berpesta-pora diatas duka-lara makhluk lain (the others), Nekrofilic lebih nyaman menyedot kenikmatan dari kematian: benda mati, teknik, dan mayat-mayat. Sadisme menuntut objek kepuasan sebagai makhluk hidup, karena makhluk hidup yang menderita mampu menyuguhkan ekspresi horror lewat wajah atau liuk tubuh mereka. Nekrofilia sendiri mencintai kematian, hal-hal yang tidak memiliki jiwa, yang mampu dikuasai tanpa memberikan feedback apapun bagi subyek yang terpuaskan selain kenikmatan itu sendiri. Bila objek Sadisme adalah yang hidup (biotic), maka objek Nekrofilia adalah benda mati (abiotic).
Erich Fromm dalam mahakaryanya tentang Akar Kekerasan berangkat dari satu postulat dasar yakni gagasan Tinbergen: “.. di antara ribuan spesies lain, manusia adalah satu-satunya yang cara berperangnya sangat merugikan.... Manusia adalah satu-satunya spesies yang dapat menjadi pembunuh masal, satu-satunya spesies yang canggung dalam komunitasnya sendiri. Mengapa mesti begini?” Beranjak dari sana, Fromm hendak membuktikan apakah kejahatan dan kebengisan merupakan fitrah manusia?
Tesis Tinbergen diperkuat oleh laporan pertempuran masing-masing negara semenjak 1480 oleh Q. Wright: pada dekade 1500-1599 jumlah pertempuran adalah 87, sedangkan pada 1900-1949 – setengah dekade dibandingkan abad XVI – menjadi 892 pertempuran, yang artinya meningkat tajam. Data tersebut memperkuat gagasan manusia selaku makhluk yang gila berperang, dan sejarah, adalah untaian benang kusut yang merajut sweater bagi orang-orang yang terlanjur mati diatas laga peperangan.
Van Gogh - Head of a Skeleton with Burning Cigaretes - 1886

Hal ini merisaukan, karena tidak lama lagi manusia kelak akan berpikir, “apakah kelak satu saat nanti, Sadisme dan Nekrofilia tidak lagi dikategorikan penyimpangan psikologis, dan dianggap normal oleh umat manusia yang dikerubungi mayat produksi peperangan?”

Namun sebaliknya, ada hal mencengangkan pada penelitian Fromm, bahwa Sadisme dan Nekrofilia sangat dekat dengan perangai manusia modern di tengah gempuran era Sibernetik. Sebaliknya, lewat analisis antropologis, pada masyarakat primitif sendiri sangat sedikit ditemukan pertempuran dan konflik. Masyarakat primitif sangat kuat solidaritasnya, adalah masa dimana hak komunal berdiri diatas semua hak milik individual. Masyarakat primitif adalah murni model gotong-royong yang dibicarakan para pahlawan di masa lampau.
Tapi “sangat sedikit”, bukan berarti tidak ada pembunuhan sama sekali. Adapun kasus semacam Habil dan Qabil hanyalah beberapa, sisanya, kehidupan bermasyarakat didominasi oleh tolong-menolong, pemenuhan total atas kebutuhan kolektif, saling melindungi satu sama lain. Bilapun ada suatu agresi pada manusia primitif, bukanlah agresi jahat semacam sadisme dan Nekrofilia, namun bentuk pertahanan diri sebagai naluri alami makhluk hidup ketika merasa diri terancam bahaya.
Pertempuran dan intensitas konflik mengalami eskalasi ketika terjadi revolusi neolitik dan masyarakat perkotaan mulai terbentuk. Saat fase nomaden berhenti karena manusia berhasil menemukan dua hal: perkebunan dan peternakan. Manusia menetap dan membangun kilang-kilang peradaban. Komunitas keluarga (family) bermetamorfosis jadi komunitas, lalu bangsa hingga negara: peradaban terbentuk. Namun berdirinya masyarakat peradaban, menandakan individualisasi dan diferensiasi kepentingan hasil dari diferensiasi kerja. Konsep Hak Milik pribadi berangsur-angsur berdiri di atas hak kolektif, gotong-royong itu samar-samar terkubur. Konflik semakin tajam ketika individu melihat orang lain (the others) sebagai makhluk yang memiliki kepentingan berbeda.
Masa yang berkembang itu membuat agresi jahat semakin kuat menguasai manusia. Dari pertempuran antar individu, menjadi pertempuran masing-masing komunitas hingga meningkat ke – level yang paling tinggi hingga saat ini – benturan antar peradaban (Clash of Civilization) dalam kacamata Samuel Huntington. Tidak menutup kemungkinan bila makhluk Bumi berhasil membuka interaksi dengan makhluk planet lain (alien), apa yang diilustrasikan dalam Star Wars akan terjadi. Dan George Lucas itu – pencipta Star Wars –, akan dipuja bak nabi.
Pada akhirnya kita mesti menilik Maistre, “Bumi ini, bukanlah apa-apa kecuali suatu altar yang besar sekali dimana di atasnya semua yang hidup dikorbankan tanpa kesadaran, tanpa batas, tanpa henti hingga akhir zaman, sampai punahnya kejahatan, sampai matinya kematian.”
Disini, “matinya kematian”, adalah ketika kematian telah lenyap sama sekali, yang artinya tidak perlu lagi ada kehidupan – karena hanya yang hidup dapat menjangkau kematian. Terorisme, sekte apokaliptik, dan fundamentalisme agama adalah upaya mempercepat matinya kematian, dengan meniadakan kehidupan dan mempercepat akhir zaman; membalas kejahatan dengan kejahatan yang lebih besar.
Disisi lain, teks ilmiah Erich Fromm mengisyaratkan bahwa makhluk primitif itu hidup dengan rukun dan manusia modernlah biang-keladi huru-hara di atas Bumi. Tetapi di akhir bukunya, tidak ada anjuran untuk menghancurkan teknologi dan menghidupkan lagi era Neolitik. Sebab itu artinya melahirkan kembali Komunisme, dan perang demi peperangan hanya akan sahut-menyahut dalam belantara sejarah.
Fromm mahfum, dia menyadari itu dari lubuk hatinya yang jujur itu, bahwa peradaban must go on, apa yang telah diciptakan manusia tidak pernah akan mundur ke titik awal dimana semuanya bermula. Itu hanya akan membenarkan segala bentuk terorisme dan teologi apokaliptik.
Dan jauh diatas sana, di tempat yang katanya Surga, malaikat itu akan bergumam “Aha! Apa aku bilang!” sembari mengingatkan interupsinya pada Tuhan bahwa Dia akan menciptakan biang-kerok tumpah darah dimuka bumi. Bagaimanapun juga, teater makan memakan universal ini, altar ini, akan terus berlangsung hingga “penjara-penjara terbuka dan kebajikan akan merengkuhmu”, dan masa dimana matinya kematian tiba.
Bagaimanapun, Allah, “.. mengatahui sesuatu yang tidak kalian pahami”, sebagaimana ketidaktahuan Ali Syariati. Pasca pembunuhan perdana itu, seekor gagak menghampiri Qabil dan mengajarinya menguburkan saudara kandungnya itu. Diatas kubur Habil, Qabil berlinangan air mata penyesalan seraya tengadah ke langit melacak wajah Tuhan, dia memerlukan maaf dari haribaan Allah.
Disana ada isyarat, bahwa dibalik agresi jahat dan kebanalan manusia, masih terpendam – meski mungkin sangat sedikit – pendar-pendar bernama “kebaikan”, ciri khas makhluk yang hanif bernama manusia. Hal itu yang membimbing Fromm pada akhir Akar Kekerasan, bahwa di Zaman Edan, manusia masih punya peluang, selama harapan belum musnah dari nurani.
Kita tidak perlu memilih jadi serigala atau domba, kenapa tidak jadi pengembala?