Seberapa pedihkah hati yang patah itu? Hampir semua manusia mengalaminya – kecuali bila ada yang terlahir tanpa segenggam daging bernama hati – , dan punya cara masing-masing mengatasi frustasi itu. Seorang kawan di masa lalu pernah mengutarakan tanya: “Bila kelak kau berjalan-jalan santai, melewati gerai-gerai dan etalase pertokoan atau penjual jasa, kabari aku bila kau temukan satu, dokter spesialis penghapus ingatan.”
Wajar bila manusia selalu menolak pengalaman pahit untuk dia simpan – beberapa orang malaha dimiliki oleh kepahitan itu. Tidak ada yang pernah berkehendak untuk sial, atau bercita-cita agar ekspektasinya selalu terbunuh realitas. Manusia cenderung menjauh dari stimulus-stimulus negatif, menyakitkan. Bahkan seorang masokispun, menerima suatu kesengsaraan sebagai kenikmatan bukan? Dan orang yang bunuh diri, malah menganggap kehidupan sebagai sinonim dari penderitaan, hingga dia rela menerima kematian selaku karib terakhirnya.
Tapi bagi orang normal kebanyakan, ingatan buruk selalu hendak disingkirkan entah secara sadar ataupun tidak sadar. Stimulus negatif itu dikubur dalam-dalam hingga ke dasar alam bawah sadar manusia. Kemudian, alam bawah sadar berperan penting dalam tiap laku manusia demi kita terselamatkan dan menghindari stimulus negatif yang pernah dialami.
Sampai titik ini, Nietzche kedengaran begitu masuk akal dalam aforismenya: “terberkatilah mereka yang lupa, sebab oleh itu mereka bisa belajar.” (Beyond Good & Evil).
Sayangnya kita tinggal di dunia nyata, sehingga aku tidak bisa menyarankan kawan lama tadi untuk bertandang ke tempat praktek Dr. Howard, seperti dalam fantasi pada film Eternal Sunshine of Spotless Mind.


Eternal Sunshine of the Spotless Mind


Adalah Clementine Khausvynski yang menggoncang kehidupan Jim Carey selaku Joel dalam film itu. Meski secara teknis mereka berdua adalah korban sekaligus tersangka yang sama. Plot cerita dalam film itu berkisah tentang Joel yang berkehendak menghapus mantan kekasihnya dari isi kepalanya, tepatnya di bilik dimana memori dan ingatan bersemayam. Dr. Howard punya semacam teknologi yang dimanfaatkan demi menyelamatkan masyarakat dari kenangan yang menjelma jadi parasit.
Paradoksikalitas kenangan begitu tajam: bagi yang dimabuk ekstase cinta adalah harta karun, namun racun bagi yang hatinya patah dan remuk berkeping-keping.
Joel berani melangkah ke lokasi praktek Howard meski resiko melupakan Clementine Khausvynski hampir membutuhkan seluruh kapasitas memorinya. Dalam tidur yang membiusnya, mesin itu bekerja, memetakan ingatan Joel dan menghapus sudut-sudut yang dahulu pernah hangat, ketika Clementine tinggal dalam ingatannya, sebagai kenangan yang kini harus dia kutuki dan takuti.
Film ini disamping drama dan sci-fi, juga oleh Kaufman – sang kreator naskah –  dibumbui semacam black comedy. Naskah itu dijelmakan secara audio-visual dengan jenaka. Penonton akan menerima sensasi aneh sekaligus ganjil, bahwa disela-sela romantisme masa lalu Joel dan Clementine, senantiasa terselip canda yang merangsang tawa tergelak meski secara tidak sengaja.
Meski gelak tawa dalam Eternal Sunshine of Spotless Mind tidak sepersis gelak-tawa dalam novel satiris Milan Kundera, barangkali bisa kita temukan beberapa hal mengenai “Lupa” sebagai benang merah.
Kitab Lupa dan Gelak Tawa, adalah magnum-opus Kundera yang ironis. Karyanya dicekal lantas dilarang di Praha, Cekoslovia, tempat dimana dia lahir dan dibesarkan; namun mahsyur di negara-negara lain. Di Perancis, tempat dimana Kundera jauh dari rumah dan dia tidak lebih dari orang asing, malah menganugerahinya dengan kehormatan sebagai salah satu penulis terkenal nan berpengaruh.
Dalam tulisan tentang Para Malaikat, Kundera membuat allegori – meskipun pada wawancaranya dia mengaku asing dengan allegori – tentang anak kecil sebagai manusia yang bebas dari kenangan. Tokoh utama pada teks itu begitu iri pada kehidupan anak kecil, keluguan mereka adalah semerbak pada bunga, sesuatu yang membuat dunia memiliki harapan dan warna-warna terang pun teduh.
Namun sejatinya, jantung dari gagasan Kundera barangkali tentang ikhtiar manusia melawan lupa. “Diri”, ujar Kundera, “adalah entitas yang dibentuk oleh waktu bernama masa-lalu.” Tamina olehnya digambarkan sebagai seorang istri yang berjuang merekonstruksi keping-demi-keping-ingatan mantan suaminya yang meninggal. Suaminya sepuluh tahun dari dia dan kerap mengingatkan bahwa ingatan manusia bisa menjadi sangat lemah.
Wajar saja suami Tamina berkata demikian, karena usianya jauh diatas sang isteri; dia mahfum bila usia bisa memakan daya ingat manusia. Tapi seberapa berhargakah kenangan itu? Hingga begitu dihasrati Tamina tapi sangat dibenci Joel dan Clementine? Hingga mereka enggan menyia-nyiakan waktu demi Lupa, kendati usia dan waktu bisa saja bersekutu membantu kenangan raib dari dalma diri mereka.
Syahdan, mendadak gejolak dendam gugur percah demi percah di tengah proses penghapusan ingatan, ada sebuah takut hinggap pada bagian terdalam dalam diri Joel yang dia takut hilang; ada sebuah sesal yang santai menanti dan menyiapkan rengkuhannya, tepat setelah Joel terhenyak dan tidak menyadari bahwa tahun-tahun yang dia lewati, telah dijejali oleh Clementine Khausvynski, wanita yang baru dia hapus total.
Di tengah proses penghancuran ingatan, Joel tengah berjibaku dengan dirinya sendiri; dia menimang-nimbang keputusan itu lagi, dalam mimpi, dan bersiasat agar kenangan yang awalnya dia suruh singkirkan akan dia lindungi dengan sekuat pikiran, sekuat hati. Pada detik itu, diam-diam terjadi pergolakan hebat: Joel mungkin tidak pernah membaca Kitab Lupa & Gelak Tawa, tetapi apa yang dikatakan Kundera mungkin sepersis kesimpulan Joel, “Kematian bukanlah ketika masa depan direnggut darimu, namun lantaran masa lalu lenyap dan meninggalkanmu selamanya; ‘Lupa’ ialah kematian eksistensial, mendahului kematian biologis.”
Kenangan memang sesuatu yang subtil, menduduki pikrian dan hati manusia. Terkadang, kenangan menyabotase akal sehat, hingga kuasa akan tubuh terampas. Beberapa orang memang memilih untuk mengakhiri penderitaan mereka terhadap masa lalu, menyerah dan terlalu getir untuk berdamai dengan ingatan di masa depan. Tetapi apakah itu bukan kepengecutan? Bukankah pahlawan-pahlawan revolusi tidak pernah menyangkal sejarah, tetapi dengan bijak memilih untuk belajar dari sejarah, “....agar tidak dikutuk untuk mengulanginya.”?
Pada akhirnya tepatlah Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi, novel Aan Mansyur, ketika Jiwa bercerita tentang mantan kekasihnya, “Aku tidak ingin menipu kenangan dengan melupakannya. (Meski) kenangan punya banyak cara untuk menjerat dan membunuh majikannya.”

Barangkali kenangan adalah benda yang tajam dan menawan; sepucuk mawar indah nan eksotis yang mengundang khalayak memetiknya, meski harus meneteskan darah semerah kelopaknya.