Video yang berdurasi kurang dari satu menit itu berisikan percakapan antara Azis dengan seorang gadis yang tengah lans (baca: makan) di salah satu pusat perbelanjaan di jantung Sulawesi Utara, Manado. Bagaimanapun juga media sosial telah membuktikan dirinya sebagai pasar informasi yang ampuh, dan dagelan Azis terjual laris-manis. Video tersebut menjadi viral dalam waktu sekejap, dan permintaan untuk mengunggah konten yang sama meningkat signifikan.
Barangkali humor adalah oase. Sepersis daerah berair di tengah gurun pasir nan tandus. Lelucon adalah penawar kekeringan gairah, karena kejenuhan serta kekalutan telah menggumpal bak gumukan pasir yang mengerikan. Masyarakat kita butuh rehat dan istirahat sejenak dari sengkarut problematika politik, ekonomi, hankam, sosial-budaya dan lain sebagainya. Humor adalah perspektif berbeda dalam melihat realitas yang menggurita di atas pentas hidup yang disesaki tragedi terus-menerus. Tertawa ialah jeda, supaya manusia dapat mengatur nafas dan melanjutkan hidup tanpa menderita.
Namun, “apakah makna tertawa?” Pertanyaan ontologis itu diutarakan Henry Bergson pada permulaan bukunya, Laughter (1913, McMillan).
Bagi Kant, tertawa adalah ekspresi ketubuhan tatkala sesuatu terjadi diluar dugaan. Sedangkan Schopenhauer, kelucuan ialah penyimpangan dari fenomena normal sehingga menimbulkan keganjilan-keanehan. Sensasi yang diciptakan Asis bersama pasangan komikalnya, Dita, sukses menyuntikkan stimulus mental yang kuat.
Sebelumnya tentu kita tidak pernah menduga bahwa video Dita yang dibuat spesial demi para haters direkayasa sedemikian rupa oleh Asis. Keganjilan tersebut menyeret khalayak ke garis tepi rutinitas. Heppybesdey jo key telah menjadi nuklir yang menggemparkan lanskap Kotamobagu yang sempit. Langit perkotaan lalu disesaki reriuhan serta gelak yang terbang bersama desir angin ke udara.
Bergson dalam Laughter memaparkan elemen-elemen komikal yang sukses dipraktekan vlogger lokal itu. Salah satu formula tertawa oleh Bergson adalah ketika makhluk hidup bersikap seolah-olah mekanis (bersifat mesin, benda mati). Hal itu dicerminkan oleh laku Azis yang merekayasa video unggahan Dita sesuka hatinya. Dita dalam video tersebut tak ubah laiknya mesin, yang tak memiliki kuasa atas dirinya. Dalam klip itu, Azis ialah tuhan bagi karyanya sendiri. Dengan kekuasaan mutlak merepetisi, me-replay, menyetop dan mengimitasi mimik Dita. Seperti dalam salah satu adegan dimana Dita hendak melepaskan ciuman yang diiringi soundtrack Conjuring saat Valaq muncul (film horror) atau tatkala Dita mematuhi permintaan Azis demi menyunggingkan senyum kimpul.
Daya ledak komikal itu diperkuat dengan karakter Asis yang gemulai namun kontras dengan brewok dan suara bas khas maskulin. Paradoks, merupakan formula vital untuk mengembangkan komedi.
Dalam fenomena ini kita bisa menjadikan insiden heppybesdey jo key sebagai pisau analisa untuk membedah paradigma sosial yang tumbuh dalam Bolaang Mongondow, khusunya Kotamobagu. Sebagaimana ujar Bergson, bahwa humor selalu berada dalam lingkaran sosial tertentu. Mungkin hal yang lucu bagi kita melihat seorang pemuda tak berpakaian kecuali sebatang koteka mondar-mandir di bundaran Paris (baca: tugu permesta). Namun malah mungkin adalah kelucuan pula, bila kita berpakaian lengkap nan bercadar lalu mondar-mandir di tengah suku fak-fak pedalaman di daerah Papua sana. Tak ayal, komedi selalu bertautan dengan kebiasaan sosial suatu masyarakat.
Dalam masyarakat kita, terdapat kecenderungan menertawai sesuatu lewat ejekan satir. Kebiasaan ini dikenal dengan poleke. Yang sebenarnya merupakan salah satu teknik ampuh ketika mementaskan stand up comedy. Dikenal lebih umum dengan roasting. Yakni teknik mencela dan memanas-manasi orang lain. Contohnya: “Gue denger Raditya Dika mau stand up lagi, padahal dia sekarang udah pake alphard, udah kaya, kurang duit lo(sambil ngeliatin Radit) kemaruk banget lo kaya Fir’aun”.
Fenomena heppybesdey jo key merupakan momentum menarik untuk menggali watak sosial kita. Bisakah video tersebut menjadi viral tanpa adanya roasting atau poleke? Saya masih ragu, apakah akan didapati reaksi yang sama bila video itu diedarkan di lokalitas berbeda diluar Kotamobagu.
THE POWER OF POLEKE
Barangkali poleke ialah metodologi. Dapat diaplikasikan tatkala mengomentari badut-badut berdasi atau pentas politik yang saban hari kian persis drama telenovela penuh melodrama dan intrik.
Barangkali poleke adalah seni. Dengannya kita mengasah sensitifitas dalam menyaksikan dan mengalami carut-marut realitas sosial.
Di era Gus Dur, jangan harap wejangan politik sang presiden sekaku Jokowi atau SBY; yang ada hanyalah candaan menggelikan. Humor digunakan bukan saja sebagai pisau bedah analisis atas kenyataan sosial-politk, lebih dari itu mengandung sesuatu yang subtil dan metafisik. Humor adalah pesta-pora merayakan tragedi dengan reriuhan tawa.
Barangkali humor – yang dalam lokalitas kita adalah poleke –, juga bisa digunakan sebagai senjata kritik serta kontrol sosial. Alih-alih membicarakan teori kapitalisme yang rumit dan berputar-putar yang acapkali membekukan ruangan kelas dan forum diskusi, Asis memilih menertawakannya sebagai seniman entertaiment.
Bukankah kemapanan yang ditertawakan oleh kita? Tatkala enegh¬-nya makanan hotel malah menuntun kita untuk jao-jao dari Manado cuma makang pisang goroho. Apakah laku borjuasi mini yang terjebak dalam jebakan gaya hidup yang kita tertawakan? Entalah.
Yang pasti, pola kebiasaan masyarakat kita ternyata menggemari kritik dengan cara jenaka. Seandainya bakat alamiah ini bisa diolah secara kreatif sehingga melahirkan cara berpikir produktif yang lebih luas. Katakanlah mengemas wacana politik dan pembangunan daerah dengan hangatnya canda-tawa. Mungkin melek politik akan menjadi hal menyenangkan.
Pada akhirnya mari kita ingat kembali Horacle Walpole, “hidup adalah tragedi bagi yang mengandalkan perasaan, hidup adalah komedi bagi yang berpikir.” Humor memang subtil, punya garis demarkasi yang tipis nan tajam antara ironi-komedi dan satiris- jenaka. Namun sebagaimana Bergson, mari kita menjadi manusia berpikir agar menghayati poleke dengan bahagia – tanpa tragedi, tanpa baper.
Lalu tanpa mengurangi rasa hormat, mari akhiri teks ini dengan memutar soundtrack Conjuring, dan memonyongkan mulut, siap melepaskan sesuatu yang mampu membuat pembuluh darah anda pecah berantakan: MMMMUUUUUUAAAAACCCCCHHH!
0 Komentar