Pesona kebenaran ibarat cahaya yang memberi warna pada benda agar tercerap tatapan. Tidak banyak ilmuwan, filsuf, pemikir bijak bestari, dan berbondong-bondong cendekiawan habiskan waktu berharganya demi meraup kebenaran senti demi senti, hasta demi hasta, keping demi keping: demi hakikat. Barangkali memahami kebenaran adalah sebuah kepuasan. Segalibnya ungkapan Sokrates yang diilustrasikan Mohctar Pabotinggi dalam petikan sajaknya:

“...Di balik Olympus, Krito
di balik Olympus. Senja begitu merah
begitu saga. Seumur hidup belum pernah
kusaksikan senja secemerlang itu….”

Di balik judul Senja di Athena, dalam buku Konsierto di Kyoto, Mochtar hendak gambarkan sebuah epos: hikayat perihal Sokrates yang mau dirajam. Keberanian Sokrates bersiteguh mempertahankan kebenaran secara terang-terangan di depan publik, telah membuat geram para penguasa tersohor Athena. Aap kali para elit itu terlibat perbincangan dengan Sokrates, selalu mereka merasa ditelanjangi dan ditonton laksana badut oleh rakyat Athena.

Bagi para hakim yang mengadili Sokrates, saat kecil mereka sudah mengakrabi kisah seseorang yang gemar memikirkan langit di atas dan mengusut bumi di bawah, dan menyebabkan apa yang semula baik tampaklah buruk. Sokrates kerap menampilkan realitas yang taken for granted menjadi berbeda kembali. Begitupula dengan paradigma masyarakat Athena atas supremasi Olympus.

Sudah tentu yang dirujuk Olympus oleh Sokrates adalah deretan pegunungan tempat bersemayamnya pelbagai dewa sesembahan rakyat Athena. Olympus adalah kulminasi kebenaran tertinggi bagi rakyat Yunani; disana bermukim harapan dan doa-doa publik.

Barangkali yang dimaksud dengan senja dibalik Olympus ialah kebenaran yang terbungkam. Penghambaan berlebihan atas takhayul membuat masyarakat Yunani pasrah secara mental pada status quo. Demikianlah Sokrates ditakuti selaku dalang yang disinyalir memberi kegaduhan pada anak-anak muda Athena. Dewa saja berani dikritisi, apalagi pemerintahan Yunani?

Dengan dibebani dendam dan takut, mereka secara paksa menyeret Sokrates ke meja peradilan. Tuduhan demi tuduhan menghujan. Para penuntut Sokrates adalah Anytus, seorang politisi demokrat; Meletus, seorang penyair tragedi; serta Lykon, ahli pidato yang tak menonjol. Mereka mengungkapkan Sokrates tidak menyembah apa yang disembah mereka, dan selain itu ia bersalah karena merusak kaum muda, sebab menganjurkan pemberontakan tadi kepada mereka. Demikianlah dalam literatur yang ditulis Xenopone.

Pada akhirnya Sokrates terpaku dihdapan persimpangan pilihan: berhenti menyebar kebenaran atau menegak racun; antara hidup atau mati. Namun kebenaran seperti apakah yang dinikmati Sokrates, hingga kematianpun dia sambut dengan riang?

Tentunya kebenaran yang dianut Sokrates adalah sebuah amsal: kebaikan moral dan keadilan, tak ubahnya kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan sebuah diksi yang berkonotasi transedental, luhur, dan agung.

Kebenaran dalam hal ini juga bermakna perjuangan menyingkap tabir kenyataan. Sudah fitrah dasar manusia untuk condong pada kebenaran hakiki yakni kenyataan yang tak dimanipulasi oleh dusta dan kebohongan. Negara dalam hal ini, seringkali menggunakan otoritasnya melindungi oknum-oknum tertentu agar lolos dari jeratan hukum.

Meskipun seringkali manusia menyerah karena memangku kebenaran terasa begitu muskil dibanding menerima kenyataan yang disamarkan oleh kuasa dan despotisme. Mereka adalah yang sebagaimana dituturkan Goenawan Muhammad, “’Kita tak bisa bertahan, kita tak usah menentang mereka, hidup toh hanya sebuah rumah gadai yang besar.’ Dan seraya berujar demikian, mereka pun menggadaikan bagian dari diri mereka yang baik.”

Mereka yang membela kebenaran, akan mati sebagai syuhada. Esais Catatan Pinggiran itu menggambarkan rasa kehilangannya atas seorang syuhada yang belum sempat melunaskan perjuangannya, lewat sebuah tulisan berjudul Jakarta, 10 September 2004. Tulisan itu semacam surat, yang terkhususkan untuk Sultan Alief Allende dan Diva Suki Larasati yang kini sudah beranjak dewasa.

Ketika membacanya, kita bisa merasakan getaran makna yang menyiratkan sembilu. Goenawan, dalam tulisannya berkisah, “Ayah kalian terus-menerus melawan kekerasan itu, ketidakadilan itu. Tak pernah ia merasa letih. Mungkin sebab ia tahu, di tanah air ini harapan sering luput dari pegangan, dan ia ingin memungutnya kembali cepat-cepat, seakan-akan berseru, ‘jangan kita jatuh dalam kelam!’”

Ada empati yang coba ia luapkan, tatkala dengan kelu dan sedan mengenang kepergian seorang ayah sekaligus mujahid hak asasi manusia. Tapi maut tidak pernah mudah ditebak. Orang itu, Munir Said Thalib, pasrah meregang nyawa setelah minumannya dicecoki racun oleh seorang tak dikenal.

Tragedi itu meninggalkan luka mendalam bukan hanya bagi sanak keluarga Munir, lebih dari itu, kepada keluarga korban kekerasan kemanusiaan (crimes againt humanity) yang diperjuangkan haknya oleh Munir, juga nyeri bagi manusia-manusia waras yang masih punya nurani.

Munir, sama halnya dengan kita, tidak pernah menduga pesawat yang hendak mengantarkannya ke bandara Schipol mesti menjadi TKP kematiannya. Ketika itu, ada gempa yang mengguncang bangsa kita, yang menciptakan turbulensi hingga ke relung kesusilaan, hingga hati terpancing bertanya: “kenapa kebenaran menjadi begitu seram bagi pembunuh Munir?”

Munir memang tidak memiliki kesempatan laiknya Sokrates untuk memilih antara hidup atau mati mereguk racun. Meski andaipun memiliki kesempatan memilih, kita yakin Munir akan memilih jalan yang lebih terhormat baginya: menegak racun dihadapan penjagal kemanusiaan. Bertrand Russel pernah berkata, “lebih mudah menyuruh Sokrates meminum racun dibandingkan membungkam mulutnya.” Tampaknya hal itu berlaku sama bagi Munir.

Tetapi itulah kebenaran. Kebenaran adalah kemewahan transedental yang dikaruniai Tuhan kepada makhluk hanif. Kematian bahkan, berharga jauh lebih murah untuk dibarter dengan kebajikan menyiarkan kebenaran. Sokrates dan Munir telah mengajari sejarah bahwa hidup selaku hipokrit adalah nista dan mati menggenggam kebenaran hakiki adalah senyata-nyatanya martabat.

Para penuntut Sokrates terbukti keliru mengira telah melenyapkan Sokrates, sebagaimana salah kaprahnya para pelaku pelanggaran HAM berat era Orde Baru tatkala menjagal Munir. Mereka pikir telah selesai membasmi kebenaran. Tetapi akhirnya kematian Sokrates yang terekam dalam Apology Plato dan literatur Xenopone, berhasil menyuburkan semangat zaman yang kukuh dan mendulangkan Sokrates sebagai pahlawan dan harapan; pun kematian Munir, telah membuktikan bahwa dari dalam kubur, suaranya jauh lebih nyaring menggema di telinga-telinga penjahat kemanusiaan.

Mereka sanggup meringkus Sokrates dan Munir. Tapi, tidak akan pernah mampu, membekuk kebenaran. Dibawah kemelut rona jingga, senja di Athena sedang menyiapkan duka lara, yang menjadi saksi bisu atas kata-kata Sokrates:

Kepalsuan, Krito, takkan pernah mengalahkan
Kebenaran. Sekalipun ia dibelenggu
Berkali-kali kematian!


Omah Munir, museum HAM pertama di Asia Tenggara.