Diantara atmosfer sukacita pemuda dan tekanan syak-wasangka Belanda, sekumpulan pemuda dengan khidmat merancang desain kebangsaan diatas pondasi intelektual mereka. Maka lahirlah sebuah peristiwa yang bakal dikenang sejarah, sebuah embrio bernama Bangsa Indonesia. Dan hari ini, kita menikmatinya dalam ingatan sebagai momentum Sumpah Pemuda.

Adalah pukul 19.45, tatkala kongres dibuka oleh Soegondo Djojopoespito. Quorum telah terpenuhi oleh kehadiran Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon dan sebagainya. Sedangkan kompeni sibuk menyimak persidangan sekadar berjaga-jaga kalau forum itu akan memecahkan semangat pemberontakan.

Pada sesi terakhir persidangan Kongres Pemuda II, saat Mr Soenaryo tengah berpidato, duduklah Yamin disamping kiri Soegondo sembari menyodorkan secarik kertas dan berbisik: “ik heb een eleganter formulering voor de resolutie” (saya punya formulasi yang lebih elegan untuk keputusan kongres ini), yang kemudian langsung dibubuhi paraf “setuju” oleh Soegondo saat itu.

Syahdan, diatas podium dihadapan perwakilan pemuda se-Nusantara, untuk pertama kalinya teks sumpah pemuda dikumandangkan.

Seperti bunyi nafiri kemenangan, pembacaan teks Sumpah Pemuda menimbulkan gema yang terpantul-pantul dari satu dimensi waktu ke dimensi waktu yang berbeda: dari 1928 hingga Proklamasi 1945, dari Proklamasi 1945 ke Revolusi 1966, hingga ke Reformasi 1998. Meski satu persatu pemuda tersaruk usia, namun jiwa mereka tetap abadi; Selalu mengalami reinkarnasi dalam jasad generasi-generasi pewarisnya.

Bersyukurlah atas kehadiran Yamin disana. Teks yang awalnya kaku khas draft keputusan sidang biasa dia rubah jadi seruan perjuangan yang terkesan heroik dan dramatis dengan persuasif. Lantas Keputusan Kongres Pemuda II lebih dikenal dengan julukan Sumpah Pemuda. Dan pelajaran Sejarah lebih senang mendokumentasikan versi Yamin dibandingkan aslinya.

Akan tetapi kenapa teks itu mencantumkan “kami” dibandingkan “kita”? Adakah keduanya tersebut mengandung makna berlainan?


`Dalam Eksistensialisme karya Fuad Hasan, beliau membagi dua modus kebersamaan: “mengada-bersama” sebagai suatu Kita dan “mengada-bersama” sebagai suatu Kami. Dalam modus pertama, setiap pribadi-pribadi bersangkutan seakan-akan bersetuju untuk saling memelihara keutuhan subjektifitas masing-masing. Dalam hubungan ini, masing-masing pihak tidak ada daya upaya untuk objektifikasi, menaruh curiga atau memanipulasi.

Sedangkan modus kebersamaan kedua ditandai oleh adanya pengucilan (exclusion). Dalam suasana ke-Kami-an selalu ada pihak ketiga (Dia, Mereka dan sebagainya) yang justru mesti dikucilkan dari kebersamaan saat Kami muncul. Menjelmanya kebersamaan dalam modus ke-Kami-an selalu berdasarkan pada penghayatan kebersamaan objek (Us-Object) sebagai hasil objektifikasi dari pihak ketiga tadi. Penghayatan semacam itu terasa, misalnya pada keadaan-keadaan dimana kita bisa berkata: “Ia berbicara tentang Kami” atau “Mereka itu mengamat-amati Kami”, dan lain sebagainya.

Sudah barang tentu pihak ketiga dalam konteks ini adalah kaum Kolonial. Dan yang tergolong dalam modus kebersamaan ke-Kami-an ialah suku, agama dan etnis yang diwakili pemuda se-Nusantara.

Dalam ke-Kami-an itu, individu-individu bersangkutan melebur dalam suatu kebersamaan yang solider demi mengada terhadap pihak ketiga tadi. Dalam suatu Kami, tak mungkin kita berbicara tentang penampilan diri masing-masing individu yang bersangkutan. Karena penampilan secara individual akan mengakibatkan keretakan dalam ka-Kami-an yang sedang terbentuk.

Maka sudah tepatlah apabila kata “Kami” dalam Sumpah Pemuda diikuti oleh frasa “..bertumpah darah yang satu..”, “..berbangsa yang satu..” dan “...berbahasa satu..” – fragmen yang tidak termaktub dalam draft keputusan Kongres asli.

Tentu saja setelah proses pengucilan Kami (Bangsa Indonesia) dari Mereka (Kolonial), para pemuda harus merumuskan sebuah solidaritas yang kukuh dan ajek. Solidaritas tersebut hanya dapat dibangun dengan komitmen persatuan yang tinggi. Dan persatuan dibangun atas dasar kesamaan-kesamaan yang menjadi penghubung antara pelbagai identitas yang berbeda tadi. Persatuan dalam Sumpah Pemuda ialah tatkala kita mengenyampingkan identitas partikular (Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon dan sebagainya) sembari memperkaya aspek universal (satu tumpah darah, bangsa dan bahasa)

Jackson Pollock: Convergence

Sumpah Pemuda ialah semangat zaman (zeitgeist) yang diperantarai luka dan optimisme pemuda; Sumpah Pemuda adalah ekspresi Bangsa yang capek dijajah juga hasrat mendalam demi menjemput menangnya kebebasan.

Namun sumpah, lebih dari sekadar janji. Bila janji kita maknai sebagai ucapan yang menyatakan kesediaan untuk berbuat sesuatu, maka sumpah, merupakan janji dihadapan sesuatu yang suci, agung, luhur dan transenden; Tuhan Yang Maha Esa. Tidak pelak lagi, peristiwa 28 Oktober 88 tahun silam merupakan sebuah nazar berjma’ah yang dihaturkan kepada sang Pencipta.

Kemanakah tumpah darah yang satu itu? Apakah ia Ibu Pertiwi yang tega kita lacurkan pada bangsa asing hingga warga setempat harus rela teralienasi; dimanakah solidaritas kebangsaan jika ternyata kemakmuran hanya terkonsentrasi di daerah Jawa sedangkan daerah lainnya digayuti beban pembangunan yang besar, dan; dimanakah bahasa pemersatu itu tatkala generasi kita lebih menggemari bahasa alay dan mahasiswa Sastra Indonesia selalu dipandang sebelah mata.

Barangkali kita hanya bersatu tatkala ada musuh, dan mendadak amnesia setelah merdeka. Tidak heran bangsa kita senantiasa dibekap keterpurukan. Apakah prahara politik, ekonomi dan moralitas merupakan sebentuk hukuman dari langit? Jangan-jangan kita tengah dirundung karma karena durhaka pada sumpah.

Barangkali sudah lenyap ketakziman kita pada mereka yang sudah terlelap di bawah pusara. Padahal kita hanya berhutang makna, tidak perlu berhutang darah pada tubuh tak bernyawa itu. Apakah reaksi Yamin, Soegondo serta peserta Kongres Pemuda II jika menyaksikan tingkah laku pemuda yang saban hari kian apatis, hedonis dan apolitis ini? Itupun kalau kita punya cukup keberanian untuk membayangkannya.

Mungkin Sumpah Pemuda yang merupakan perlambang solidaritas ke-Kami-an itu tengah sakaratul maut. Sedangkan sisi-sisi solidaritas itu makin retak. Dan ketika semuanya sudah terlambat, barulah pemuda menyadari persatuan mereka telah goyah.

Sudah seharusnya sebuah sumpah dabayar lunas – apalagi kepada Sang Khalik. Karena bila tidak, maka seperti halnya rindu dan dendam, sumpah bakal memangsa majikannya sendiri.