Di kota yang terkenal dengan julukan Kota Pahlawan, siapa sangka, nyala api perlawanan itu belum padam. Rupanya tentara kolonial masih konsisten menyusup dan pergolakan tetap berlanjut. Tapi sebagai bangsa merdeka, tidak perlu lagi rakyat tunduk pada penghinaan itu. Apalagi ketika dengan congkak segelintir anak muda nakal mengibarkan bendera merah-putih-biru di atas hotel Yamato,

Bendera adalah representasi harga diri suatu bangsa. Maka siapakah yang tak gusar hatinya, bila bendera yang sama yang dipakai penindas kita dahulu, tengah terkepak berkibar di atas tanah yang baru saja merdeka? Saat itu hati rakyat laksana kayu kering yang baru saja terkena jilat api, api yang terpantik dari kemarahan hati yang merasa terhina.

Dan jalur diplomasipun tak bisa meredakan arogansi kompeni. Perundingan berakhir ricuh dan suasana di Jl. Tunjungan itu semakin memanas. Massa rakyat telah murka, dan tentara kolonial diringkuk menjadi alamat angkara.

Sekelompok pemuda dengan gagah berani menerobos hingga sampai ke puncak gedung. Pemuda bernama Kusno Wibowo dibantu beberapa rekannya, meraih bendera Belanda itu. Terkoyak bagian bawahnya dengan cara digigit.  Lantas diikatkan kembali kepada tiang itu, sembari memekik kata merdeka yang sahut-menyahut bagai sebuah orkestra.

Pada tanggal 19 September – waktu yang belum lama pasca proklamasi –, dihadapan sebuah bendera yang berwarna sepersis mawar merah dan melati putih, berdiri kerumunan rakyat yang setia pada harap dan janji. Bahwa ada sebuah bangsa merdeka yang bukan lagi sekadar mimpi. Sebuah bangsa yang memulihkan harga diri dibawah bayangan bendera merah-putih.

Bagaimanapun juga bendera tersebut, telah lama mendampingi perjalanan sejarah Nusantara. Merah dan putih, adalah warna yang sama melekat pada kerajaan Majapahit; umbul-umbul Pangeran Dipenogoro serta bala pasukannya; yang mewarnai laskar Aceh, Minangkabau, Bone serta suku lainnya dalam perlawanan terhadap hegemoni kolonial. Yang lalu terekam sebagai benda pusaka dan menandai berdirinya suatu entitas negara yang utuh demi kelahiran suatu nasionalisme baru.

Dan apakah makna bendera itu sekarang? Di tengah reriuhan pesta perayaan sejarah dan sunyinya nurani yang berkontemplasi, pada hari pahlawan ini?

“Makam Pahlawan Tak Dikenal”, adalah istilah yang disematkan Benedict Anderson tatkala menatap sang pusaka merah-putih dengan ketakziman. Dalam Imagined Community, beliau menulis: “Betapapun kosongnya liang lahat itu dari sisa-sisa kehidupan yang fana dan sukma yang abadi, tetap saja mereka sarat dengan anggitan tentang ‘kebangsaan’ yang membayangi bagai hantu.”

Barangkali Ben hendak mengungkapkan jika bendera memiliki makna semiotik lebih daripada sekedar identitas negara dihadapan masyarakat global, lebih daripada artefak sejarah. Bendera kita tidak sekedar menyimbolkan harapan dan segenap keresahan akan masa depan suatu komunitas bangsa; bendera juga merupakan cermin masa lalu kita – yang ironisnya seringkali tidak pernah kekal dalam ingatan.

Adapun Goenawan Mohammad membuka sebuah catatan berjudul kaki langit dengan tulisan yang haru namun nyaris tidak dapat menyembunyikan sebuah keresahan mendalam, “Di makam pahlawan tak dikenal, kita diberi tahu: ada seorang yang luar biasa berjasa, tapi ia tak punya identitas. Ia praktis sebuah penanda yang kosong. Tapi hampir tiap bangsa, atau lebih baik: tiap ide kebangsaan, memberi status yang istimewa kepada sosok yang entah berantah yang terkubur di makam itu.”

Barangkali bila kita agak peka pada makna yang kerap berkelebat atas ucapan mas Ben (sapaan akrab Bennedict Anderson) dan Goenawan Mohammad, akan kita mahfumi sebuah kenyataan sederhana dan vital namun tampaknya begitu pahit. Ada sebuah dikotomi yang tersirat dan kerapkali luput dari amatan: antara jasad bermakam dan pusara tak bermayat; antara pahlawan terkenal dan “tak dikenal”; antara yang diingat dan yang terlupakan.

Frasa “Tak dikenal” amat dekat dengan makna “orang asing”. Lantas bagaimana bisa, pahlawan dianggap orang asing bagi negara yang mereka merdekakan? Pada titik ini, Toto Sudarto Bachtiar sangat relevan dalam puisinya, Pahlawan Tak Dikenal:

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi pada senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda....

Adakah benar Toto Bachtiar yang mengilustrasikan senjakala kehidupan pahlawan tak dikenal itu? Ketika dunia tambah beku dan maut perlahan-lahan mendekap anak muda itu, hanya ada wajah sunyi yang setengah tengadah, yang menangkap sepi pada senja. Pahlawan itu hanya jadi “orang asing” yang bahkan setelah kematiannya masih saja berwajah “sunyi” dan dirundung “sepi.”

Syahdan, kitapun ternyata sebagai bangsa Indonesia merayakan pahlawan diatas sederet nama dan identitas, nama yang berhasil diselamatkan oleh teks-teks sejarah. Telah banyak cara dan aktivitas seremonial demi memperingati kematian mereka yang heroik. Ironisnya, kita kekurangan cara menghormati nyawa pahlawan tak bernama.

Memang mereka punya hak untuk dikenang, namun tidak mereka ambil hak itu karena tergesa-gesa menjemput kemerdekaan. Lantas, apakah dengan begitu gugur juga kewajiban kita selaku anak-anak dari kemerdekaan yang mereka rampas susah payah, untuk sekadar memeras ingatan meskipun hanya untuk mengenal nama mereka yang hilang. Pernahkah terbetik semacam keinginan untuk mengenal mereka?

Padahal barangkal pahlawan tak dikenal adalah yang kadar pengorbanannya jauh lebih besar daripada mereka yang disematkan status Pahlawan Nasional oleh negara. Mereka adalah yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang terkubur pada Taman Makam Pahlawan. Mereka adalah yang ikhlas berikhtiar tanpa memperkenalkan nama, sehingga identitasnya raib dalam ingatan sejarah. Namun nyatanya mereka menjadi anonim, diatas Nusantara yang pernah mereka tukar dengan nyawa dan darah.

The Flower of Pain - Edvard Munch (1897)

10 November adalah kilmaks dari apa yang dimulai dalam insiden pengibaran bendera merah-putih di hotel Yamato. Arek-arek Suroboyo menularkan energi perlawanan ke seantero Indonesia. Ketika itu rakyat menyadari bahwa perjuangan pahlawan merampas kemerdekaan tidak boleh sia-sia dan mubazir. Udara kemerdekaan dan kebebasn sudah tidak boleh ditawar lagi, sudah harga mati. Dan romantisme perjuangan itulah yang membuat 10 November pantas diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Kini, mari kita ratapi. Bagaimanakah cara terbaik untuk merangkai bunga perkabungan dan menziarahi para pahlawan tak dikenal, pahlawan tanpa nama itu – tentu saja tanpa mengurangi penghormatan kepada mereka yang memiliki nama.

Barangkali malam hari pada 10 November ini, beberapa pusara di Taman Makam Pahlawan tengah meremang temaram oleh nyala lilin perkabungan. Sedangkan di Makam Pahlawan Tak Dikenal, pada bendera merah-putih yang rela menjadi liang lahat bagi mereka yang tak bernama, pada horizon yang membatasi warna merah darah dan putih tulang-belulang itu: mereka tengah sabar menanti, dengan wajah sunyi dan dirundung sepi, untuk diingat serta dikenang meskipun dengan nama yang hilang. ™


Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepipadangsenja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda

n  Pahlawan Tak Dikena, Oleh Toto Sudarto Bachtiar

(Siasat Th IX, No. 442 1955)