“Kiri
payun a’,” pintaku.
Setelah
mencari celah di antara rapatnya kemacetan jalanan, angkotpun berhenti. Kakiku
turun dan langsung menghadap ke lapangan Sabuga yang baru saja direnovasi
walikota Bandung.
Tidak
apalah membuat sedikit celah, sebuah retakan kecil dalam rantai rutinitias yang
kian membelenggu. Toh hidup tidak perlu begitu mekanistik dan kaku. Bersantai
sedikit tentunya bukan sebuah dosa.
Setelah
berputar dan melihat-lihat salah satu karya bapak Walikota ini, kutemukan juga
tempat yang pas mendudukkan diri. Kedua tangan kurentangkan di atas sandaran
kursi besi bercat putih. Kutatap langit cerah dan berkata pada diri sendiri
bahwa dunia bisa juga berlaku adil.
Kedamaian
macam apa ini yang menggerogotiku. Tatkala tubuh dibilas cahaya segar mentari
senja. Rambutmu dibelai angin yang membawa bebauan semerbak bunga dan
rerumputan hijau. Dan kebisingan jalanan di hadapan Gasibu lalu terkudeta oleh
campur aduk desing sayap lebah di atas bunga, suara cekikikan anak-anak bermain
dan derap langkah orang yang berlari sore.
Kulihat
beberapa orang joging menancapkan headset di telinganya seperti ingin
mengasingkan diri dari dunia. Beberapa anak kecil bersalip-salipan mengejar
sobat mereka yang usil. Ada juga sepasang remaja yang sedang mabuk cinta berlari
bersama hingga sulit menilai apakah itu joging sejati ataukah trik kencan
mutakhir.
Namun
diantara itu semua hanya satu fenomena yang sanggup menyandera perhatianku
cukup lama dan dalam. Yakni ketika kulihat sepasang tua renta tengah berdiri di
depan taman bunga tepat di sisi lapangan aku mengistirahatkan diri. Sang kakek
berdiri jantan dengan kemeja flanel putih berlengan pendek disertai topi fedora
berwarna cokelat kusam. Sang nenek memakai setelan baju berwarna kuning dengan
motif bunga-bunga. Mereka terpaku pada sebuah bunga violet yang berdiri tegak
ditengah rimbunan bunga putih.
Setelah
menerka dan menebak jenis bunga di taman, mereka lantas mampir ke kursi
terdekat. Si nenek mengeluarkan tas kresek berwarna krem yang ternyata memuat
bekal makanan. Mereka keluarkan dua potong sandwich dan memakannya bersama.
Sesekali kulihat si nenek menyuapi suaminya dan sang kakek membalas suapan itu.
Mereka lalu terkekeh kecil sembari lebih merekatkan bahu masing-masing.
Sebuah
empati sontak bekerja padaku. Bukan kelaparan perut yang mereka tularkan lewat
energi keriangan itu, tetapi sebuah kelaparan batin yang sangat dahsyat.
Kupikir, betapa menyenangkan memiliki teman untuk dianugerahi komitmen
kesetiaan.
Meski
hanya dari kejauhan, aku bisa melihat lamat-lamat ekspresi demi ekspresi yang
merona dalam wajah yang disergap guratan keriput itu. Mereka yang telah
membangun hubungan dalam waktu yang lama punya tawa yang khas, punya kekuatan
semiotika sendiri.
Berbeda
dengan kedua remaja tadi yang sedang joging, tawa remaja memancarkan gairah dan
gelora yang belum mengenal batas-batas kehidupan. Pada mimik muka kedua orang
tua itu, aku temukan sebuah keriangan yang asing namun memancarkan
kebijaksanaan yang agung. Tentunya mereka sudah melewati banyak hal dalam
perjalanan hidup yang meletihkan. Hanya yang pernah melihat sisi tragis dan
mengecap rasa pahit dari cinta yang mampu menyandang ekspresi demikian.
Betapa
menakjubkan eksistensi manusia menurutku. Makhluk yang terlahir dan kembali
pada rahim Bumi dalam keadaan sendirian dan kesepian ini, punya cara
masing-masing mengatasi keterasingan mereka. Namun hanya ada satu bahasa
universal yang diakui dapat mengakomodir segala hasrat mengentaskan
keterasingan diri itu: cinta. Betapa ngeri menjalani seluruh usia kehidupan
tanpa barang tersebut.
Kedua
orang tua tadi kemudian beranjak dari tempat mereka. Setelah mampir agak lama
di taman bunga tadi dan melambaikan tangan kepergian pada kerumunan lebah,
langkah mereka lalu semain menjauhkan dari jarak pandangku. Mereka berjalan
pelan melewati beberapa anak tangga, dan tenggelam di balik rindang pohon
beringin putih.
Hanyut
dalam penghayatan singkat tadi telah membuat aku kehilangan perhatian pada yang
lain. Sehingga baru kusadari langit cerah sudah mulai murung dan petang makin
redup. Orang-orang joging sudah mulai berkurang. Namun aku mendapati kedua
remaja tadi tengah duduk di atas batu asahan berbentuk kubus. Aku lewati mereka
dengan meninggalkan perasaan aneh, ganjil sekaligus kasihan yang susah aku
tafsirkan lewat kata-kata. Kusetop angkot dan menuju ke kediaman kost dengan
dada agak lega serta sebuah energi baru.
Pagi
harinya aku terhenyak dalam kesegaran paling prima. Bayang-bayang orang tua
kemarin telah meletakan ilham ghaib dalam kepalaku untuk selalu bersemangat
setiap harinya. Sebab pada suatu kelak, akan ada seseorang yang bakal merangkul
lengan lemah ini dan tidak ada satupun yang mampu melerai itu darinya. Begitu
inginku.
Akupun
melakukan ritual singkat pagi hari: grooming,
cuci muka, sikat gigi dan menyerahkan diri disengat mentari pagi. Hingga
kututup ritual itu dengan satu hal paling vital dan mutlak harus ada: secangkir
kopi dan sebilah buku.
Setelah
menyetorkan beberapa helai uang kertas pada penjaga warung, kuangkut kopi yang
diseduh pada gelas plastik dan melangkah ke luar. Tepat setelah membalikkan
badan, ada anak kecil sepantaran 6-7 tahun berjalan tergesa hingga hampir
menabrakku. Untung saja aku gesit, kopi pun tidak tumpah ruah.
“Maa,
mama, tunggu ya?” Jerit anak itu manja. Oh betapa surgawi dunia ini tuturku
pada diri sendiri. Benar-benar dunia inilah dunia terbaik dari segala dunia
yang mungkin tercipta, sebab segenap sudutnya dijejali cinta dan kasih sayang.
Apalagi kasih yang murni antara anak dan seorang ibu. Tiba-tiba wajah ibuku dari
tempat jauh terpaut puluhan pulau berkelabat hadir dalam kepala.
Kuperhatikan
anak kecil yang riang gembira itu. Dia membeli dua buah es krim rupanya. Sebuah
penasaran yang menggiurkan merangsek lambat dari ulu hatiku. Seperti apa sih
sosok ibu yang beruntung itu, yang mengikat jalinan emosional dengan makanan
favorit anaknya.
Setelah
merogoh kocek dengan beberapa recehan, aku dan anak kecil ini keluar dari garda
warung. Aku membawa kopi hangat dan dia menggenggam makanan favoritnya. Di
tangan kirinya melumer es krim cokelat dan kanan bercita rasa vanilla.
“Aduh
makasih ayah sudah mau beli es cream.” Anak itu menyodorkan tangan kirinya, dan
aku melongo seperti orang dungu. “Nih mamah jangan marah lagi ya sama ayah.
Ayah sudah memotong uang jajan buat membelikan ini lho.” “Ih ayah, mama
terharu. Mama janji dech akan selalu sayang sama papa.” Mata gadis mungil itu
berkaca-kaca, dan membuatku ingin membuang semua cermin yang ada di kamar
kostku.
Dengkulku
ngilu, dan gelambir otakku terasa lumer. Baru saja kusaksikan dua anak setinggi
pahaku tengah bermesraan mengumbar romantisme yang menjijikan itu di ruang
publik, terlebih, tepat depan hidungku yang mancung ini.
Bergegas
aku melangkah ke kost, membanting pintu seperti orang shock berat, dan duduk bersila
di depan meja laptop. Kureguk kopi dan diam terpaku. Buku yang awalnya menggoda
tidak kunjung kugagahi. Wajah pria dan perempuan tua yang kemarin kudapati,
tiba-tiba melayang dengan kekuatan mistis dalam imajinasiku. Lalu seperti kaca
yang retak, pikiran itu kabur meninggalkan energi dan semangat yang kudapati
sebaru bangun tadi.
“Dalam
dunia apakah nanti anak-anakku akan tumbuh dewasa Gusti?”
Lamunanku
buyar. Kuraih buku. Kusesap kafein. Kulumat lamat-lamat huruf demi huruf yang
menunggu terbaca. Tapi sedikit suara aneh masih tersisa pada jejak pikiranku.
Dengan sebuah perasaan menyakitkan sekaligus meresahkan, aku merasa seperti
ingin jomlo seribu tahun lagi.[ ]
0 Komentar