Pada kafe kumuh dengan
kursi-kursi usang di Avenida Espaňa itu, seorang pemuda tampak marah bak komet
yang siap menjilat bumi jadi abu. Dengan mata nyalang dan nada suara melengking
tajam Saúl Zuratas berceloteh tentang linguis-linguis sembari menyerapahi
mereka. Dia umbar kebusukan mereka yang atas nama modernitas melibas
tradisi-tradisi kuno serta menggantinya dengan yang mutakhir.
Demikianlah dalam El-Hablador, “Sang Pengoceh,” karya
Mario Vargas Llosa ini. Seseorang bisa meledak kapan saja manakala dia
mendengar berita perihal kaum marjinal – kendati tidak punya ikatan kekerabatan langsung dengannya.
Pemantik kegaduhan itu tidak
lain adalah percakapan tentang sebuah suku terkucil yang berada di tapal batas
terjauh dari lingkaran peradaban manusia: Machiguenga. Yang sesungguhnya, bukan
lagi topik asing bagi mereka berdua.
Machiguenga adalah masyarakat
nomaden yang menempati belantara Amazon dan hidup berdiaspora
terus-menerus. Mereka adalah sisi eksotisme wajah masa lalu masyarakat manusia.
Masih segar dan murni dari polusi modernitas dan pabrik-pabrik industri. Setidaknya,
sebelum para cukong merampas eksotisme itu.
Namun kapitalisme beserta
genangan industrialnya hanya satu hal dari banyak problematika. Ada juga para
orientalisme disana. Mereka bersembunyi di bawah kedok antropologi dan
urgenitas ilmu pengetahuan. Sembari diam-diam, melenyapkan Tuhan lama
masyarakat adat dan menggantinya dengan yang baru.
Lalu kita bertanya: atas dasar
apakah seseorang mengaku beradab? Sedangkan peradaban kerapkali dibangun dengan
laku barbar.
Amerika adalah contoh klise
dan gampang. Suku Indian pribumi dengan mudah digerus kemewahan tradisi mereka.
Lantas dengan dalih teknologi, mereka bantai pribumi dan membangun kota di atas
tumpukan pusara yang tak bernama. Bangsa Amerika sejati adalah orang asing.
Sekelabat manusia bawah tanah
Dostoyevski amat masuk akal disini, “tukang
jagal paling cakap adalah orang paling beradab.”
Dalam film God Must be Crazy, kita mengenal suku-suku
terpinggir di dataran Afrika tandus yang tak mengenal konflik. Koheren dengan
Erich Fromm tatkala mengutarakan tesisnya: masyarakat komunal tradisional
adalah contoh terbaik dari kaum yang jauh dari peperangan.
Meski ada juga suku Dobu.
Mereka tipikal masyarkat persukuan yang berperilaku individual-agresif.
Kekhasan kepemilikan pribadi diantara mereka ditandai dengan cara perolehan
melalui kekerasan dan kekejaman. Dalam Akar
Kekerasan Fromm, Dobu adalah pengecualian yang sangat sedikit jenisnya.
Bukankah amat tergesa-gesa
bila menggeneralisir semua masyarakat primitf barbar hanya karena satu contoh
kasuistik? Sedang mayoritas mereka adalah penyayang kosmos, pelaku aktif
gotong-royong, mencintai kedamaian dan keharmonisan sesama manusia.
Syahdan, tanya yang
menggantung dibelakang tidak lebih dari sekadar pertanyaan retoris belaka. Toh roda
zaman tetap bergulir juga. Dan mereka yang merasa angkuh atas ilmu pengetahuan
dan teknologi merasa berkewajiban meluluhlantakkan mitos tradisi masa silam.
Ironisnya, barangkali modernitas telah menjadi mitos itu sendiri.
Sedangkan yang masih konsisten
terhadapa kekayaan masa lalu mereka, harus bertahan hidup dalam keterkucilan
yang paling pinggir. Suara mereka redam oleh pekaknya hiruk pikuk dunia; hanyut
oleh riuhnya peradaban yang gegap gempita.
Adapun kelompok yang mendaku
kaum intelektual – seperti para linguis yang diserapahi Saúl – kerap menjadikan
mereka kelinci eksperimen dan penelitian semata. Seakan masyarakat adat dan
persukuan harus ada bukan karena hak mereka, tetapi sebagai objek penyelidikan
perilaku nenek moyang manusia.
Alih-alih seagai pemicu hasrat
memperjuangkan hak yang teralienasi, justru mempertegas posisi komunitas kecil
tersebut yang marjinal. Yang dalam bahasa Gayatra Spavik, kelompok sub-altern.
Pemikir India
pascakolonialisme itu gemar mengkritik konsep “Intellectual Organic” dalam hubungannya dengan kaum tertindas yang
tak mampu bersuara, sub-altern. Katanya,
seorang intelektual harus mendampingi kaum marjinal untuk bersuara sendiri;
merangsang keagenan yang muncul dari dalam ketertindasan itu.
Gagasan Gayatri Spivak
sesungguhnya adalah ujian bagi konsep demokrasi: jika kebebasan bersuara perlu
digalakan, maka kebebasan untuk mempertahankan adat tradisi juga perlu
diakomodir – karena demokrasi bukanlah hegemoni nalar modernitas sahaja.
Ataukah barangkali manusia
adalah makhluk yang aneh. Acapkali mereka mengkonstruksi dunia dengan kedok
“ilmu pengetahuan.” Lalu di atas puing-puing yang hancur itu, mereka memeras
ingatan sembari mengumbar penyesalan atas apa yang hilang; barangkali kita
senang menghancurkan, hanya demi bernostalgia dengan kenangan.
Seperti narator El-Hablador, di Firenze, dia ketemu
dengan Galeri Marfatti. Disana foto-foto serta benda peninggalan suku-suku
Amazon dipajang dalam etalase. Ada juga suku Machiguenga disana. Dengan penuh
ketakziman, para pengunjung menikmati keajaiban sejarah dan masa depan.
Tanpa peduli suku-suku itu
masih ada. Atau tepatnya, tidak peduli ada tidaknya.
Toward the Forest - Edvard Munch
0 Komentar