sumber: batubara.com
“Maut
tidak perlu ditantang, jika waktunya datang, dia akan menang.” Kata-kata itu
berkelabat dalam benaknya sewaktu diejek penakut mencuri daging sapi oleh Raden
Mandasia.
Sudah
barang tentu ajal tetap bakal menghampiri. Semua yang dianugerahi kehidupan
pasti berhutang pada kematian. Tapi bagi Sungu Lembu, hanya satu prasyarat
sebelum hutang itu dibayar: memenggal kepala Watugunung sang raja Gilingwesi
sekaligus ayahanda Raden Mandasia. Baginya itulah satu-satunya orientasi yang
rela dibayar dengan harga apapun – bahkan jika sepantar dengan nyawanya.
Sungu
Lembu lahir bertahun-tahun setelah kampung halamannya, Banjaran Waru, memeluk
tunduk pada kekuasaan Gilingwesi. Bagi raja Banjaran Waru, takluk jauh lebih
baik ketimbang pesta mayat sia-sia. Namun tidak semua perwira berpikiran serupa.
Banjaran Waru meskipun bukan kerajaan besar tapi tidak pernah punya sejarah
dijajah. Gerakan perlawanan memang tidak memungkinkan kemenangan, namun
setidak-tidaknya menghasilkan perang yang hebat. Banjaran Waru adalah bangsa
dengan harga diri tinggi, begitu kata perwira-perwira ini.
Karena
dibesarkan dalam lingkungan para pemberontak kerajaan, pikiran Sungu Lembu
kenyang oleh indoktrinasi rasa muak akan kemahsyuran Gilingwesi.
Tapi
dalam dongeng Yusi Avianto Pareanom ini, jangan harap garis langit melulu
perkara tragedi seperti mitologi Yunani; takdir juga punya selera humor yang
ganjil. Kejadian di Rumah Dadu Nyai Manggis mengharuskan Sungu Lembu dan anak
musuhnya menjadi rekan petualangan. Raden Mandasia adalah paradoks baginya:
lawan sekaligus kawan – meski yang kedua ini baru disadarinya menjelang ujung
perpisahan.
Syahdan,
berlaksa jarak tertempuh, berjibun pengalaman mengikuti: dari wasiat Nyai
Manggis, bertarung melawan lanun di lautan, bertemu dengan nabi yang dikutuk
Tuhan, ditelannya orang tua murung pembuat boneka kayu hidup, meninggalnya
majikan Loki Tua akibat tersedak tawa, melintasi negeri yang menyebut nama
warna seperti mata anak haram janda ujung
desa setelah kedatangan perampok dari utara yang bermakna biru kehijauan,
serta memakai kulit sida-sida.
Jejak
demi jejak langkah tersebut mengantarkan Sungu Lembu kepada tujuannya yang dia
kira makin menjauh: pertemuan dengan Watugunung. Nubuat aneh dari Nyai Manggis
ternyata berkaki, kesempatan telah datang baginya untuk menebus pembalasan atas
harga diri Banjaran Waru yang terluka.
Seperti
bulan yang jatuh di ranjang, peruntungan akhirnya tiba terpentang untuknya.
Sngu menghadap pada Watugunung dengan menayang kerambit yang dilumuri racun.
Dendamnya sudah bukan kepalang. Dalam benak Sungu terpatri, “Kalaupun belum
waktunya datang, maut itu sudah saatnya ditantang.”
Dalam
kosmogoni, dendam adalah dosa kedua tertua setelah insiden khuldi oleh Adam dan
Hawa. Tanpa motif dendam, barangkali Habil masih hidup didampingi Lubuda.
Sedangkan Qabil tidak perlu diserahi julukan “penjagal pertama.” Yusi Pareanom
menyadarinya, dan menyuntikkan kehendak purba itu pada watak Sungu Lembu.
Balas
dendam atau “Vendetta” adalah praktek yang diakui sebagai sebuah norma sakral
dalam perjalanan peradaban. Yang paling kuno dapat diketemukan dari prasasti
Hukum Hammurabi 1.700 tahun silam: “Satu mata dibalas dengan satu mata,
sebentuk gigi dibalas dengan sebentuk gigi...”
Lewat
Ideologi Muru’ah masyarakat Arab Jahiliyah, doktrin Vendetta ini
dikristalisasikan sebagai salah satu pilar penopang tradisi masyarakat sabana. Perampokan
dan penjagalan yang berkala seakan dapat dijadwalkan dengan pasti; menyeret suku-suku
padang pasir menunaikan ibadah Vendetta secara periodik pula.
Pada
zaman kegelapan itu, balas dendam tidak hanya sebatas tradisi, lebih dari itu
seperti olahraga Olimpiade rutin.
Dalam
perjalanannya, siapa kira dendam yang mereka duga adalah perpanjangan tangan
menuju penghabisan, telah menjelma jadi tujuan itu sendiri? Nyala dendam
membangkitkan gairah dan menyerahkan tujuan bagi orang-orang yang gemar
menampung harapan. Mereka memperjuangkan itu segalibnya ikhtiar berbasis nilai
suci.
Agama
monotheisme lantas muncul membungkus Vendetta dengan cara yang lebih beradab.
Dibangunlah prasasti-prasasti norma yang mereka sebuti Lex Talionis. Sebuah pedoman balas dendam yang termanajemen dan
terukur. Kelak hukum alam yang direstui Sang Khalik ini menginspirasi hukum
positif beserta mahkamah-mahkamah yang ada. Dan hukum pidana berbasiskan balas
dendam mengusang.
Di
sebelah Timur dunia, seorang adiluhung berkumandang, “Bila mata dibalas mata,
maka dunia akan buta.” Tentu dunia akan mati – dalam artian yang harfiah – bila
nyawa senantiasa dibalas dengan nyawa. Mahatma Gandhi tidak mengajari
pengikutnya dengan sempalan kosong. Perubahan sosial yang terjadi di India,
terbukti membongkar mitos revolusi yang senantiasa harus disucikan dengan darah
serta genangan mayat.
Dari
sebelah Utara dunia terdengar gema serupa. Penindasan rasial selama
berabad-abad hanya dibalas oleh
sebuah maaf dari Nelson Mandela yang begitu gampang bagi sebagian orang. Tapi
Mandela mahfum, balas dendam bukanlah hubungan economic per se. Buat apa menegakkan keadilan yang manfaatnya kecil
bila ada keadilan yang jauh lebih besar sedang menunggu?
Agaknya
apa yang menimpa Mandela dan Gandhi serupa dengan dialami Sungu Lembu yang
terperanjat karena sebuah kejutan: telah sepanjang waktu dia menjaga dendam
yang kian geram, dan dendam itu padam semudah api dilahap angin.
Hawa
murung mengurung tenda Watugunung. Watugunung berhikayat perihal menjaga
kedamaian dari perang saudara. Sungu Lembu paham ada keadilan yang jauh lebih
besar ketimbang kepala Watugunung, yang jauh lebih kerdil dibanding Vendetta
yang dia pelihara.
Menanggung
dendam adalah menyimpan luka. Mengobatinya adalah perkara berbeda. Sungu
memilih yang kedua meski dengan cara yang tak pernah dia duga.
Pada
akhirnya Sungu Lembu memahami satu hal dari perjalanannya: sekalipun dendamnya
belum padam, yang dia inginkan sudah sepadan dengan kenyataan. Sebuah kekalahan
telah menumpas nyawa sang raja Gilingwesi. Tetapi kenapa dia merasa ada yang
hilang? Ada sebuah luka penyesalan yang menciptakan kekosongan dalam hatinya,
yang entah apa.
Toh
ketika Gilingwesi ambrol, Banjaran Waru malah berperang dengan wangsa mereka
sendiri. Dendam yang besar beranak pinak menjadi dendam-dendam kecil yang
saling berselisih. Dan keadilan yang mereka terima, melahirkan
ketidakadilan-ketidakadilan baru yang tak perlu.
0 Komentar