Apakah kebenaran sesuatu yang berharga bagi kita saat ini? Masihkah ia berarti kesesuaian ide dan realita, dan tidak ada pertentangan sama sekali di dalamnya? Andaikata agama, ideologi, dan sistem keyakinan manapun mengidam-idamkan kesunyataan itu, lalu kenapa dusta lebih laris manis ketimbangnya?

Bolehlah kita tengok media sosial. Di jagad maya, setitap individu berlomba-lomba mewartakan apa yang menurut mereka benar. Seakan-akan kebenaran, dan yang mereka kira benar, adalah sama persis. Maka Jean Baudrillard sangat relevan disini, dalam era simulakra, “yang dikira benar” seolah lebih benar daripada “kebenaran” itu sendiri.

Fenomena ini sangat dirasakan terutama dalam atmosfer politik dan ekonomi yang sarat kepentingan individual. Kehadiran teknologi informasi yang dipakai tidak bertanggungjawab lebih memperparah keadaan. Kebohongan, dusta serta manipulasi dibungkus dalam bingkisan yang elok. Berharap tiap orang menjemputnya sebagai kebenaran moral sejati.

Pernah ada seorang berkata, “dusta yang diucapkan terus-menerus, mampu membuat orang percaya.” Bisa jadi kebenaran hari ini tidak lebih dari propaganda yang disepakati nalar umum belaka.

Dahulu di bawah rezim Nazi, Jerman adalah pelakon utama agitasi dan propaganda. Pemilu tahun 1932 mencetuskan sang fϋhrer (pimpinan) baru bagi nasib Jerman; Hitler sukses menjadi sorotan panggung politik yang bersinar. Namun sedikit yang menyadari sosok Joseph Goebbels di balik kemenangan itu. Goebbels tersembunyi dalam tirai kegelapan sejarah terpekat, sang bapak moyang propaganda modern.

Goebbels menyulap Hitler sebagai messiah Jerman, si juru selamat dari kelompok Yahudi, Romani, homoseksual, dan Bolshevik. Dengan penuh rasa terimakasih, Hitler memuji, “Dr. Goebbels telah dianugerahi dua hal yang tanpanya situasi Berlin tidak akan pernah dapat dikendalikan: fasilitas verbal dan intelektualitas...”

Tahun 1933 diangkatlah Goebbels sebagai Reichministerium fur Volksӓufklarung und Propaganda (Menteri Pencerahan Publik dan Propaganda). Posisi itu memberi dia kontrol penuh semua media komunikasi: radio, pers, penerbitan, sinema dan aktivitas seni. Seperti hiu diberi darah, kinerja Goebbels semakin berbahaya.

Namun saat itulah sosok Goebbels sebagai arsitektur propaganda mulai diakui dunia. Dia menjadi guru tipu muslihat para pendusta. Teknik propaganda Goebbels disebut argumentum ad nauseum, atau lebih populer dengan big lies (kebohongan besar). Salah satu kalimat terkenalnya, “kebohongan paling dahsyat adalah kebenaran yang dirubah sedikit.”

Lewat Goebbels, kebenaran dan kebohongan hanya dibatasi garis demarkasi tipis, tajam serta subtil: yang nyata jadi fana, baku jadi semu dan fakta jadi fiktif – meski bisa juga sebaliknya.

Ketajaman imajinasi Goebbels tidak muncul dari ruang hampa. Alumnus Sejarah dan Sastra di University Heidelbergh ini bahkan pernah menerbitkan novel ekspresionisme, Michael: ein Deutsches Schicksal in Tagebuchblattern (1926). Namun hanya dalam tubuh partai Nazilah, bakat meracik kata-katanya terakomodir sempurna.

Ketika Perang Dunia II mencapai senjakalanya, hegemoni Nazi merangkak sekarat dan Fϋhrer memilih bunuh diri bersama Goebbels yang setia. Pada ujung hayatnya Goebbels salah bernubuat sebagaimana kekeliruan Machiavelli, namun tepat pada akhir kalimat: “Sejarah bakal mengenang kami sebagai negarawan besar, atau kriminal terhebat sepanjang masa.”

Syahdan, kematian Goebbels bukanlah awal lahirnya kembali kebenaran yang dielu-elukan, malah mengilhami hadirnya kebohongan-kebohongan baru. Prinsip-prinsip propaganda Goebbels adalah wejangan yang diadopsi bukan hanya dalam konteks militer dan politik, juga ekonomi, sosial dan bahkan industri hiburan.

Di era ini, kebohongan bersemayam di setiap lini kehidupan, mengasingkan kebenaran dari tempat seharusnya. Mana penanda dan mana petanda sudah tidak penting lagi. Sebab setiap situasi, stasiun televisi, internet, dan media sosial mahfum bahwa kebenaran bakal tidak laku dalam pasar informasi. Generasi ini menyebutnya hoax yang dikonsumsi seperti asupan nutrisi.

Mungkin masyarakat mulai menyenangi fiksi. Namun tidak mengkonsumsinya dari dunia sastra, melainkan berita dan wacana.  Ataukah barangkali kebenaran sudah mulai usang dan membosankan? Lalu mereka berpaling pada kebohongan agar supaya merasa terhibur dan mampu merangsang kemarahan dari hari ke hari?

Lalu kita menerka: ketika Goebbels hanya satu, atau semua orang menjadi Goebbels, manakah zaman yang lebih mulia?

Kebenaran telah menjadi kata yang peyoratif, murah dan gampangan. Dia terkubur di bawah omong kosong manusia yang menggumuk. Tanpa disadari, tibalah kita pada zaman dimana, kebenaran jadi musuh bebuyutan manusia.