Sumber: lifestyle.liputan6.com/read/2086747
Untuk hari Bumi, 22 April
Peristiwa itu dikenang dengan Chipko, maknanya “merangkul”.
Di situ, “merangkul” melebihi kata-kata; tatkala seorang anak meluncur dari Rahim ibunda, keinginan membagi pelukan hadir begitu saja melampaui pertimbangan rasio dan kuasa kesadaran -- merawat, melindungi serta menjaga dari getir dunia merupakan laku keibuan sebagai fitrah perempuan
Kita pun memahami peristiwa 300 silam yang mengilhami ekofeminisme hari ini, yakni aksi memeluk pohon oleh para perempuan India, Chipko. Barangkali karena perempuan dan bumi punya banyak kesamaan: sama-sama melahirkan, menganugerahi hayat, memelihara kehidupan.
Di India, pengusung mahzab ini ialah Vandana Shiva. Dalam Staying Alive: Woman, Ecology and Development, ia menyeru: “peluklah pohon-pohon kita….” Shiva melihat seyogianya manusia memperhatikan hubungan alam dan perempuan bila masih mau menatap masa depan. Kegelisan Shiva berangkat dari kejengkelan pada paradigma patriarki yang merezim hingga berkecenderungan destruktif kepada kosmos. Feminisme seyogianya jadi antitesis atas laku itu.
Seorang kosmolog Cina, Saachiko Murata, melihat bahwa maskulinitas adalah sekunder dan feminitaslah primer, Yin mendahului Yang, Jalal melatari Jamal: tidakkah sifat Tuhan yang pertama adalah Maha-Pencipta nan Maha-Penyayang ketimbang Maha-Pemurka? Bisakah kita hidup di dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin ada, tanpa adanya “rahim” pertama?
Kita mungkin bakal jawab itu mustahil. Tapi toh kenyataan malah bicara laki-laki lebih superior dan perempuan tidak lebih dari kelamin kelas dua. Keangkuhan ini bergayung-sambut dengan paradigma Cartesian yang menggiring dunia dalam antroposentrisme. Manusia adalah pusat alam semesta. Dan manusia sejati, adalah laki-laki.
Antroposentrisme menjadikan segala sesuatu selain manusia boleh-boleh saja diperas. Eksistensi bumi tidak lain sebagai pelayan kebutuhan manusia. Karenanya, alam justru menanggung derita. Sebab manusia selaiknya pusat semesta, telah memperkuat kapitalisme. Dan supaya kapitalisme dapat bekerja, diutuhkan seperangkat legitimasi: ilmu pengetahuan sebagai landasan epistemologis, egosentrisme Cartesian sebagai bangunan etik dan reduksionisme sebagai landasan operasional.
Semangat itu mengalami kulminasi dalam neoliberalisme yang hari ini berangsur-angsur melahirkan pesimisme. Seorang fisikawan lalu menulis The Tao of Physics dan bernubuat perihal titik balik peradaban yang lambat laun mulai memandang kearifan Timur sebagai harapan. Senada dengan ekosofi Arne Næss, bukankah hak-hak bumi juga adalah hak manusia? Juga, Vandana Shiva. Ia bilang antara prakriti (alam) dan purusha (manusia) mestinya saling memelihara tidak seperti di Barat.
Vandana Shiva yang lahir di kaki pegunungan Himalaya itu geram. Bahkan sejak usia 17 tahun, dia sudah terlibat dalam Chipko. Mengetahui latar belakang sang ayah bekerja sebagai penjaga hutan, bukan hal sulit memahami kesadaran ekofeminisme dalam dirinya. Baginya patriarki sudah selingkuh dengan neoliberalisme hingga jadi destruktif dan dominatif.
Di Nusantara, semangat serupa dengan Chipko diekspresikan masyarkaat Rembang, Jawa Tengah. Kita mengenal mereka dengan julukan “Ibu-ibu Kendeng”. Mereka kerap berdemonstrasi atas laku kapital yang kian brutal. Cekungan Air Tanah Watu Putih adalah rahim bagi perempuan pegunungan Kendeng yang mau dieksploitasi korporasi. Syahdan, kelangkaan air pun tidak terelakkan.
Baik perempuan Kendeng dan penduduk Bishnoiu 300 tahun silam memang tersekat garis waktu begitu jauh nan panjang. Namun kita bisa merasakan satu pesona yang sama, sebuah keberanian dalam lapisan perlawanan. Laku korporasi hanyalah reinkarnasi dari sosok Abray Singh.
Sesaat, berkelabat cepat sebuah kisah yang sudah lampau. Mirip dengan dongeng Lutung Kasarung di tanah Sunda, kita kenal Oedipus Rex di Yunani kuno. Kisah itu berkisar perihal Oedipus yang berangkat ke Thebes untuk menemui orangtua kandung. Oedipus kemudian menelan takdir pahit karena mengabaikan ramalan Oracle: dia membunuh Lailus ayahnya dan menikahi ratu Jocasta ibunya sendiri -- pada akhirnya adalah tragedi, Jocasta pun bunuh diri.
Cerita itu mengilhami Sigmund Freud berteori tentang Oedipus Complex, kecenderungan incest antara anak laki-laki dan ibunya. Semua orang senantiasa merindukan rahim sebagai dunia pertama dia tinggal. Namun bagi Fromm, Oedipus Complex yang bertahan hingga dewasa hanyalah mengarah ke sikap narsistik yang destruktif.
Kita mungkin bukan Oedipus Rex, namun nubuat peramal Oracle seakan menyentil ingatan soal malaikat yang menyela Tuhan sewaktu menciptakan Adam, “kenapa mau menurunkan makhluk yang melakukan tumpah darah di muka bumi?” Jocasta barangkali hanyalah tamsil, segalibnya korporasi adalah analogi Abray Singh hari ini. Maka, apabila bumi adalah ibu, rahim dari semua rahim kehidupan, benarkah kita telah memperkosanya? -- Kitakah Abray Singh itu?
Jauh sebelum rezim patriarki mengakar dalam alam bawah sadar peradaban, sebelum para dewa sesembahan berjaya di angkasa: ke-ibu-an adalah citra primordial paling tua dan terkuat. Citra demikian dipersonalisasikan oleh sosok dewi seperti Coatlicue di Meso-Amerika, Gaia dan Hecate di Yunani, Cybele di Asia, Dewi Sri di Indonesia serta Bhummi bagi umat Hindu. Kita juga kenal dewi Kali dalam mitologi Hindu. Konon ia adalah dewi yang melahirkan kehidupan dalam penciptaan. Namun sisi hitam dari konsekuensi itu, ia jugalah dewi penghancur.
Dewi sebagai personifikasi citra feminim sebagaimana bumi, mungkin memang punya wajah ganda. Antara Kali dan bumi tersirat seutas benang merah: bumi yang menjadi rahim hayat, berfungsi ganda sekaligus kuburan mayat; sumber kehidupan adalah akhir kehidupan itu sendiri.
Agaknya kita sulit menolak pesan Shiva, “seyogianya manusia memperhatikan hubungan alam dan perempuan bila masih mau menatap masa depan….” Kita tidak tahu sama sekali, sejauh mana ambang batas kesabaran seorang ibu, sebelum anaknya dikutuk jadi batu (benda mati) -- dalam artian yang sebenarnya.
0 Komentar