Selain Zadig dan L’Ingénu, kita kenal Candide, tokoh imajiner Voltaire yang lugu sekaligus malang. Novel anyar itu dibuka dengan dialog sederhana tapi sarat nilai. Secara hati-hati, kita juga temukan belati kritik terselip dalam peta makna yang dia tatah--hal sama yang dia lakukan pada karya sastra lainnya. Cermati saja percakapan Candide sama pakar metafisika-teologo-kosmolonigologi, Panglos (dalam bahasa Yunani, Pan berarti “semua” dan glassos, “lidah”;”bahasa”).
“...Ia membuktikan dengan mengagumkan bahwa tiada sebab tanpa akibat dan bahwa di dunia terbaik di antara semua dunia yang mungkin ada, istana Tuan Baron (bangsawan besar Westafilia, kampung halaman Candide) adalah istana termegah di antara semua istana yang ada… .”
Syahdan, Tuan Baron murka pada Candide karena mencintai anaknya, Candide terusir dengan ditendang pada bokong sebanyak dua puluh kali. Tak berselang lama, istana termegah dari semua istana yang ada lalu runtuh lantak oleh pasukan Bulgaira. Kepala Tuan Baron disembelih dan Nyonya Baron dipotong-potong jadi beberapa bagian di hadapan Cunégonde, kekasih Candide. Yang lebih pedih lagi, kenyataan Cunégonde diperkosa ramai-ramai oleh pasukan Bulgaira buruk rupa, ditikam dan dikabarakan sudah mati. Candide lalu terlengar, kesedihan lebat terbenam dalam hatinya.
Satu hal yang dapat dipastikan: itulah yang terjadi pada dunia terbaik dari segala dunia yang mungkin ada.
Dan cerita berlanjut. Tragedi itu cuma awal, dan bak efek domino, menuntun petualangan Candide ke prahara-prahara lain yang lebih besar dan banyak jumlahnya.
Pria lugu ini menempuh dan kadang menetap di pelbagai negeri dengan beragam perangai, berlayar di atas samudera yang sama sekali asing, hingga bertemu orang-orang dengan kemalangan setara atau bisa lebih getir dari takdir Candide. Bahkan di tengah himpitan nasib buruk yang bertalu-talu, Candide masih kuat hati menggenggam petuah Panglos, “dunia ini adalah dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin ada.”
Pada sebuah perjumpaan yang aneh, Candide ketemu dengan seorang cendekiawan yang telah dirampok oleh istrinya, dipukuli sang putra dan ditelantarkan anak perempuannya. Di Suriname, para Padri menghukumnya karena menganut keyakinan berbeda. Cendekiawan itu, Martin, lalu menjadi karib Candide dalam perjalanannya--betapa kemalangan nasib punya cara tak terduga mengikrabkan korban-korbannya.
Tapi berbeda dengan Candide, Martin ialah pesimis tulen. Dengan jatmika Martin berkata: “... Hamba hampir tak pernah melihat kota yang tak menghendaki kehancuran negeri tetangganya, dan tak pernah lihat keluarga yang tak ingin memusnahkan suatu keluarga lain. Di mana-mana, si miskin membenci sekaligus memuja si kaya, dan si kaya memperlakukan si miskin seperti domba yang bulu dan dagingnya bisa dijual. Di Eropa, jutaan pembunuh berseragam menjagal dan merampok dengan tekun demi seperiuk nafkah, karena tidak ada pekerjaan mulia bagi mereka… Kesedihan yang terpendam itu lebih kejam daripada penderitaan yang kelihatan.”
Di antara kita dan Voltaire barangkali terpancak waktu dan jarak sebagai sekat yang jauh. Tapi toh, apa yang dikeluhkan Martin masih bisa kita saksikan dengan kebenaran mencolok mata: bumi masihlah gelanggang pertikaian abadi, perang finansial; negara pemenang jadi adidaya dan kalah harus rela bangkrut dibelenggu utang--seperti hukum rimba yang dimodifikasi saja. Di mana-mana, satu-satunya kemewahan milik si miskin cuma harapan, sesuatu yang bagi si kaya, hanyalah bermakna upaya penghisapan energi dan harta manusia. Triliunan uang dialokasikan buat pengemban teknologi militer, yang bagi Francis Fukuyama, demi peperangan yang tiada lain cuma pemuasa ego individual belaka.
Dan segala ini, hanya terjadi dalam dunia terbaik dari segala dunia yang mungkin ada.
Sesaat sebelum kapal mereka tiba di Bordeaux, Perancis, sembari mengelus-ngelus domba merah kesayangan Candide yang sempat hilang, Martin bertanya: “Apakah Tuan percaya,” ujarnya dengan sedikit jeda yang sejurus kemudian dilanjut, “bahwa sejak dahulu kala elang senantiasa memangsa merpati acapkali dia menemukannya?”
“Iya, tentu saja,” jawab Candide.
“Nah,” kata Martin, “bila elang punya sifat-sifat yang sama sejak dahulu kala, mengapa pula Tuan mengira manusia dapat mengubah sifat-sifatnya?”
Di sini, sebelum penghabisan bab XXI, kita bisa rasakan Voltaire lagi menyoal Thomas Hobbes, perihal “manusia sebagai serigala bagi yang lain (homo homini lupus)” dan “perang melawan semua (bellum contra omnes)” dalam Leviathan. Beruntung sebelumnya, Candide sempat berjumpa dengan seorang Anabaptis baik hati bernama Jacques. Darinya Candide belajar, manusia tidak terlahir sebagai serigala, namun menjadi serigala dalam hidup. Tuhan tidak memberi manusia meriam dan bayonet, tapi manusia membuat benda-benda mengerikan itu demi menghancurkan sesama mereka.
Maka spontan Candide menyahut, “Oh!” katanya, “manusia berbeda dengan hewan-hewan itu, karena kita punya kehendak bebas… .”
Akan tetapi, benarkah “kehendak bebas” itu cukup kuat sebagai harapan yang tak hilang? Masihkah relevan ucapan William Leibniz itu: “dunia ini adalah dunia terbaik dari segala dunia yang mungkin ada.”
Bukankah dalam dunia yang baik, serigala diharuskan jadi manusia dan di dunia yang jahat, manusia terpaksa jadi serigala. Lalu di manakah dunia yang hari ini kita tinggali? Bila kenyataan-kenyataan buruk seperti diutarakan Martin dan dialami Candide dapat terjadi dalam “dunia terbaik” ini, maka nasib apa yang menimpa dunia-dunia lainnya?
Ah, seandainya dunia ini dipenuhi Candide yang gemar ketemu dan mencari orang-orang bernasib sama, yang ditimpa kemalangan mengerikan nan menyedihkan, serta memaknai “kehendak bebas” dengan cara yang serupa, mungkin tidak perlu kita takut terpaksa jadi serigala, elang atau hewan-hewan buas lain; kita bisa percaya diri jadi manusia--dalam makna paling harfiah.
Lewat lidah Candide, Voltaire mengkritik Leibniz: “orang yang berkata segalanya baik-baik saja hanya orang pandir; seharusnya mereka bilang, segala hal di dunia ini adalah untuk yang terbaik.”
0 Komentar