Belakangan ini Pancasila kembali ramai dibicarakan. Mulai dengan kegiatan bertajuk Pekan Pancasila sejak 29 Mei sampai 4 Juni hingga pembentukan UKP-PIP sesuai Perpres 54 tahun 2017. Di jagad maya, semarak netizen mengunggah foto dengan slogan, “saya Indonesia, saya Pancasila”.
Kita tidak tahu dengan pasti apakah reriuhan ini muncul dari akar keikhlasan menganulir wacana banalisme golongan ataukah karena kebetulan slogan Jokowi itu terkesan catchy dan cocok buat generasi milenial. “Saya Pancasila” atau “Saya menganut Pancasilais” tentu cuma persoalan gramatika dan mengandung kondisi hermeneutik yang luas dan barangkali tidak terbatas.
Namun di atas semua itu, kita mungkin perlu bertanya, sejauh mana proses kemenjadian Pancasila sehingga kita berani mengidentikkan diri dengannya?
Pancasila tidak ubahnya sistem tanda lain. Dalam diskursus semiotika, kita kenal penanda (signifier) dan petanda (signified); tanda adalah konstruksi bentuk dan konsep. Menaklik Pancasila kemudian menjadi kerja kompleks, sebab tidak cukup sekadar memahami penandanya (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan), melainkan juga memahami dimensi petandanya, tataran konseptual yang begitu luas itu.
Dalam konteks begini Pancasila bak samudera teramat lapang dan curam. Setiap golongan yang merasa “isme”-nya diakomodir salah satu sila, bisa saja mengaku diri Pancasilais sejati. Marxisme misalnya, mungkin saja menyalurkan aspirasi sosialnya karena sejalan dengan sila-5, kaum nasionalis sempit menyandarkan diri pada sila-3 dan kelompok agamis tertentu pada sila-1.
Pada persoalan terakhir, menyelami Pancasila menjadi ikhtiar yang begitu ruwet. Sebab Pancasila juga menganggit nilai “kerakyatan” yang kerap kali dianggap kontradiktif dengan “Ketuhanan”. Sejarah telah menyimulasikan betapa konsep agama dan negara amat sulit ketemu. Muncul oposisi biner: antara “Ketuhanan yang berkerakyatan” atau “Kerakyatan yang berketuhanan” menurut Rocky Gerung, atau “Bonum Maximum” vis-a-vis “Minus Mallum” bagi Ignas Kleden.
Kondisi hermeneutik Pancasila memberikan ruang lapang bagi tiap-tiap orang menafsirkan Pancasila di atas visi identitas mereka masing-masing. Mereka menggali, menganggit dan mengukuhkan konsep Pancasila versi sendiri di atas bangunan teoritik tertentu yang barangkali berbeda dengan landasan gagasan kelompok lain.
Kelompok yang melegitimasi Pancasila di atas visi identitas mereka sangat mungkin terjebak dalam laku fatalistik--apa lagi alam pikir masyarakat Indonesia yang cenderung tunduk pada satu tafsir dari tokoh yang dipuja (atavisme). Tidak menutup kemungkinan orang yang memahami Pancasila dengan cara yang berbeda bakal dituding makar, anti-NKRI, atau anti-Pancasila.
Lalu kita pun bertanya, tatkala seseorang berkata “saya Pancasila”, Pancasila seperti apakah yang ia maksud?
KEBENARAN YANG BELUM SELESAI
Dalam ilmu logika klasik, kita kenal teori korespondensi, yakni kebenaran sebagai keselarasan proposisi dan kenyataan. Maka ketika seorang berkata, “saya adalah Pancasila”, kenyataan manakah yang dirujuk Pancasila itu? Tentu kita tidak bicara soal Pancasila sebagai penanda (gugusan nilai-nilai yang tertulis) namun sebagai petanda, dimensi makna yang dialami dalam kehidupan nyata.
Meskipun ada juga yang bilang bahwa Pancasila justru digali dari realitas empiris bangsa. Mereka mungkin akan kutip salah satu pendiri bangsa bahwa sebelum sila ke-4 muncul, nilainya telah dipraktekkan oleh budaya gotong-royong masyarakat (pendapat ini masih bisa diperdebatkan). Katakanlah sila-4 memang berkorespondensi dengan kenyataan, lalu bagaimana sila lain? Bukankah Pancasila mestinya holistik, yakni tatkala semua nilai serentak terwujud.
Maka Pancasila sebagai petanda, masihlah sebuah konsep dan kenyataan yang tertunda. Pancasila merupakan proses “kemenjadian” terus-menerus, objek pemaknaan yang tak terbatas serta mengalami rekonstruksi berulang-ulang: Pancasila ialah kebenaran yang belum selesai; Pancasila adalah proses.
Finalisasi terhadap makna Pancasila tidak hanya mereduksi Pancasila menjadi “konsep tentang Pancasila”, juga mempersempit dialektika dan diskursus dalam ruang publik. Seperti ucap Rocky Gerung dalam esai Pancasila bukan Panacea: “... dalam sejarah politik kita, Pancasila lebih dipraktekkan sebagai ideologi penutup kritik, ketimbang pembuka dialog… .”
Sepenggal gagasan Rocky Gerung mengingatkan kita pada ingatan pahit dimana Pancasila pernah dimanfaatkan Orde Baru. Alih-alih melahirkan Ideological State Apparatus, malah muncul Represife State Apparatus. Kebenaran Pancasila kemudian bertransmisi jadi kebenaran pragmatik, digunakan buat melanggengkan status quo dan menumpas kelompok yang punya interpretasi berbeda.
Maka wajar kegelisahan itu kembali bangkit sewaktu Presiden melantik Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang diketuai Yudi Latif. Kita memang tidak perlu khawatir selama metode yang dioperasikan berbeda seperti BP-7 Orde Baru; selama tafsir terhadap Pancasila tidak dimonopoli dan negara maupun rakyat ikut terlibat merawat penalaran rasional dan argumentasi ilmiah dalam diskursus ruang publik.
Pada akhirnya proposisi “saya Pancasila” mestinya berkorespondensi dengan Pancasila sebagai proses, kebenaran yang belum selesai, tidak final dan bersifat dinamis. “Saya Pancasila” merupakan deklarasi performatif demi merayakan perbedaan dan dialog. Sebab, meminjam Komarudin Hidayat, absolutisasi tafsir tidak ayal memukul lonceng kematian hermeneutika. Kematian hermeneutika adalah kematian perbedaan. Dan membunuh perbedaan, ialah membunuh Indonesia.
0 Komentar