(Diterjemahkan dari tulisan Tristan Harris, seorang filsuf teknologi, perancang kode etik Google sampai tahun 2016. Situs aslinya bisa diklik sini: “HowTechnology is Hijacking Your Mind...”)
Perkiraan
waktu membaca: 12 menit
“Lebih mudah membodohi orang daripada meyakinkan bahwa mereka lagi
dibodohi.”—anonim.
Saya adalah pakar tentang
cara teknologi membajak kerentanan psikologis kita. Inilah alasan kenapa saya
menghabiskan tiga tahun terakhir sebagai perancang kode etik di Google yang
mengadvokasi milyaran pikiran manusia dari pembajakan.
Ketika menggunakan
teknologi, kita secara optimis berfokus pada segala hal yang dapat ia berikan
pada kita. Tapi saya ingin menampilkan kepada Anda sesuatu yang bertentangan
denga optimisme itu.
Bagaimana
cara teknologi mengeksploitasi kelemahan pikiran kita?
Saya mempelajari metode ini
ketika masih berprofesi sebagai pesulap. Pesulap mulai dengan mempelajari titik buta, tapal batas, kerentanan dan
keterbatasan dari persepsi manusia, sehingga pesulap bisa mempengaruhi kita
tanpa kita sadari. Sekali Anda mengetahui cara mengendalikan orang semudah
menekan tombol, Anda dapat memainkan mereka seperti piano.
Dan dengan cara demikianlah
para desainer produk teknologi membajak Anda. Mereka memainkan kerentanan
psikologis (baik secara sadar maupun tak sadar) untuk melawan diri Anda sendiri
demi merenggut perhatian Anda secara mutlak.
Saya ingin menunjukan
bagaimana cara melakukannya.
Pembajakan #1: Jika Anda Mengendalikan
Menu, Anda Mengontrol Pilihan-pilihan
Budaya Barat dibangun dengan
cita-cita tentang kehendak bebas dan kemerdekaan individu. Jutaan dari kita
dengan gigih mempertahankan hak untuk membuat keputusan secara “bebas”, dan
kita gunakan hak itu ketika kita menolak dimanipulasi oleh menu yang tidak kita
pernah kita minta sebelumnya.
Demikianlah cara kerja
pesulap. Mereka memberi orang-orang ilusi tentang pilihan bebas seraya menyusun
menu penuh opsi-opsi yang tidak memberi kita pilihan lain selain kemenangan
pesulap, tidak peduli apapun yang Anda pilih dalam menu itu.
Tatkala orang-orang
diberikan menu yang terdiri dari pelbagai opsi, mereka sangat jarang
mempertanyakan hal-hal ini:
- “Apa yang tak ada di menu?”
- “Kenapa aku diberikan pilihan ini dan bukan pilihan yang lain?”
- “Apakah aku tahu tujuan dari pemberi menu ini?”
- “Apakah menu ini mengakomodir kebutuhan orisinilku, atau opsi-opsi ini hanya mengalihkan perhatianku dari kebutuhan sebenarnya?”
Sebagai contoh, bayangkan
Anda lagi keluar bersama teman-teman pada Selasa malam dan Anda ingin
percakapan mengalir sebagaimana biasanya. Anda membuka Yelp (aplikasi pencari
lokasi) untuk menemukan rekomendasi bar terdekat. Anda dan kawan-kawan lalu
menjelma jadi kerumunan yang menundukkan wajah ke gawai. Kalian mengamati
foto-foto yang dipaparkan aplikasi, membandingkan pesona koktail dari
masing-masing bar. Apakah menu-menu yang ditawarkan masih relevan dengan
keinginan asli kalian?
Bukan berarti bar adalah
pilihan yang buruk, akan tetapi Yelp mengubah pertanyaan dasar kalian (“di
manakah kami dapat mengobrol?”) dengan soal berbeda (“di manakah bar dengan
kualitas koktail yang bagus?”) yang dibentuk oleh menu.
Lebih dari itu, kalian
tergelinicir ke dalam ilusi Yelp yang menawarkan seabrek pilihan lengkap berkenaan dengan tempat yang perlu dituju.
Ketika sedang menunduk pada gawai, kalian tidak melihat taman di seberang jalan
yang diramaikan grup band dengan musik yang asik. Di sudut lain jalanan itu,
tatapan kalian luput dari galeri yang menghidangkan keripik dan kopi. Kedua hal
tersebut justru tak ada dalam menu Yelp.
Semakin banyak opsi yang
ditawarkan teknologi dalam hidup kita (informasi, berita, tempat nongkrong, relasi, kencan, pekerjaan)—maka semakin besar pula asumsi bahwa gawai
kita senantiasa mengakomodir kebutuhan kita dengan menu yang amat berguna. Bukankah
begitu?
Menu yang “paling sering
dicari” bukanlah menu yang paling sering dipilih. Tapi
ketika kita terbutakan dan menyerah pada menu yang kita terima, teramat gampang
untuk tersesat di antara perbedaan-perbedaan ini:
- “Siapa yang bisa kuajak jalan-jalan malam ini?” menjadi sebuah menu yang paling sering orang tulis buat kita.
- “Apa yang sedang terjadi di dunia saat ini?” menjadi menu dari konten berita di lini massa kita.
- “Siapa jomlo yang bisa saya ajak kencan?” menjadi menu ketika kita menggeser layar di Tinder.
- “Aku perlu menjawab email ini.” Menjadi menu dari kata kunci untuk menulis respon (menggantikan cara untuk berkomunikasi dengan orang lain).
Tatkala kita henyak di satu
pagi, segera kita menyalakan gawai untuk menengok notifikasi—yang
membingkai pengalaman “bangun di pagi hari” di sekeliling menu tentang “apakah
yang aku lewatkan sejak kemarin” (sebagai contoh tambahan, lihat Joe Edelman’s
Empowering Design Talk).
Dengan membentuk menu yang
kita ambil, teknologi membajak perspektif atas pilihan nyata kita dan
menukarnya dengan pilihan yang berbeda. Tapi semakin kita cermat serta teliti
pada opsi yang kita terima, semakin kita sadar bahwa pilihan demi pilihan itu
tidak menjawab kebutuhan sejati kita.
Pembajakan #2: Letakkan Mesin Slot di
Milyaran Kantong
Jika kalian adalah sebuah
aplikasi, bagaimanakah cara membuat orang-orang tetap ketagihan pada kalian?
Ubah dirimu menjadi mesin slot.
Rata-rata orang memeriksa
gawainya 150 kali sehari. Kenapa kita melakukan hal ini? Apakah kita membuat 150
tindakan itu dengan sadar?
Alasan umum kenapa trik
psikologis yang utama adalah mesin slot, karena teknologi menawarkan hadiah yang senantiasa beraneka ragam
secara acak.
Jika ingin memaksimalkan
tingkat kecanduan, semua perancang teknologi perlu menghubungan antara tindakan
pengguna teknologi (seperti tuas yang siap ditarik) dan beragam hadiah yang tak tertebak. Ketika Anda menarik tuas itu,
seketika Anda menerima hadiah menarik atau bahkan tidak dapat apa-apa sama
sekali. Tingkat kecanduan lalu semakin membuncah ketika nilai dari hadiah itu
menjadi lebih beraneka macam.
Apakah efek ini benar-benar
bekerja pada orang-orang? Tentu saja. Mesin slot mencetak banyak uang di
Amerika Serikat ketimbang uang yang
dihasilakan baseball, bioskop, dan taman hiburan bila digabungkan. Menurut
profesor Natasha Dow Schull, penulis Addiction
by Design, orang 3-4x lebih cepat
ketagihan dengan mesin slot ketimbang jenis perjudian lain.
Namun
terdapat kebenaran yang patut disayangkan—milyaran orang memiliki mesin slot di
kantong mereka:
- Ketika kita merogoh gawai dari kantong, kita memainkan mesin slot untuk melihat notifikasi apakah yang kita terima.
- Ketika kita membuka dan me-refresh email, kita memainkan mesin slot untuk melihat email baru yang kita terima.
- Ketika kita menggeser layar ke bawah dengan jemari kita di lini massa Instagram, kita memainkan mesin slot untuk melihat foto apa yang akan muncul selanjutnya.
- Ketika kita menggeser layar ke kiri atau ke kanan di aplikasi kencan semisal Tinder, kita memainkan mesin slot untuk melihat siapakah yang cocok dengan kita.
- Ketika kita menekan tanda pagar (#) atau notifikasi merah, kita memainkan mesin slot untuk melihat pemberitahuan apa yang tersimpan di dalamnya.
Aplikasi dan situs web
menghamburkan beraneka ragam hadiah secara acak yang semuanya diproduksi demi
kepentingan bisnis.
Tapi dalam kasus berbeda,
mesin slot mucul secara kebetulan. Sebagai contoh, tidak ada korporasi jahat di
balik semua email yang secara sadar menjelmakan dirinya sebagai mesin slot.
Tidak ada laba yang mengalir ketika jutaan orang memeriksa email mereka. Tidak
pula perancang Apple dan Google ingin gawai kita bekerja bak mesin slot. Hal
itu muncul secara kebetulan.
Tapi kini perusahaan semacam
Apple dan Google memiliki tanggungjawab untuk mengurangi tingkat ketagihan
pada mekanisme mesin slot dari gawai kita, mengubah “aneka macam hadiah yang
bersifat acak” menjadi hadiah yang dapat diprediksikan dengan lebih baik.
Semisal, mereka dapat membantu orang-orang agar mengatur waktu yang tepat di
antara sepanjang hari atau hari yang tepat dalam satu minggu untuk memeriksa aplikasi
“mesin slot” dan memeriksa pesan baru secara sekaligus.
Pembajakan #3: Takut Luput dari Sesuatu
yang Penting (FOMSI: Fear of Missing Something Important)
Cara lain untuk membajak
pikiran adalah dengan menanam gagasan bahwa terdapat “1% kesempatan Anda akan
kehilangan sesuatu yang berharga.”
Jika saya meyakinkan Anda
bahwa saya adalah kanal untuk informasi penting, pesan, pertemanan, atau
kesempatan untuk hubungan seksual—akan menjadi sulit bagi Anda untuk memadamkan
saya, sulit bagi anda untuk berhenti berlangganan pada saya, atau menghapus
akun Anda—karena (aha, saya menang!) Anda mungkin akan ketinggalan sesuatu yang
penting dan berharga:
- Cara ini menjaga kita tetap berlangganan pada surat kabar meskipun mereka tidak lagi menyumbangkan keuntungan bagi kita (“bagaimana jika aku ketinggalan berita tentang masa depan?”).
- Cara ini menjaga “pertemanan” dengan mereka yang sudah bertahun-tahun lamanya tidak berbincang dengan kita (“bagaimana jika aku ketinggalan sesuatu yang berharga dari mereka?”).
- Cara ini menjaga kepala kita tetap tunduk pada layar aplikasi kencan, meskipun kita tidak pernah ketemu satu pun orang dalamnya (“bagaimana bila aku ketinggalan kesempatan kencan dengan si seksi yang menyukaiku?”).
- Cara ini menjaga kita tetap menggunakan media sosial (“bagaimana jika aku meninggalkan berita penting sehingga tak bisa terlibat percakapan dengan teman-temanku nanti?”).
Tapi jika kita mendekati
rasa takut itu lebih dekap, kita bakal menyadari akan jumlahnya yang tak
terbatas: kita bakal selalu kehilangan
sesuatu yang penting dan berharga acapkali kita berhenti menggunakan
sesuatu.
- Terdapat momen magis ketika kita tak menggunakan Facebook selama 6 jam (semisal seorang sahabat lama lagi mengunjungi kota kita sekarang juga).
- Terdapat momen magis ketika kita terlepas dari Tinder (semisal kita lagi mimpi dengan pasangan yang romantis) .
- Terdapat panggilan telepon penting yang akan kita abaikan bila kita tidak mengakses internet selama 24/7 (24 jam sehari dan 7 hari seminggu).
Namun
menjalani momen demi momen dengan dicekam rasa takut kehilangan sesuatu,
bukanlah cara terbaik membangun kehidupan.
Dan sekali kita
mempersilakan rasa takut itu pergi, betapa menakjubkan cepatnya kita terbangun
dari ilusi. Ketika kita mencabut diri dari teknologi lebih dari sehari,
membatalkan hubungan dari gempuran notifikasi itu, atau pergi naik
gunung—keprihatinan yang kita cemaskan sebenarnya tidak benar-benar terjadi.
Kita
tidak kehilangan sesuatu yang tidak kita lihat...
Gagasan bahwa, “bagaimana
jika aku ketinggalan sesuatu yang penting?”, dihasilkan sebelum kita memadamkan
teknologi—bukan setelahnya. Bayangkan bila perusahaan teknologi secara proaktif
membantu kita menghidupkan hubungan dengan sahabat dan relasi bisnis dalam
istilah yang kita sebut sebagai “cara menghabiskan waktu yang bijak”
(Selanjutnya saya sebut: Time Well Spent).
Pembajakan
#4: Penerimaan Sosial
Kita semua rentan terhadap persetujuan sosial. Kebutuhan untuk
menjadi bagian dari sesuatu, untuk diterima dan diapresiasi sesama adalah satu
di antara motivasi tertinggi mahkluk manusia. Namun kini persetujuan sosial
berada di pihak perusahaan teknologi.
Ketika saya ditandai oleh
teman saya Marc, saya bayangkan dia secara sadar memutuskan untuk
menandai saya dalam sebuah postingan. Tapi saya tidak melihat bagaimana
perusahaan seperti Facebook mengorkestrasi tindakannya terlebih dahulu.
Facebook, Instagram atau
SnapChat dapat memanipulasi bagaimana orang-orang ditandai dalam sebuah foto
secara otomatis lewat saran yang diberikan dari wajah-wajah orang yang perlu
ditandai (sebagai contoh dengan memperlihatkan sebuah kotak dengan konfirmasi
yang menunggu diklik, “Apakah Anda ingin menandai Tristan di foto ini?”).
Jadi ketika Marc menandai
saya, dia secara langsung merespon sugesti Facebook, dengan kata lain ia tak
membuat keputusan secara independen. Tapi berdasarkan pilihan yang didesain
seperti ini, Facebook dapat mengendalikan pengalaman jutaan orang agar
merasakan sensasi “penerimaan sosial”.
Hal yang sama terjadi ketika
kita mengubah foto profil—Facebook tahu momentum ketika kita rentan atas
penerimaan sosial: “apakah yang
teman-teman pikirkan tentang foto profil baru saya?” Facebook
mengurutkannya pada bagian teratas lini massa, sehingga dapat bertahan lebih
lama dan lebih banyak teman yang akan memberikan like serta komentar.
Semua orang secara
instingtual merespon atas penerimaan sosial, tapi untuk sebagian jenis
demografi (remaja), penerimaan sosial ini menjadi jauh lebih berharga ketimbang
kelompok lain. Inilah alasan kenapa begitu penting untuk tahu cara para
perancang ini ketika mereka meretas kerapuhan mental kita..
Pembajakan
#5: Transaksi Sosial
- Kau membantuku—aku berhutang budi padamu di lain waktu.
- Kau berkata, “terima kasih”—aku akan berkata “terima kasih kembali.”
- Kau mengirim email padaku—tidak sopan bila aku tidak membalasnya.
- Kau mengikuti media sosialku—tidak sopan bila aku tidak mengikutimu balik (terkhusus untuk remaja).
Kita rentan oleh kebutuhan
untuk bersikap timbal-balik atas gestur orang lain. Tapi sebagai penerimaan
sosial, perusahaan teknologi kini memanipulasi bagaimana cara kita “mengalami”
peristiwa tersebut.
Dalam beberapa kasus, hal
ini terjadi secara tak sengaja. Email,
SMS dan pesan adalah industri dari transaksi sosial. Tapi dalam kasus
berbeda, perusahaan mengeksploitasi kerentanan psikologis kita dengan tujuan
terselubung.
LinkedIn adalah yang paling
kentara. LinkedIn ingin sebanyak-banyaknya orang merasa punya kewajiban sosial
untuk orang lain, karena setiap kali mereka melakukan transaksi sosial (dengan
menerima koneksi satu sama lain, membalas pesan, atau mendukung seseorang yang
terampil melakukan sesuatu) mereka harus kembali pada linkedin.com di mana
mereka bisa menemukan lebih banyak orang untuk menghabiskan waktu.
Seperti Facebook, LinkedIn
mengeksploitasi persepsi kita secara asimetris. Saat Anda menerima undangan
untuk terhubung dengan orang lain, Anda membayangkan bahwa orang itu membuat
keputusan sadar untuk mengundang Anda, pada kenyataannya, mereka secara tak
sadar merespon sugesti LinkedIn mereka. Dengan kata lain, LinkedIn mengubah
impuls bawah sadar Anda (untuk “menambahkan” seseorang) menjadi kewajiban sosial
yang mesti ditebus oleh jutaan orang yang merasa berhutang pada Anda.
Bayangkan jutaan orang
didesak interupsi seperti ini sepanjang harinya, lari terbirit-birit seperti
ayam berkepala buntung, melakukan tukar-menukar sosial satu sama lain—semua ini
dirancang oleh perusahaan demi keuntungan bisnis.
Bayangkan bila perusahaan
teknologi bertanggungjawab untuk meminimalisir transaksi sosial yang tak perlu.
Atau bayangkan terdapat organisasi independen yang mewakili kepentingan publik—sebuah
industri konsorsium atau FDA untuk teknologi—yang memonitoring kapankah
perusahaan teknologi melakukan penyelewengan kekuasaan atas bias ini?
Pembajakan
#6: Mangkuk Tanpa Dasar, Makanan Tak Terbatas, dan Autoplay
Cara lain untuk membajak
orang adalah menjaga mereka untuk tetap mengonsumsi segala sesuatu, meskipun
mereka tidak lapar sama sekali.
Bagaimana caranya? Gampang.
Ambil satu pengalaman yang terbatas, dan ubah ia menjadi aliran tak terbatas
yang berlangsung terus-menerus.
Seorang profesor bernama
Brian Wansink mendemonstrasikan hal ini, yang menunjukkan bahwa Anda dapat
mengecoh orang untuk tetap memakan sup terus menerus dengan memberikannya
mangkuk tanpa dasar yang secara otomatis akan mengisi ulang apa yang mereka
makan. Dengan mangkuk tanpa dasar, orang-orang mengonsumsi 73% lebih banyak
kalori ketimbang orang dengan mangkuk normal dan mengabaikan 140 kalori yang
mereka makan.
Perusahaan teknologi
menggunakan prinsip serupa. Lini massa dirancang dengan tujuan isi ulang-otomatis
agar Anda tetap menggulirkan jari di layar, dan bertujuan untuk mengeliminir
setiap alasan kau harus menjeda, mempertimbangkan untuk menjeda atau untuk
keluar dari aktivitas itu.
Inilah kenapa video dan
situs media sosial seperti Netflix, Youtube atau Facebook memiliki fitur autoplay untuk memainkan video
selanjutnya setelah proses hitung mundur yang menunggu Anda untuk membuat keputusan
secara sadar (kenyataannya, Anda tak akan memutuskan apapun). Porsi besar dari
lalu lintas situs web digerakkan oleh fitur autoplay
ini.
Perusahaan teknologi lantas mengklaim
bahwa “kami hanya mempermudah para pungguna untuk melihat video yang ingin mereka tonton” ketika mereka
hanya peduli dengan kepentingan bisnis mereka semata. Dan Anda tidak bisa
menyalahkan mereka, karena meningkatkan “waktu yang dihabiskan” di hadapan
layar, adalah mata uang yang mereka kejar.
Akhirnya, bayangkan jika
perusahaan teknologi membantu Anda secara sadar terlibat dalam pengalaman personal
untuk “Time Well Spent” di jagad maya ini. Tidak hanya melibatkan aspek kuantitas, tapi juga kualitas dari apa yang disebut “Time
Well Spent”.
Pembajakan
#7: Interupsi Instan vs. Laporan yang Sopan
Perusahaan mahfum bahwa
pesan yang menginterupsi orang secara mendadak,
akan jauh lebih persuasif untuk membuat orang-orang merespon ketimbang
pesan yang dikirimkan secara asinkronis (seperti email atau kotak masuk yang menumpuk).
Katakanlah, Facebook
Messenger (atau WhatsApp, WeChat atau SnapChat dan lain semacamnya) menata
sistem pesan mereka agar bisa menginterupsi sang penerima secara mendadak
(dengan menampilkan kotak obrolan) demi membantu para pengguna menghargai
atensi satu sama lain.
Dengan kata lain, interupsi adalah berkah untuk bisnis.
Cara ini juga tergolong
dalam kepentingan mereka, demi meningkatkan perasaan “terdesak” untuk melakukan
transaksi sosial. Semisal, Facebook secara otomatis melapor pada pengirim pesan
saat Anda sudah “membaca” pesan mereka, dan tidak membiarkan Anda menghindari
pesan itu sampai terbaca. (“kini Anda tahu saya sudah membuka pesan Anda, saya
lantas merasa bertanggungjawab untuk membalasnya.”)
Secara kontras, Apple lebih
menghormati para penggunanya dengan fitur untuk menyalakan atau mematikan
sistem notifikasi pesan.
Yang menjadi masalah,
memaksimalisasi interupsi atas nama kepentingan bisnis, akan menciptakan
tragedi yang universal, meruntuhkan jangkauan perhatian global dan menyebabkan
milyaran interupsi tak penting mengepung kita setiap hari. Inilah problem besar
yang perlu kita perbaiki dengan membagikan standar perencenaan (secara
potensial, sebagai bagian dari “Time Well Spent”).
Pembajakan
#8: Bungkus Tujuan Anda dengan Tujuan Mereka
Metode lain membajak Anda,
adalah dengan menggunakan tujuan Anda
untuk mengunjungi aplikasi mereka dan membuat
tujuan itu tidak terpisahkan dari motivasi bisnis mereka (memaksimalisir
sebanyak-banyaknya daya konsumsi kita sekali kita masuk ke dalamnya).
Sebagai contoh, dalam dunia
fisik dari toko grosir, tujuan pertama dan tujuan kedua yang paling populer untuk
dikunjungi adalah apotek dan toko susu. Tapi toko grosir ingin menaikkan daya
beli kita, maka mereka meletakkan obat-obatan dan susu di belakang toko.
Dengan
kata lain, mereka menyediakan barang-barang yang diinginkan pelanggan (susu,
obat-obatan) tak terpisahkan dengan keuntungan bisnis yang mereka peroleh. Jika
toko itu terorganisir dengan baik, mereka akan meletakkan barang paling populer
di etalase.
Perusahaan teknologi
merancang situs mereka dengan cara serupa. Sebagai misal, saat Anda ingin
melihat apa yang lagi terjadi di Facebook malam ini (tujuan Anda) maka aplikasi
Facebook tidak mengizinkan anda mengaksesnya sebelum terlebih dahulu mendarat
pada lini massa (tujuan mereka), dan hal itu terjadi dengan maksud dan tujuan
tertentu. Facebook ingin untuk mengubah setiap tujuan yang Anda miliki untuk
menggunakan Facebook, menjadi tujuan yang dapat memaksimalkan waktu Anda untuk
mengonsumsi segala sesuatu dalam Facebook.
Bayangkal bila ...
- Twitter memberi Anda cara terpisah untuk mempos sebuah tweet tanpa harus melihat lini massa.
- Facebook memberi cara terpisah untuk menengok peristiwa tertentu di Facebook malam ini, tanpa dipaksa melihat lini massa mereka.
- Facebook memberi cara terpisah menggunakan koneksi Facebook sebagai sebuah izin membuat akun baru lewat bantuan aplikasi atau situs lain, tanpa dipaksa untuk menginstal seluruh aplikasi Facebook, lini massa dan notifikasinya.
Dalam konsepsi “Time Well
Spent”, senantiasa terdapat rute menuju apa yang Anda inginkan, yang terpisah
dengan apa yang bisnis kehendaki. Bayangkan sebuah “hak asasi” digital menguraikan
standarisasi untuk memaksa produk yang digunakan milyaran orang agar menuntun para
pengguna, langsung menuju apa yang mereka inginkan tanpa perlu diarahkan ke
tempat tidak berguna terlebih dahulu.
Pembajakan
#9: Keputusan yang Tidak Nyaman
Kami berkata, bahwa sudah
cukup untuk bisnis “membuat keputusan-keputusan yang tersedia”.
- “Jika Anda tidak menyukainya, Anda selalu bisa menggunakan produk lain.”
- “Jika Anda tidak menyukainya, Anda selalu bisa untuk berhenti berlangganan.”
- “Jika Anda kecanduan pada aplikasi kami, Anda selalu bisa menghapusnya dari gawai Anda.”
Bisnis secara alamiah ingin Anda membuat keputusan yang mereka inginkan
tampak lebih mudah, dan keputusan yang mereka tak kehendaki dibuat seolah-olah
sulit dilakukan. Pesulap melakukan hal yang persis. Anda memudahkan
penonton agar mengambil benda yang sejak awal Anda kehendaki, dan mempersulit
mereka mengambil benda yang sejak awal Anda tak kehendaki.
Contohnya, NYTimes.com
membiarkan Anda “membuat pilihan bebas” untuk membatalkan langganan digital
Anda. Sebagai gantinya ketika anda menekan tombol “Berhenti Berlangganan”,
mereka akan mengirimkan Anda sebuah email
dengan informasi, tentang bagaimana cara membatalkan akun Anda dengan menelepon
nomor kontak yang hanya bisa dibuka pada waktu tertentu saja.
Bukannya melihat dunia lewat
terminologi kehendak bebas yang tak
terbatas, kita justru menyaksikan dunia yang mana percekcokan diperlukan untuk menetapkan keputusan. Bayangkan satu
dunia yang mana betapa peliknya keputusan agar terpenuhi (semacam koefisien
dari sebuah friksi) dan kemudian muncul sebuah entitas independen—sebuah industri
konsorsium atau institusi non-profit—yang mengentaskan kesulitan ini dan
menawarkan standarisasi yang lebih mudah bagi pengguna teknologi.
Pembajakan
#10: Ramalan yang Keliru, Strategi “Kaki di Depan Pintu”
Terakhir, aplikasi dapat
mengeksploitasi ketidaksanggupan orang untuk meramalkan konsekuensi dari sebuah
klik.
Kita tidak secara intuitif
meramalkan biaya sesungguhnya dari sebuah
klik. Para pedagang menggunakan teknik “kaki di depan pintu”, dengan
meminta hal kecil yang tak berbahaya sebagai permulaan (“hanya satu klik untuk
melihat tweet mana yang diretweet”), dan bereskalasi dari sana (“kenapa
tidak menetap sebentar saja?”). Trik ini digunakan secara virtual oleh seluruh
situs web.
Bayangkan bila situs web dan
smartphones, merupakan pintu gerbang
yang dilalui oleh orang-orang yang membuat keputusan ini, yang mana sesungguhnya
mengamati dan membantu mereka untuk meramalkan konsekuensi dari satu klik
(berdasarkan data riil tentang apakah keuntungan dan biaya yang perlu
ditebus dari tindakan ini?).
Inillah kenapa saya menambahkan
“estimasi waktu membaca” di bagian atas tulisan saya. Ketika Anda meletakkan “biaya
sesungguhnya” atas tiap keputusan yang akan diambil, Anda telah memperlakukan
audiens Anda secara bermartabat dan penuh hormat. Dalam konsep “Time Well Spent”,
keputusan dapat dibingkai dengan harga yang dapat dinilai dan keuntungan tertentu,
maka orang-orang yang merasa diakomodir untuk membuat pilihan berdasarkan
informasi yang disediakan sejak awal, tidak perlu melakukan kerja ekstra.
Ringkasan Dan Bagaimana Kita Dapat
Memperbaiki Hal Ini
Apakah Anda naik pitam
dengan fakta bahwa pikiran Anda telah dibajak teknologi? Saya pun sama. Saya
telah membuat daftar berkenaan beberapa teknik tapi mungkin jumlahnya bisa
ribuan. Bayangkan seluruh rak buku, seminar, workshops dan latihan yang
mengajarkan cita-cita luhur bagi para pengusaha teknologi. Bandingkan dengan
ribuan teknisi yang bekerja setiap harinya untuk menemukan cara-cara baru untuk
membuat Anda ketagihan.
Kebebasan tertinggi ialah
kebebasan berpikir, dan kita butuh teknologi untuk membantu kita mengatasi
hidup, mendalami emosi, untuk berpikir dan bertindak merdeka.
Kita memerlukan smpartphones,
layar notifikasi dan situs web agar membangun kerangka berpikir kita dan
membentuk hubungan interpersonal yang penuh nilai berharga, bukan malah bersifat
impulsif. Waktu setiap orang begitu bernilai. Dan kita harus melindunginya dengan ketegasan
yang sama sebagaimana kita melindungi privasi serta hak digital lain.
0 Komentar