Setengah tahun lebih ini
saya selalu menumpang laptop teman-teman untuk menulis. Saya juga pernah
mencoba menulis lewat gawai yang ternyata berjalan tidak khidmat. Lalu saya
kembali pada cara klasik yakni menulis di jurnal seperti dulu. Cara terakhir
ini efektif mengakomodir gairah menulis yang ingin selalu saya rawat. Hingga lambat
laun, karena kadung terbiasa, prosesi menulis saya mungkin menjadi sama
produktif seperti beberapa tahun lalu, yang pernah saya nikmati benar-benar.
Tahun ini saya membuat nazar
baru yakni mesti menulis satu lembar tiap harinya. Sejak tahun 2018 selalu
terngiang kata-kata Raditya Dika dalam kepala saya, menguntit benak saya
seperti setan kecil yang tak akan pergi sebelum saya membayar utang pada diri sendiri.
Raditya Dika berkata bahwa dia selalu menjaga otot kreatifitasnya dengan
mencoba menulis satu lembar tiap harinya.
Beberapa hari sebelum tahun
baru saya sudah memulai rutinitas itu dengan bantuan jurnal cokelat saya.
Setiap hari selalu saya usahakan untuk menulis apapun. Dan ternyata ini
merupakan proses melelahkan di awal tapi penuh tenaga setelah 200-300 kata
mengalir. Setelahnya yang terjadi seumpama keran air yang semakin bocor,
ide-ide segar mengalir tak terkendali. Sayangnya saya hanya punya satu pena,
dua jari yang menopang, dan satu tangan saja. Gagasan demi gagasan itu seolah
tak dapat tumpah secara leluasa. Tapi tetap saja, proses ini begitu
menyenangkan.
Dalam buku Seni Untuk Bersikap Bodoh Amat, karya
Mark Manson, saya mengetahui bahwa seorang penulis professional yang saya lupa
namanya ternyata selalu berusaha meluangkan waktu menulis paling minimal 200
kata setiap harinya. Bahkan dalam situasi mental yang paling buntu sekalipun ia
akan berusaha menulis meski akhirnya tulisan itu hanya akan menjadi alur cerita
yang tak jelas penuh kekacauan. Tapi kalau beruntung, barangkali kebuntuan
lorong mental itu justru runtuh seperti Tembok Berlin, sampai cerita yang hanya
200 kata itu beranak pinak jadi 2000 kata. Bila ternyata kisah itu menarik,
mungkin saja ia menjelma jadi 10.000 kata.
Seperti yang terjadi pada
diri saya sekarang ini. Paragraf ke-3 tadi tercatat telah menjejak sebanyak 300
kata lebih. Padahal ketika hendak menulis kata pertama, saya belum tahu ingin
membahas apa. Hehe …
Ada pula Ryan Holiday, ia
seorang blogger yang semalam saya baca tulisannya di Medium. Dia sendiri
mematok prinsip menulis 500 kata tiap harinya. Kerja seperti itu tampaknya
masih agak sulit bagi saya. Patokan saya ketika masih menulis di jurnal adalah
satu-dua lembar paling minimal. Sebab ketika saya hitung secara manual jumlah
katanya memang berkisar 100 kata lebih per halaman, maka dua lembar berarti 200
lebih kata. Dengan etos seperti demikian saya memang lebih cocok dengan apa
yang ditulis Mark Manson—karena memang dari sanalah saya semakin bulat untuk
menulis setiap harinya.
Namun setelah semalam saya
membaca sampai habis tulisan Ryan Holiday (yang sepertinya familiar dengan
acara TED Talks?), saya mempertimbangkan kembali untuk meningkatkan standar
menulis saya. Tapi mendadak muncul juga interupsi dari pikiran saya yang lain
bahwa menulis setiap hari bukan hanya satu-satunya resolusi, eh, nazar saya
tahun ini. Saya masih punya 9 jenis nazar lain yang perlu saya nafkahi dengan
dedikasi. Ditambah beberapa nazar tahun lalu yang belum lunas.
Tapi ketika saya mencemaskan
semua itu, sebenarnya sejak paragraf tadi jumlah kata tulisan ini sudah
mencapai 500 kata. Yah, jadi sepertinya saya sudah selesai dengan apa janji saya
pada diri saya sendiri? Apakah cukup berhenti di situ?
Tapi tunggu dulu, ide saya
saat ini justru mengalir lebih deras dari sebelumnya. Bila di jurnal saya
terjerat dengan hanya punya satu tangan dan satu pena, malah dengan laptop ini
saya merasa ide-ide itu susah tumpah semua meski kini saya ditemani dua tangan
dan sepuluh jemari yang menari sebagaimana pianis dengan tuts-tutsnya.
Ketika tulisan ini masih
putih polos, sangat sulit menyeleksi ide apa yang akan pertama kali dilepas.
Tapi setelah paragraf demi paragraf selesai, saya justru ingin semakin banyak
menuangkan kata-kata. Saya merasa aliran waktu menjadi tak terbatas. Kepala
saya dihuni jalur-jalur cerita yang menggoda untuk ditelusuri lewat teks—teramat
banyak ide yang bisa saya susun di sini. Otot-otot jari saya menjadi jauh lebih
ringan, dan tampaknya haus akan papan tik.
Anda yang saat ini sedang
membaca barangkali punya pandangan bahwa tulisan ini masih bisa berlanjut dengan
mengembangkan sudut-sudut perspektif yang belum terlalu jelas. Apalagi saya. Karena
saya yakin, bakal ada sesuatu yang mengganjal di benak saya, yang membuat saya
mungkin mengernyit, atau memiringkan kepala, bila saya mengetik tanda “titik”
terakhir pada ekor kalimat ini.
1 Komentar
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut