Potrait: Tradey - Gustav Klimt
Ia perempuan biasa, dengan koleksi luka batin sejamaknya perempuan lain, serta keindahan simetris yang melekapi sekujur badan yang semampai seperti patung Arthemis. Namanya Sejarah. Memang, sejak dulu ia sering diasosiasikan dengan dewi keadilan itu. Kita tinggal memberi dia penutup mata, neraca di tangan kiri, dan sebilah pedang di tangan kanan: mereka berdua benar-benar mirip.
Sejarah
seperti perempuan elok lainnya, selalu menjadi alamat cinta laki-laki. Seorang
pernah mendekatinya, mengajak ia kencan, dan bercerita banyak hal sampai uar
kopi terakhir menguap dari cangkir, sampai waktu kehilangan kendali diri atas
mereka. Pria itu bernama Indonesia.
Kencan
Sejarah dan Indonesia berlangsung lama, hingga satu titik, berhenti tanpa pamit
sama sekali. Sejarah cemas. Ia khawatir kalau-kalau sesuatu terjadi pada
Indonesia. Sejarah pun mengambil waktu untuk menengok Indonesia, sekadar
mencari tahu kabar teman baiknya itu. Tak dinyana, di depan rumah Indonesia
yang seperti istana tapi pagar penuh kawat duri sepersis penjara, terdapat dua
penjaga pintu gerbang yang dingin dan datar, terkesan seram.
“Maaf
puan, Indonesia sedang sibuk hari ini.”
Sejarah
mahfum, Indonesia barangkali punya banyak urusan yang perlu dituntaskan.
Barangkali karena itulah Indonesia tidak lagi menengok Sejarah sekadar bertanya
kabar atau bertukar sepatah dua kata sekenanya, seperti di waktu yang pernah
berlalu.
Di
hari lain, Sejarah ingin berkunjung lagi pada Indonesia. Dua penjaga gerbang itu
sekali lagi mencegatnya. “Maaf puan. Indonesia sudah istirahat.”
Hari berbeda, Sejarah mencoba peruntungannya lagi. Kali ini Sejarah mengambil
waktu pagi yang masih segar dan belum dikerubuni lelah atau jadwal padat. Dua
penjaga gerbang itu sekali lagi mencegat. “Maaf puan. Indonesia tidak ada hari
ini.”
Sejarah
bingung. Kemana Indonesia pergi? Apa yang dilakukan Indonesia? Dengan siapa
Indonesia berjumpa? Terkadang terbetik pemikiran aneh dalam benak Sejarah,
“apakah Indonesia sudah lupa padaku?”
Satu-satunya
kesempatan Sejarah melihat wajah Indonesia kembali hanyalah di layar kaca.
Indonesia kerap berpidato, bekerja di sana sini, dan bertemu dengan orang banyak. Nama Sejarah sering dikutip oleh Indonesia, dan Sejarah mulanya senang
oleh itu. Terkadang pengalaman Sejarah dibicarakan, terkadang juga Sejarah
dijadikan contoh bagi sesuatu yang harus atau tidak harus dilakukan.
Berangsur-angsur,
Sejarah heran. Indonesia terlalu sering membicarakan ia, lebih sering daripada
Indonesia membicarakan diri sendiri. Tapi Indonesia tidak pernah datang lagi
pada Sejarah. Apakah Indonesia hanya ingin mencintai Sejarah dengan kata-kata
yang harganya murah? Terkadang juga Sejarah merasa, Sejarah selalu dibicarakan
Indonesia ketika menjustifikasi kebenaran tertentu yang ingin Indonesia
paksakan pada orang lain. Kebenaran semacam itu, entahlah, tampaknya seperti kebenaran yang pragmatis—kebenaran yang dangkal.
Sejarah
sudah kadung kangen. Ia pergi lagi ke rumah Indonesia. Dua penjaga sekali lagi
mencegat. “Indonesia tidak ada hari ini.” Di hari berikutnya sama: “Indonesia
tidak ada hari ini.” Dan seterusnya dan seterusnya.
Sejarah kangen Indonesia. Kita tidak tahu, apakah Indonesia pun punya dosis rindu yang
sama. Sejarah lalu mengambil sepucuk surat yang belum lecek serta pena di
seberang meja kerja. Ia hendak membikin surat untuk Indonesia.
Terkadang
surat itu dikirim berupa payung-payung hitam di depan rumah Indonesia tiap hari
Kamis sore, terkadang surat itu dikirim pada hari Senin ketika bendera sewarna
mawar merah dan melatih putih berkibar, kadang lewat perantara bencana, kadang
lewat tanggal peringatan tertentu dari orang-orang yang raib dan tak pernah
ditemukan jasadnya hingga sekarang, kadang lewat keluarga korban kekerasan masa
lalu…
Indonesia
tidak bergeming. Indonesia tidak selalu ada untuk Sejarah. Indonesia tidak ada
hari ini, besok, dan seterusnya dan seterusnya.
Hingga
batin Sejarah pecah oleh negeri airmata. Pada pucuk surat terakhir, dengan pena
bergetar, Sejarah menulis: “Teruntuk Indonesia, sahabat yang katanya lebih
mengenalku daripada aku mengenali diriku sendiri. Tubuhku dan lukaku adalah
selalu darimu. Dan kau tahu, aku sepersis Arthemis bukan? Dewi keadilan itu?
Aku memang hakim tertinggi bagimu. Maka aku ingatkan, seorang asing bernama
Multatuli dari negerimu pernah berkata, ‘belajarlah dariku, agar kau tak
terkutuk mengulangi kecelakaan yang sama’.”
0 Komentar