Tadi sore saya membuka-buka
akun instagram Indoreadgram. Pada
salah satu postingan akun itu, terdapat kuis sepele yang terasa menyenangkan
bagi ulat buku macam saya. Kita disuruh memilih tiga hal: buku apa yang sedang
kita baca, di mana kita membaca, dan siapa yang menemani kita saat membaca.
Untuk buku yang dibaca dicocokkan dengan tanggal lahir, kedua disesuaikan
dengan bulan, ketiga dengan angka terakhir dari tahun lahir kita. Dan apakah
yang saya dapatkan? Eng ing eng: “Membaca autobiografi Donald Trump di
belakang sekolah bersama dengan Voldemort”.
Saya rasa hasil itu menarik
dan bisa memancing jemari saya yang sudah bergetar tak keruan ini untuk menulis
bagaimana bila hal tersebut terjadi.
Jadi saya, yang seorang anak
berandalan dalam konteks malas mengikuti pelajaran kelas karena lebih nyaman melongoki
jendela pengetahuan, lalu membolos. Saya hobi membolos ke belakang sekolah.
Sebab di sana ada warung kecil langganan anak-anak nakal. Penjaga warung, pak
Ai, ramah dan supel. Saya mencari tempat duduk di dalam warung, supaya, bila
pihak sekolah datang menginspeksi siswa yang bolos, setidaknya saya punya
kesempatan untuk tak ketahuan.
Dan di dalam warung pak Ai
yang bermata cipit tapi bukan etnis cina, entah sudah berapa judul buku yang
saya lahap. Kali ini saya mau membaca autobiografi Donald Trump. Presiden
Amerika yang santer karena kebijakan-kebijakan politiknya yang kontroversial
dan ramai mengundang cemooh. Saya penasaran, siapa sih Trump ini. Dan manakah
yang lebih dulu lahir? Donald Bebek atau si Trump ini?
Yang membuat prosesi bolos
di pagi hari itu menjadi ganjil tapi seru, yakni pa Ai kedatangan tamu lain
dari dunia fantasi. Namanya Voldemort. Kita barangkali tidak asing lagi dengan
sosok berhidung pesek ini.
Pertama-tama dia memberi
salam. Suaranya serak dan parau. Ada nuansa berwibawa yang mengitari
kehadirannya. Tapi juga ada nuansa intimidasi. Sungguh kombinasi yang tak
biasa.
Ia duduk tepat di samping
saya. Dia memesan ale-ale merah. Katanya Voldemort terkenang dengan sesuatu
lewat minuman itu. Lalu pikiran saya melayang menuju tempat aneh yang tak mau saya
masuki. Jadi saya tetap fokus dengan buku bacaan saya. Tidak mengacuhkan pria
jangkung dan botak itu.
“Nak. Aku selalu tertarik
dengan orang yang mau belajar,” kalimat itu mengarah padaku. “Buku apa yang kau
pelajari ini, anak muda?”
Pertama-tama saya menengok
ke muka dia. Saya agak tengadah. Meskipun kami sama-sama duduk di kursi panjang
yang berukuran sama, tapi tetap saja dia tampak sangat tinggi. “Autobiografi
Trump, om.”
“Aku sering mendengar nama
itu di dunia manusia ini. Dia sepertinya orang yang menarik,” Voldemort
menjawab sembari menjimpit dagunya, seperti lagi mempertimbangkan sesuatu.
“Bisakah kau bercerita sedikit tentang manusia itu, anak muda?”
“Aku mau saja sih. Tapi
sayang sekali, bacaanku belum selesai. Ini baru saja aku mencapai setengah
halaman buku. Mungkin aku bisa cerita sekenanya saja. Tidak apa-apa tuan?”
entah kenapa aku memanggilnya tuan. Barangkali karena kharismanya yang aneh.
“Dan apa yang sudah kau
ketahui tentang dia?”
“Trump, adalah pengusaha
yang berjibaku dengan ekonomi nyaris sepanjang umurnya. Hidupnya adalah
kehidupan yang rumit, tapi menarik mengikuti tiap tantangan yang ia entas. Dia
juga sering muncul sebagai cameo
dalam beberapa film. Bahkan film The Simpsons. Banyak teori konspirasi yang
berkata bahwa Trump sejak awal sudah ditakdirkan menjadi presiden lewat salah
satu scene di film kartun yang sangat
kaya dengan budaya populer itu.”
“Anak muda, aku suka kau
cerita tentang perjuangan kerasnya, tapi tidak dengan cerita kartun yang
konyol. Orang tidak akan mendapatkan apa-apa dari makhluk kuning lemah dan
bodoh itu. Fiksi seperti itu hanyalah racun bagi akalmu yang sehat, Buyung.”
Entah kenapa terdengar paradoks ketika dia mengomentari fiksi. Tapi kali ini dia
memanggilku buyung, barangkali dia merasa akrab denganku.
“Oke tuan, maafkan hamba,”
jawab saya lemah. Seperti sudah ditaklukkan saja.
“Jangan pikirkan soal itu
Buyung,” balas tuan botak sembari meraih ale-ale denga jarinya yang panjang,
kurus, serta pucat. “Lanjutkan ceritamu.”
“Pengalaman masa kecil
sampai beranjak dewasa Trump penuh dengan jibaku yang keras baik secara fisik
dan mental. Hingga pada dekade ini, usaha dia mencapai level paling puncak bagi
warga Amerika, yakni mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat, si
negara adidaya yang memenangkan sejarah abad ke-20. Tapi dia adalah presiden
yang tak banyak diharapkan. Bahkan badai survey tertaklik, si Trump ini mustahil
bisa menggantikan takhta Obama. Nonsens. Dan dengan cara tak terduga, demokrasi
Amerika yang sudah punya pengalaman historis yang panjang justru memaparkan
hasil yang tak terduga, Trump menang, mengalahkan Hillary Clinton secara telak.
K.O.”
Si tuan botak semakin serius
mengikuti cerita saya. Yang sebenarnya tidak berasal dari buku yang saya baca.
Hanya berita-berita di internet dan gosip-gosip politik khas warung kopi saja.
Saya sebenarnya hanya melantur. Tapi entah kenapa saya senang, tuan botak
tampak tertarik dengan saya.
Lalu mendadak bagian depan
warung pa Ai terjadi keributan. Teman-teman saya yang nakal teriak, memberi
aba-aba bahwa sekarang waktunya lari. Aduh. Pasti ada guru yang datang
memergoki bolos kami pagi ini, pikirku. Benar saja, saya mendengar suara
langkah kaki seribu yang tergopoh-gopoh di depan. Lalu saya was-was. Takut
sekiranya guru itu masuk ke dala warung pa Ai dan mendapati saya lagi ngobrol
sama om-om asing.
Kekhawatiran saya terbukti.
Suara guru yang taka sing di telinga saya terdengar nyaring tepat di depan
pintu masuk ke warung pa Ai. Saya kenal suara itu, guru matematika saya yang
kolot, culun, dan senang mengatur. Ia dapati saya masih berseragam SMA tapi
tidak masuk mata pelajarannya setengah jam lalu.
Saya langsung berdiri.
Tergagap-gagap. Otak saya lalu berputar keras untuk membuat alasan ala
kadarnya, bukan untuk menghindari hukuman yang saya tahu dengan pasti tidak
bisa dielakkan, tapi untuk meminimalisir hukuman meskipun itu sepertinya
mustahil untuk keadaan seperti ini. Saya seperti maling yang tertangkap basah.
Kelenjar saya mengeluarkan keringat yang dingin. Kaki saya gemetaran di depan
pak guru matematika ini yang sama kakunya dengan angka-angka yang sering dia
tulis. Nakal adalah nakal, tidak ada pengecualian dan kompromi dalam
matematika.
Pak guru mengacung-acungkan
telunjuknya ke arah saya sembari mendekat. Ia meneriaki nama saya berulang
kali, yang tak bisa saya ingat lagi hardikannya karena saya sudah kadung
ketakutan. Otak rasional saya macet. Entah kenapa ada adonan emosi yang
diaduk-aduk dalam tubuh saya, antara malu dan takut—saya sudah pasrah. Dan
ketika telunjuk itu mulai mendekat ke telinga saya, spontan terdengar getaran
suara yang disertai dengan cahaya hijau magis, “Ave Kadevra!”
Cahaya itu menyambar tubuh
pak guru. Lalu pak guru terjengkang. Seragam dinasnya lalu menjadi abu yang
melayang seperti arang kayu yang terbang ketika dibakar api. Lalu tubuh pak
guru diselimuti kabut hitam yang menyatu bersama udara sampai lenyap,
menyisakan sisa debu di lantai rumah pa Ai. Saya hanya melongo. Lalu memutar
kepala saya dan menyaksikan Voldemort masih memegang tongkat sihir dengan
jemarinya yang pucat dan kurus.
“Pak guru… pak guru…
Terimakasih sudah membunuh pak guru itu tuan!” ucap saya dengan lantang dan
takzim.
Seketika saya menyambar
tangan Voldemort dan mencium cincinnya yang kelihatan angker.
“Itu tidak masalah, Buyung.
Kini, ada sesuatu yang ingin aku katakana padamu.”
“Apakah itu tuan?” saya menjawab
dengan binar mata penuh kekaguman.
“Apakah kau tahu Hogwarts?”
Astaganaga! Apakah aku
bermimpi? Aku yang hanya siswa bandel dan suka membolos ini justru ditanyai
pendapat soal Hogwarts, sekolah sihir yang sudah termahsyur namanya dalam
sejarah dunia ini. “Tentu saja tuan Voldemort. Betapa merasa terhormatlah bila
Anda mengizinkan saya menjadi pelajar di sekolah bergengsi tersebut, Hogwarts
yang mahamahsyur.”
Voldemort menatap saya
dengan senyum seperti seorang ayah yang menatap anak laki-lakinya. Ia mendekatkan
mukanya ke dekat kuping saya lantas teriak: “Bukan kamu, goblok!”
“Heh,” balas saya sambil
memiringkan kepala dan memicingkan mata, heran.
Voldemort lalu menunjuk
benda yang tak sengaja jatuh ketika insiden ribut-ribut tadi. Dia menunjuk
wajah di sampul buku yang saya baca tadi. “Aku mau manusia ini, Trump, untuk
pergi ke sana. Apakah kau bisa membantuku Buyung?”
“Tapi, kenapa Donald Trump?
Maafkan kelancangan hamba bila salah bertanya tuan,” kataku sambil bersimpuh.
“Aku punya rencana anakku.
Dan satu hal yang lebih penting. Bila manusia itu bisa mengalahkan harapan
demokrasi umat manusia, maka kenapa dia tidak bisa menaklukkan rezim
Dumbledore, heh?” Voldemort bicara dengan dingin, tapi diam-diam aku bisa
melihat seuntal garis tipis tergurat di ujung mulutnya yang tipis. Tampaknya,
om botak ini lagi merencakan sesuatu yang cabul, pikirku.
0 Komentar