Sumber: https://www.portrait-pets.com/products/dog-pencil-portrait


Nalar Kritis Islam Kontemporer karya Ali Harb dibuka dengan kutipan provokatif dari Muhammad Abduh: “Aku melihat muslim di Timur, tanpa kehadiran Islam. Aku melihat Islam di Barat tanpa kehadiran muslim.”

Kita bisa menghidu aroma sekularisme dari pernyataan Abduh itu. Bahwa muslim yang ia sebut merujuk pada agamawan yang menjalankan nilai secara formal. Dan Islam dianggap sebagai representasi rasionalisme serta pengembangan teknologi peradaban. Lebih lanjut lagi, kita bila lacak genealogi tersebut sejak pertarungan pemikiran (ghawzl fikr) antara Al-Ghazali dan Ibnu-Rusyhd.

Dengan demikian, barangkali bisa kita parodikan pernyataan tersebut: “Aku melihat al-Ghazali di Timur, tanpa kehadiran Islam. Aku melihat Ibnu-Rusyhd di Barat, tanpa kehadiran muslim.”

Logika sekularisme ini tentu bakal meruncing ke perdebatan antara asyariah vis-à-vis mutazilah, atau jabariyah vis-à-vis qadariyah, atau iman vis-à-vis ilmu—dikotomi yang sebenarnya tak perlu dipertentangkan satu sama lain. Di sinilah keharusan dialog mendesak.

Sebab surplus iman tapi defisit ilmu,bermakna fatalisme buta; surplus ilmu defisit iman, berarti sofisme intelektual. Sedangkan kita pernah ketemu contoh kasuistik di mana seorang diterima oleh otoritas surga kendati ia defisit iman dan defisit ilmu, pelacur itu, hanya memberikan minum seekor anjing kehausan di tengah kering savanah, beberapa saat sebelum dijemput ajal. Defisit iman dan defisit ilmu, dengan demikian, tak lagi penting bilamana ia surplus amal.

Maka masih pentingkah perdebatan perkara iman dan ilmu? Selama kita sibuk terjebak dalam liang pertentangan yang senantiasa mengarah pada jalan buntu itu, dan lupa memanen amal (laku baik) sebanyak-banyaknya, maka kita tak pernah lebih baik dari pelacur yang memberi minum anjing kehausan.