Gustav Klimt - Birnbaum (1903)
Popper
mengutip secara jenaka—atau memang kutpan itu bermaksud parodi?—kata-kata J.H.
Stirling: “Jadi, filsafat Hegel adalah … pemikiran yang begitu dalam sehingga
filsafatnya itu sebagian besar tak dapat dipahami ….” Lalu saya teringat guyon
Zizek, satu-satunya yang bisa mengerti
Hegel hanyalah Hegel sendiri.
Saya
piker istilah Stirling tersebut bisa juga kita sematkan pada sosok
Derrida—setidaknya bagi nalar awam seperti saya. Barangkali sudah lima atau
empat tahun setelah saya membaca Derrida yang diulas Mohammad Fayyadl, belum
juga saya benar-benar yakin apakah saya bisa sungguh memahami Derrida ataukah
tidak.
Memang
saya menyerap beberapa istilah yang digunakan Derrida. Semisal difference,
oposisi biner, gramatologi, metafisika kehadiran, aphoria, dan—yang paling
tersohor—dekontruksi. Tapi seringkali saya gunakan itu sebagai perangkat
retorika saja yang terkesan gagah-gagahan. Sedangkan jauh dalam lubuk hati
saya, masih tersisa segumuk ragu perihal apakah saya benar-benar mengerti
terminologi yang baru saja saya pakai.
Of Grammatologi
adalah salah satu magnum opus Derrida. Saking jelimetnya karya Derrida ini,
seorang mahasiswa filsafat akhirnya bikin kamus kecil (semacam glosarium?)
untuk istilah-istilah Derrida dalam Of
Grammatology. Di amazon juga saya temui sebuah kamus khusus yang berisi
istilah-istilah asing yang diciptakan Derrida, berjudul Derrida Dictionary, disusun oleh Simon Morgan Wortham.
Upaya
mengompilasikan vokabulari Derridean ini mungkin bisa mematahkan asumsi saya di
awal, bahwa yang bisa memahami Derrida hanyalah Derrida itu sendiri dan
sebagian besar filsafatnya tak mampu dipahami. Yang unik dari Derrida justru,
ia menawarkan cara pembacaan teks yang meskipun melelahkan tapi akan menemukan
satu angle gagasan baru. Sederhananya
oleh Fayyadl, dekonstruksi, adalah cara pembacaan rumit yang menemukan sesuatu
yang tak diduga-duga oleh sang penulis.
Memang
sih, sepengalaman saya yang masih sangat awam ini, seringkali kita menulis apa
yang saya tidak sadari dan rencanakan, juga seringkali saya menulis sesuatu
yang bahkan tidak saya sepakati. Maka, di sanalah pembaca sebagai co-writer dapat menemukan hal-hal tak
terduga yang jauh lebih luas.
Mungkin
Derrida berpikir demikian? Entahlah. Yang saya tahu juga tentang makhluk satu
ini, dia senang membolak-balikan teori. Semisal ia mengkritik Ferdinand de
Saussure, yang mengatakan bahwa linguistik adalah bagian terkecil dari sistem yang
lebih akbar, yakni semiologi. Derrida malah sebaliknya, semiologilah bagian terkecil
linguistik. Dengan itu ia membuat sebuah istilah asing lagi, namanya
grammatologi.
Ia
sudah tak pakai istilah semiotika dan semiologi. Gram dalam grammatology ialah penulisan yang mendahului seluruh
tanda. Berbeda dengan Saussure yang menekankan superioritas tutur ketimbang
tulisan (sebab ia berkata bahwa tulisan begitu arbitrer dan tiranik), Derrida
justru sebaliknya, ia bilang bahwa kita tak bisa berpikir tanpa tulisan.
Semisal pelajaran membaca yang diajarkan oleh guru-guru SD kita, yang bahkan
guru-guru kita memperoleh pelajaran itu dari teks juga. Artinya ktia tak bisa
berpikir di luar teks. Tak heran, Derrida mengatakan (atau menganalogikan?)
bahwa teks adalah alam semesta yang begitu luas ini. Dan saya kira, semakin
kita menyadari bahwa alam semesta ini begitu lapang tak terhingga, semakin kita
membuka diri untuk menerima berbagai jenis kebenaran yang berbeda.
Ah,
bicara soal kebenaran, saya tertarik dengan persoalan utama yang paling
mengusik pikiran Derrida: metafisika kehadiran. Metafisika kehadiran adalah
system atau pola yang terus menerus berkembang dalam filsafat atau kebudayaan
yang mengasumsikan atau membutuhkan seorang penutur atau subjek atau diri atau
aku atau cogitan atau tuhan dan
seterusnya dan seterusnya … sebagai penjamin kebenaran.
Saya
sepertinya punya kecemasan yang sama. Saya kerap bersikeras bertanya, kapan
sebuah kebenaran bisa dipastikan oleh otoritas tertentu? Atau bisakah otoritas
itu memberikan kebenaran? Bisakah kebenaran divalidasi? Apakah perangkat logika
benar-benar memadai untuk melakukan itu? Dan lebih banyak lagi pertanyaan yang
barangkali berbaris di belakangnya.
Mungkin
pada akhirnya saya terisap ke pertanyaan seorang skeptik zaman dahulu,
“Kebenaran tidak ada. Kalau ada, tidak bisa dikomunikasikan. Kalau bisa
dikomunikasikan, tak bisa dipahami.” Tapi banyak filsuf Islam menyanggah,
semisal Taqim Mizbah Yazdi salah satunya, yang berkata (kurang lebih): “Lah,
itu kamu baru saja menyampaikan sejenis kebenaran.” Meskipun sekali lagi, saya
tidak tahu jenis kebenaran macam apa yang dimaksud Yazdi.

0 Komentar