Foto: Death and Aluve - Gustav Klimt 1911.
Jerome
Sallinger menabung teks-teks kecil tentang The
Cather in the Rye semasa perang yang berkecamuk di abad ke-20. Selama
menulis dia mengaku bisa tetap fokus, konsentrasinya tidak lari ke
pikiran-pikiran mengerikan seraya menanti pertempuran terjadi. Di sana dia
melihat dengan mata kepala sendiri, menguburkan teman berbincangnya dengan
kedua tangan sendiri, dan dengan air mata yang dengan cepat membeku oleh sungai
es.
Perang
selesai. Tapi Sallinger belum pulang. Dia masih dirawat di bangsal rumah sakit
jiwa untuk beberapa bulan. Pikiran dan batin tergoncang. Jemari yang biasa ia
pakai menulis lalu gemetaran sampai pensilnya luput. Yang dialami Sallinger
disebut dengan trauma pasca-perang.
Lalu
kita hari ini, anak-anak yang lahir dari dunia tanpa peperangan dan bom-bom
yang tak pernah diluncurkan, berkata bahwa pahlawan hanya lahir dari perang.
Konflik adalah bagus. Sayang sekali, kita tidak pernah
berperang, tetapi apakah hidup yang baik adalah mati mengenaskan dengan bedil musuh
tertanam pada jantung kita?
Enam
bulan setelah perang berakhir, Sallinger kembali ke rumah. Ia meminta guru
sastra semasa kuliahnya untuk membantu agar kumpulan cerpen Sallinger
diterbitkan. Sallinger berharap itu bisa memicu jemarinya menulis lagi, produktif
seperti dahulu. Tapi guru Sallinger tidak bisa menerbitkan buku itu
karena alasan finansial. “Aku berperang demi kau, Sallinger,” ucapnya, retorik.
“Perang?
Apa yang kau tahu tentang perang?” Sallinger naik pitam. Ia pergi meninggalkan
gurunya dengan hati menghunjam tajam amarah. Mereka tidak ketemu selama
beberapa lama.
Ernest
Hemmingway menulis dalam cerita setelah Perang Dunia Pertama bertajuk “A Soldier Home” tentang betapa tidak
sopannya bertanya kepada seorang tentara tentang apa yang telah dilihatnya
sewaktu kembali dari perang. Vonnegtut berkata: “Salah satu cara paling
mengesankan untuk menceritakan kisah perangmu adalah dengan menolak
menceritakannya.”
Vonnegut
juga pernah punya pengalaman serupa. Ketika baru balik dari Perang Dunia Kedua,
pamannya menepuk punggung Vonnegut dan berkata, “Kau laki-laki dewasa
sekarang.” Mendengar itu Vonnegut ingin rasanya membunuh paman. “Paman Dan, dia
pamanku yang jahat, yang mengatakan bahwa seorang bocah laki-laki takkan bisa
menjadi laki-laki dewasa kecuali kalau dia pergi berperang.”
Mereka
yang pernah menatap mayat peperangan di tengah kontak senjata, tidak akan
pernah memuji apa yang sudah mereka lakukan dan lewati. Kadang mereka diusik
mimpi buruk pada malam-malam tertentu, tersentak bangun dengan baju penuh
keringat dingin, ketakutan, dan memojok di kamar. Tidak ada bunga yang keluar
dari bedil, tidak ada kehidupan yang dipelihara oleh mesiu.
Mereka
yang gampang menyebut kata “perang” mestinya harus bersedia ikut serta di
dalamnya untuk mengingat kata itu dengan cara berbeda. Heraklitus berkata,
“konflik adalah bapak segala sesuatu.” Tapi apa dia pernah ikut peperangan?
Masihkah dia berani berkata demikian bila pulang dari medan laga penuh tumbal
peperangan?
Hegel
bilang bahwa untuk mencapai Negara (dengan huruf kapital) sempurna, bangsa
harus melakukan perang demi perang, menaklukkan mimpi-mimpi buruk demokrasi,
dan menguasai territorial seluas-luasnya. Padahal kita tahu, selama kerajaan
Prussia terlibat adu perang dengan negara lain, tidak pernah Hegel memegang
senjata, ia hanya berceramah dengan damai di ruang kelasnya, mereproduksi
orang-orang yang kelak akan mengantarkan nyawa demi martabat bangsa yang
sebenarnya baik-baik saja tanpa pertaruhan nyawa tak berarti.
Malthus
pernah berkata, untuk mengurangi ledakan populasi yang eksesif, negara harus
menghalalkan perang. Bila Malthus hidup hari ini, mari kita izinkan Malthus
menjadi relawan pertama yang berdiri di muka gelandang peperangan itu. Barangkali juga populasi itu tidak apa-apa membengkak ketimbang dunia masih punya satu orang yang
berpikiran macam dia.
Perang
harus menjadi jalan terakhir. Kendati terjadi, lebih baik barangkali mati di
sana. Sebab luka batin yang tersisa darinya jauh lebih besar dan bertahan lama
ketimbang luka fisik yang kita peroleh.
0 Komentar