Keterangan: The Fountain (1971) - Marchel Duchamp
Hari
ini saya kangen dengan Ali Harb. “Harb”, secara etimologi bermakna perang. Nama
sudah kita kenal sebagai doa. Dan doa itu mewujud dalam wacana Ali Harb yang
senantiasa mendakwahkan perang pada rezim teks dan makna-makna tertutup yang
tak terbuka oleh proses kreatif hermeneutika.
Dalam
buku Nalar Kritis Islam Kontemporer, ia memaparkan sebuah wacana yang baginya
baru, disebut ontologi teks. Teks ia klasifikasikan ke dua bentuk: teks
tertutup dan teks terbuka. Teks tertutup adalah teks yang diharuskan memilih
satu kebenaran tunggal seraya menutup jalan menuju penafsiran berbeda. Teks
semacam ini adalah teks yang membelenggu, yang menjerat kemerdekaan berpikir
manusia untuk berpetualang dalam cakwarala probabilitas tak berujung.
Teks
terbuka atau teks inklusif adalah teks yang membiarkan dirinya dijamah dan
dielaborasi dengan ide-ide baru. Teks yang memerdekakan. Yang membuka
kemungkinan pintu akal sehat pergi arah mana saja, melacak variasi kebenaran
yang berbeda dan barangkali baru sama sekali. Teks yang justru memberikan
metode kritik serta kemungkinan dialog alih-alih sebagai penutup kritik serta
dialog. Hanya dalam teks begini potensi kreatifitas manusia dapat menemukan
kemerdekaan.
Tak
heran Ali Harb mengagumi Nietzche. Baginya, Nietzche adalah nabi. Neitzche
justru adalah manusia paling spiritual sampai zaman ini. Kendati sang filsuf
pernah berkata bahwa “tuhan sudah wafat”. Tapi oleh kreatifitas pemaknaan, Harb
mengolah pidato pemakaman Nietzche dari serangan ateistik menjadi kritik atas
laku internal integrasi umat Islam hari ini.
Ia
berkata, bahwa dalam beberapa hal Jahiliyah justru lebih baik ketimbang zaman
sekarang. Di era Jahiliyah, bahkan suku-suku melarang peperangan di waktu atau
bulan-bulan tertentu. Tapi di zaman ini, peperangan dan kekerasan tak mengenal
waktu dan tempat. Seringkali kita lihat di bulan Ramadhan kerumunan bersorban
justru melakukan kekerasan pada sesama manusia. Kita juga lihat kerumunan
bersorban yang sama merusak tempat ibadah atau pengajian sesama muslim
bermahzab berbeda hanya karena beda tafsir agama, yang entah kenapa tidak
terlihat lebih baik daripada Abu Jahal merusak perjuangan dakwah Rasulullah di
masa silam.
Ia
juga mengkritik kecenderungan psikologis umat untuk mengkultuskan sosok atau
ajaran tertentu. Baginya ini tak berbeda dengan paganism baru. Sebab pagan
bukan hanya patung secara fisik, ia bersifat material dan non-material. Ia bisa
berupa cara berpikir. Bukankah Quran juga menyebut oknum tuhan lain dalam, dan
itu bukan Firaun atau patung lembu emas, tapi hawa nafsu manusia.
Kebenaran
memang bisa sangat membinasakan. Dan kebenaran semacam ini justru menjadi laku
keseharian umat islam secara internal. Dan itu yang ingin dikritik oleh Ali
Harb.
Baginya,
proses pembacaan teks mestinya melahirkan domain pemikiran baru yang harus
berani kita jamah. Bukan justru mengukuhkan yang sudah ada dan memberi cap final
kepadanya. Karena itu ontologi teks baginya adalah, membaca sesuatu yang tak
termaktub dalam teks. Sebab teks tak hanya menghadirkan apa yang tertulis, tapi
sesuatu yang sengaja atau tak sengaja tertulis dalam teks. Upaya penafsiran
kreatif adalah membokar dimensi makna yang tak termaktub di sana.
Di
sini Ali Harb sangat dekat dengan Umberto Eco dalam El Nom de la Rosa: “Buku
yang baik adalah buku yang bisa dikritik.” Sudah barangtentu “buku” di situ
adalah teks. Dan teks dalam terminologi iqra,
bukan hanya aksara atau huruf fonetis dan system tanda baca, tapi juga
tanda yang meliputi seantero pojok semesta yang barangkali tak terbatas ini.
Setiap tanda yang muncul senantiasa mengisyaratkan apa yang tak hadir; setiap
yang nampak senantiasa berdampingan dengan yang tak nampak—seperti camera obscura. Peran seorang penafsir
adalah menggali apa yang tak nampak itu.

0 Komentar