Liberty Leading The People (1880) - Eugene Delacroix
Politik
mungkin adalah “seni tentang kemungkinan”, mungkin juga “seni tentang
kemustahilan” (sebagaimana kata Zizek). Di atas panggung demokrasi dengan
bendera warna-warni, politik meraih mikropon dan berorasi tentang sesuatu yang
seolah mustahil tetapi ditangkap sebagai yang mungkin di telinga konstituen.
Sementara
itu seseorang di garis tepi demokrasi membatin: “Kemungkinan dalam politik
hadir bersamaan dengan kemustahilan moral di panggung yang sama.”
Negara-negara
yang mengimani demokrasi tentu menghargai kesepakatan dasariah: bersepakat
untuk berbeda pandangan. Namun dalam iklim politik sepanas matahari, perbedaan
pandangan itu bisa bertransmisi menjadi permusuhan yang kerap di-framing sebagai malaikat lawan setan.
Ekspresi
kebencian, penyebaran rasa takut pada hantu komunis, ketakutan bahwa Pancasila
akan diganti, anti-asing, anti-khilafah, kemelaratan manusia (yang dibantah
oleh Stephen Pinker dalam Enlightment Now)
seolah hal lumrah di ruang publik; tak akan lengkap bila satu hari tanpa
demagogi dan demonisasi. Karena panggung politik, oleh seorang tokoh, disebut
sebagai medan perang, maka lawan merupakan musuh yang harus diberangus.
Kubu
A menganggap diri mereka sebagai protagonis yang bakal melenyapkan kemiskinan
dan kubu B sebagai antagonis yang jahat. Karena mereka musuh maka kami harus
menang—tidak ada kata “kita”, hanya “kami”.
Simplifikasi semacam ini menjerumuskan mentalitas kita dalam demokrasi
antagonistik, demokrasi yang dikritik oleh Chantal Mouffe.
Pada
1985 ia datang bersama Ernesto Laclau dari sayap intelektual post-Marxisme demi
mengenalkan konsep demokrasi radikal. Dalam ontologi politik itu, Mouffe khawatir
pada demokrasi yang destruktif sebab perseturuan politik bukan arena colosseum
yang bertaruh leher demi harga dari kemenangan. Dengan demikian Mouffe
memperkenalkan istilah baru: adversary. Bahwa
lawan politik bukanlah musuh, tetapi kawan.
Mentalitas
antagonisme hanya bisa lenyap ketika ruang publik kita menyerap kesadaran
bersama akan perbedaan sebagai pluralitas yang indah (kebhinekaan) dan menyadari bahwa demokrasi perlu memberi ruang
lebih lebar bagi disensus ketimbang konsensus. Disensus, yakni situasi sosial
yang memperlihatkan ketidaksesuaian mengenai penerapan nilai-nilai tertentu
sebagai merupakan hal yang wajar dalam demokrasi. Kendati dalam demokrasi
liberal kiwari ini, kemenangan justru diberi pada populis dengan politik
regresinya.
Dengan
demikian kita harus mengerti, bahwa demokrasi agonisme tentu saja perlu hadir daripada
demokrasi antagonisme. Yang pertama berkonotasi positif, sedangkan yang kedua negatif.
Bila demokrasi antagonis memosisikan lawan sebagai musuh yang mesti dibunuh, maka
politik agonisme menempatkan lawan sebagai kawan. Bahkan bila antagonisme itu
mengkritik pedas kehadiran agonisme, ia akan tetap menjawab dengan nada yang
sama seperti Voltaire: “Meskipun kau mengkritikku, aku tetap akan membela hak
berbicaramu.”
Konflik
memang tak terhindarkan. Namun mengatasi konflik itu bukan dengan membinasakan
pihak lain hingga jadi abu. Konflik dalam agonisme justru disikapi sebagai
bentuk memelihara pluralitas dan menumbuhkan rasa segan atas kelompok yang
berlainan identitas dengan kita; agonisme adalah afirmasi alih-alih negasi atas
yang berbeda (liyan).
Dan
demokrasi agonistik ini juga menolak suatu gagasan tentang kehendak umum (general will). Ketika seorang pemimpin
berbicara “atas nama rakyat”, kita mesti tahu, “rakyat” saat itu adalah yang partikular
dan bukannya universal. Dalam kelompok yang disebut rakyat, setiap kali ia
dibicarakan, selalu ada satu atau dua orang dalam “rakyat” itu yang berada di
luar kata “rakyat”. Mereka yang tak termasuk di dalamnya adalah yang tugur di
garis tepi demokrasi tadi.
Satu
yang berbeda itu adalah Diogenes. Dalam The
Ninth of Isthmian Discourse karya Dio Khrysostomos, suatu ketika selama
pertandingan atletik dan pacuan kuda diselenggarakan dalam festival Isthmia,
Diogenes merunduk—sembari mengusik penonton dengan omongannya yang
blak-blakan—memunggut mahkota pinus yang kemudian disematkan pada kepalanya,
seolah-olah baru saja memenangkan pertandingan atletik.
Para
hakim yang tersinggung oleh tingkah laku Diogenes merasa senang karena akhirnya
punya alasan untuk mengusir “anjing” itu dari kota. Tapi Diogenes selalu punya
jawaban. Dijelaskan bahwa Diogenes memakai mahkota pinus itu karena dia telah
memenangkan perjuangan yang jauh lebih sulit dari kemiskinan, keterasingan,
hasrat, dan keburukannya sendiri tinimbang atlet yang memenangkan gulat, lari,
dan lempar cakram. Dan selanjutnya dua ekor kuda terlihat berkelahi dan
menendang satu sama lain sampai salah satunya lari. Kemudian Diogenes naik ke
arena dan memasangkan mahkota pinus pada kuda yang berdiri di lintas pacuan.
Apa
yang terjadi di atas pacuan kuda itu disebut Foucault sebagai Parrhesia sinis. Yakni sikap yang setia
mengungkapkan kebenaran dengan cara sinis meski dihantui risiko bahaya
sekalipun. Foucault menafsirkannya: bila mahkota diberikan pada seseorang
karena kemenangan moral, maka Diogenes layak untuk mendapatkannya. Tapi jika
keunggulan itu diukur dengan kemenangan fisik—tentang tinju siapa yang lebih kuat
dan siapa yang babak belur—maka mahkota itu diberikan saja pada kuda.
Agon yang dalam bahasa
Yunani diartikan sebagai pertandingan atletik, merupakan akar kata dari
agonisme yang ditawarkan Mouffe. Bahwa demokrasi yang kita jalani hari ini
adalah arena yang di atasnya seorang pegulat lagi menunggang kuda dan seorang
pegulat lain menunggang motor besar. Masing-masing saling baku hantam dengan
seruan lawan, lawan, lawan!
Di
depan arena, kita bisa saja Diogenes, bisa saja penonton yang terusik pada kebenaran
Diogenes yang menjengkelkan. Kita barangkali para hakim yang berharap jagoan
favoritnya bisa memberangus musuh di atas panggung demokrasi. Tapi Diogenes
mahfum, kemenangagn yang mengunggulkan kerasnya tinju pada lawan hanya laku
antagonis yang sia-sia selama rakyat (dalam artian universal) akan selalu
bertetangga dengan perbedaan di dalam tubuhnya sendiri.
Diogenes
adalah suara di garis tepi demokrasi tadi. Ia tugur dan memasangkan mahkota
pinusnya pada atlet yang menang. Meskipun kemenangan itu, bukan kemenangan
moral.

0 Komentar