Seorang kawan bercerita perihal mata kuliah psikologi warna di kelas DKV (desain komunikasi dan visual). Di antara warna yang paling angker dalam budaya konsumsi adalah hijau. Hijau terasosiasi dengan imaji tentang sayur-sayuran. Dan bagi mayoritas orang, sayur-sayuran adalah makanan nomor sekian dari lis makanan favorit manusia. Tak heran kenapa gerakan kampanye vegan selalu mentok di seantero bumi.

Dengan asumsi itu, kawan saya beranggapan bahwa ketergantungan seseorang pada rokok bisa berkurang, bila filter dan warna kertas rokok diganti dengan warna hijau. Dengan harapan, hijau yang terlanjur melekat pada imaji tentang sayur, bisa menstimulus mental kita untuk jauh dari konsumsi nikotin.

Yang menarik dari analisis saya tentu saja adalah motivasi kawan saya. Dia memang tidak merokok. Tapi saya curiga, dia juga anti-rokok.

Argumentasi umum dari kampanye anti-rokok adalah persoalan kesehatan. Ada pula argumentasi ekonomi menurut saya selalu merupakan lanjutan dari problem kesehatan tadi. Opini publik telah dengan massif mereproduksi berkali-kali perkara rokok dan kesehatan, terutama dampak negatif pada perokok pasif dan perokok tingkat tiga yang terpapar dari bahaya kesehatannya. Mereka lalu dengan serta merta mencaplok data tentang jumlah kematian kanker diakibatkan rokok. Jumlah risiko kesehatan yang naujubilah dari bahaya nikotin serta tar.

Lalu saya membaca Puthut Ea dan menelusuri situs bolehmerokok.com. Di sana saya dapati, pada 2003 sebuah istitusi kesehatan kemudian mengungkapkan semua tendensi bahwa rokok menyebabkan masalah kesehatan secara kolosal ternyata tergolong dalam junk science yakni sains yang tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berbagai argumentasi yang kita kenal secara umum soal rokok dan dampak kesehatan tak lebih dari propaganda media yang tampaknya mirip dengan metode Goebbels. Opini anti-rokok sampai di sini tampak menggili bagi saya.

Adapun derivasi dari problem ini lalu dilegitimasi oleh beberapa kelompok agama. Saya pernah menyimak debat antara kader Muhamadiyah dan HMI soal ini. Yang satu bilang rokok itu haram satu lagi bilang makruh. Saya juga pernah nonton Constantine, di sana malaikat Jibril bilang bahwa para perokok merupakan orang-orang pertama dalam barisan antrian di depan pintu neraka.

Waduh seram juga ya. Sayangnya perdebatan soal rokok belum sampai ke perkara saintifik secara serius. Data-data yang digunakan seringkali data-data yang mentah dan kurang ditelusuri secara serius. Tentu selalu ada aroma argumentum ad populum dalam tiap debat seputar asap ini. Tapi bisakah mereka, yang anti-rokok, berdebat dengan para petani tembakau yang satu-satunya mata pencahariannya hanyalah nikotin yang saya hisap sekarang ini?