Seorang kawan pernah menunjuk gawainya di meja kantin UGM, sejurus kemudian diikuti dengan pertanyaan retoris: “Kalian tahu nenek moyang Doraemon? Ia, gawai adalah nenek moyang Doraemon.”

Mesin yang dapat kita gunakan untuk mengirim pesan, mengatur alarm, punya kemampuan swakoreksi, atau mengalkulasi angka, disebut dengan kecerdasan artifisial lemah (Weak AI). Dalam hal ini, gawai kita. Sedangkan mesin atau sistem yang dapat berpikir sebagaimana manusia disebut kecerdasan artifisial kuat (Strong AI). Apapun yang dapat dilakukan otak, kecerdasan artifisial kuat sebagai sistem inorganik dapat menirunya secara presisi. Salah satu Strong AI  yang familiar dalam budaya populer kita, adalah Doraemon.

Pada tahun 1950, Alan Turing, seorang matematikawan Inggris membuat tes yang disebut Tes Turing. Tes tersebut bertujuan menguji apakah mesin dapat berpikir seperti manusia atau tidak. Jika mesin tersebut dapat menipu kita hingga kita mengira ia manusia, maka mesin itu disebut kecerdasan artifisial kuat.

Sebagian orang berpikir bahwa umat manusia dapat membuat robot yang serupa dengan manusia, tapi manusia tidak akan pernah membuat robot tersebut menjadi sepersis manusia. Pandangan ini lalu disanggah oleh filsuf Amerika kontemporer, William Lycan.

Lycan memberi contoh. Tersebutlah sebuah robot yang bernama Agus Mulyadi. Agus ini dilapisi kulit sebagaimana kita. Dia bisa main futsal juga biola. Dia bisa tampak gugup di tengah banyak orang. Dia bisa bercinta. Dia punya intensi dan emosi berhadapan dengan orang lain. Suatu ketika tubuh Agus terluka. Alih-alih darah, justru minyak yang berleleran dari balik kulitnya.

Lycan berkata, fakta bahwa Agus ternyata robot tidak membuat kita menurunkan derajat kognitif Agus dari “manusia” menjadi “robot yang mirip manusia”. Lantas bagaimana cara kita merespon fakta bahwa Agus Mulyadi ternyata adalah titisan Doraemon? Satu jawaban yang paling mungkin adalah, dia bukanlah manusia karena dia hasil dari sebuah program yang kompleks.

Kemudian Lycan membantah jawaban itu. Sebab, semua dari kita pada dasarnya merupakan hasil dari program. Setiap kita memuat kode genetik sejak dari lahir yang akan mendeterminasi diri kita. Kita mungkin punya kebiasaan merutuk yang diwariskan ibu kita atau punya selera humor segaring kakek kita. Kita juga diprogram oleh lingkungan keluarga juga pendidikan di ruang sekolah. Dan sekarang, saya lagi memprogram Anda dengan teks ini.

Tentu saja kita punya kemampuan untuk melampaui program tersebut. Begitu pula Agus Mulyadi. Dan di sinilah inti argument Lycan.

Pada tahun 1950, tidak ada mesin yang lolos dari Tes Turing. Sampai pada tahun 2000, akhirnya untuk pertama kali terdapat mesin yang dapat lolos dari ujian tersebut. Memang sangat sukar untuk mendesain sebuah program yang benar-benar dapat lulus dari Tes Turing. Tapi apakah robot yang berhasil lolos Tes Turing di awal abad ke-21 ini, bisa disebut Strong AI?

Seorang filsuf kontemporer Amerika yang lain, John Searle, lalu membuat eksperimen pikiran yang disebut Kamar Cina. Di sini saya ubah sedikit menjadi Kamar Jawa. Bayangkan bila Agus Mulyadi merupakan seorang manusia yang tidak bisa berbahasa Jawa. Agus terkunci dalam ruangan yang penuh dengan kardus berisi aksara Jawa dan buku pedoman tentang aksara apa yang perlu digunakan untuk merespon kalimat Jawa tertentu.

Seorang penutur Jawa kuna lalu memberi secarik kertas yang berisi kalimat Jawa arkais ke dalam ruangan. Dengan menggunakan buku panduan, Agus lalu berpikir bagaimana cara untuk menjawab kalimat yang baru saja dia terima. Agus lalu menempatkan aksara-aksara Jawa tertentu yang dia ikuti dari buku pedoman, lalu mengembalikan kembali secarik kertas tersebut kepada penutur Jawa kuna di luar ruangan.

Agus sama sekali tidak mengerti apa yang ia baca dan apa yang ia tulis sebagai jawaban. Tapi karena Agus sangat giat mengikuti buku panduan aksara Jawa kuno itu, si penutur Jawa di luar ruangan lalu percaya bahwa Agus dapat berbahasa Jawa. Agus Mulyadi memang lolos Tes Turing versi Jawa arkais. Tapi apakah Agus mengerti bahasa Jawa? Tentu saja tidak. Agus hanya tahu cara memanipulasi simbol tanpa memahami makna dari simbol tersebut.

Selanjutnya kata John Searle, fakta bahwa mesin dapat menipu seseorang tidak berarti mesin itu adalah kecerdasan artifisial yang kuat. Mesin itu hanya mengerti cara memanipulasi simbol—yang sama sekali tidak ia mengerti artinya—sebagai respon dari input yang diterima. Searle berkata, bahwa Strong AI haruslah mesin yang punya pemahaman yang benar-benar nyata. Dan menurut Searle, mesin seperti itu adalah hal yang mustahil—itu merupakan kemampuan yang tak akan pernah mampu dicapai komputer.