Van Gogh: Potrait with Pipe (1886)

Mari kita anggap dunia hari ini masih di abad yang muram, katakanlah antara abad ke-9 sampai ke-14, ketika langit masih murung dan bumi masih sedatar persegi panjang. Datanglah kepada para pandit, bawa semua bukti ilmiah yang bisa diuji secara saintifik lalu sampaikanlah bahwa planet kita ini bundar, atau matahari adalah sentral alam semesta. Sudah hampir dipastikan bahwa kita akan dikejar seperti anjing memburu tulang, kita disalib lalu dibakar sampai arang penghabisan.

Orang memang merasa terancam bila sistem keyakinan yang membatu dalam dadanya, diserang oleh fakta yang bertentangan. Zaman boleh berganti, tapi kejadian di paragraf pertama tidak pernah berubah sampai hari ini. Berikanlah fakta yang menyerang keyakinan orang lain, dan mereka akan mengejar Anda seperti padri ingin membasmi setan.

Efek ini disebut backfire effect. Lebih mudah dijelaskan lewat contoh. Seorang subjek otaknya di-scan oleh MRI. Lalu peneliti memberikan argumen yang bertentangan dengan keyakinan subjek itu. Satu bagian otak yang aktif di kepala subjek adalah amygdala. Bagian yang bertanggung jawab atas respon fight-or-flight (kelahi-atau-lari). Refleks ini ternyata tidak hanya berlaku ketika nenek moyang kita berhadapan dengan predator buas, tetapi juga ketika diserang oleh data atau informasi yang mengancam sistem keyakinan kita.

Otak manusia sesungguhnya senang dengan keteraturan dan konsistensi. Keraguan serta ketidakpastian hampir pasti memberikan kecemasan yang mengganggu. Karenanya manusia juga disebut homo religius (homo yang suka sembahyang dan mengaji makhuk yang tidak mungkin hidup tanpa keyakinan). Manusia lalu menciptakan sistem keyakinan dalam diri agar otaknya teratur. Ketika muncul argumen yang mengancam keteraturan sistem itu, otak kita kemudian akan bereaksi dengan menolak informasi tersebut, seilmiah dan serasional apapun informasi itu.

Dalam piskoanalisa, respon itu disebut dengan denial. Orang lalu akan tergelincir kepada bias-bias kognitif. Pertama adalah bias konfirmasi (confirmation biases), kita cenderung mengindahkan fakta yang mendukung keyakinan iman kita. Kedua adalah bias diskonfirmasi (disconfirmation biases), kita berprasangka buruk kepada fakta yang tidka mendukung keyakinan kita.

Kita lalu akan membantah fakta ilimiah tadi sedemikian rupa. Kita lalu mengira diri kita lagi bernalar, tapi sesungguhnya tidak lebih dari membuat pembenaran. Seorang psikolog, Jonathan Haidt, berkata: “Kita mengira adalah seorang ilmuwan, tapi sesungguhnya kita lebih cocok jadi pengacara.”

Ketika suatu fakta ilmiah mematahkan dan menghancurkan sistem keyakinan mereka sampai jadi abu, mereka kemudian akan berkonfrontasi dengan fakta tersebut mati-matian—mereka barangkali akan mempertahankan pandangan keliru mereka dengan lebih gigih daripada sebelumnya.

Maka, apa yang perlu kita lakukan untuk bereaksi terhadap kebiasaan alamiah manusia tersebut? Oleh Chris Mooney, kita perlu memberi prioritas kepada bagaimana orang-orang merespon informasi baru. Satu hal yang jernih adalah: jika kita mau seseorang menerima bukti ilmiah baru, pastikan bukti itu tidak memicu reaksi emosional berlebihan bagi orang lain, agar mereka tidak defensive dan lebih mudah menerima kenyataan.