Gambar: A Family of Sans Culottes refreshing after the fatigues of days (1792) - James Gilray
Seseorang
bertanya pada saya di sebuah forum: apakah agama masih akan hidup di kemudian
hari? Pertanyaan itu berangkat dari kecemasan. Saya baru saja membahas tentang
dirsrupsi dan segenap skenario pesimis yang barangkali menghadang di cakrawala probabilitas
kita. Tentu saja ketika semua yang tak diinginkan hadir, orang-orang akan mulai
bertanya tentang agama yang selama ini selalu hadir sebagai pelipur lara
manusia.
Lalu
saya ingat contoh menarik dari Everybody
Lies karya Seth Stepherd-Davidowitz. Di manakah orang miskin bisa hidup
jauh lebih lama? Apakah di kota yang tingkat relijiusitasnya tinggi, kota
dengan asuransi sosial tinggi, kota dengan polusi rendah, atau kota yang penuh
orang kaya.
Sesuai
dugaan saya, mayoritas dari kita akan mengambil opsi keliru. Banyak yang
berpandangan bahwa kita tinggal di kota jenis pertama. Tapi jawaban paling
tepat adalah yang paling sedikit diambil: orang miskin jauh lebih umur panjang
di kota yang banyak orang kaya.
Kenapa?
Orang kaya harapan hidupnya tinggi karena mereka punya gaya hidup sehat yang
memungkinkan umur bisa lebih panjang. Sedangkan orang miskin, punya gaya hidup
cukup buruk yang bisa berdampak pada tubuh dalam jangka waktu lama.
Fakta
lain adalah yang saya peroleh dari Enlightment
Now Steven Pinker. Bahwa masyarakat di negara kaya akan menjadi lebih
bahagia. Artinya, orang-orang miskin di kota atau negara kaya akan jadi lebih
bahagia. Berbeda dengan Kuba misalnya, negara yang penduduknya secara ekonomi
lebih setara tapi tidak lebih bahagia daripada negara adidaya yang kapitalis.
Apa
yang mendorong supaya negara lebih kaya? Yakni tingkat pendidikan yang tinggi.
Pencerahan dimulai dengan melengserkan kekuatan agamawi ke pinggir pusat
perkembangan peradaban manusia. Saat itu ekonomi meningkat drastis dalam kurva
seperti anak panah yang melesat ke angkasa.
Jadi,
peningkatan kebahagiaan, harapan hidup, dan kemakmuran ekonomi tampaknya
berbanding terbalik dengna tingkat keberagamaan, yang membuat kita lebih
mengerti kenapa masa depan agama mestinya ditempatkan pada tempat sampah
kecemasan.
Namun
dalam buku lain, yang kalau tidak salah Harari, juga ditunjukkan bahwa jumlah
ateis di perguruan tinggi juga semakin bertambah. Sedangkan sukses tidaknya
warga serta baik atau tidaknya ekonomi sebuah negara ditentukan dengan kemajuan
di bidang literasi pula. Maka apakah artinya semakin bagus tingkat pendidikan
(yang secara simultan meningkatkan ekonomi sebuah negara) akan menghasilkan
agama sebagai barang paling tak terpakai?
Bahwa
negara-negara maju memang condong menjadi sekular tentu saja. Tapi untuk
menjawab eksistensi agama di tengah perjalanan menukik dari perkembangan
ekonomi yang tak mengenal pedal rem, mungkin saja agama tidak akan betul-betul
musnah. Telah berabad-abad lamanya manusia hidup dengan agama dalam bentuk
apapun, sejak zaman progenitor terjauh, selalu ada upaya membunuh agama tapi ia
tak pernah sekalipun sekarat. Agama memang terkadang gegar, tapi tak pernah
habis terbakar. Sebab di planet ini, lebih banyak akan kita dapati orang
irasional ketimbang rasional. Bahkan fenomena itu terdapat pula di negara
dengan tingkat literasi yang tinggi.
Agama,
mungkin tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Namun di ruang publik, pengarus
pesonanya akan mulai berkurang. Agama akan didomestifikasi. Di negara sekular,
satu-satunya tempat paling nyaman agama bernaung dan mengaktivasi kehidupan manusia,
hanyalah di ranah privat.
Agama
masih hidup. Tapi dia diperam di ruang privat.
0 Komentar