(Doriphoros (Spear Bearer) (c. 450 SM) - Polikleitos)
Apa yang kau pikirkan tentang seekor burung? Yang
kerap terbersit barangkali adalah makhluk mungil yang gemar bertengger di
dedahan serta reranting, sayap bebas yang mengapung di langit, atau cuitan pagi
hari dari balik jendelamu. Begitu banyak metafora romantis tentang hewan itu.
Namun dalam karya Eka Kurniawan, “Seperti
Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas”, apakah arti dari “burung jatuh” di
sampul buku berwarna lemon tersebut?
Maknyanya tak semuluk puisi: burung itu adalah penis
Ajo Kawir.
“Burung jatuh” tersebut begitu pemalas, tidak pernah
bangun dari tidur panjang. Meski berkali-kali ia memancing libido dengan
berbagai macam media yang ada, si Burung tetap bergeming, lelap, dan pulas.
Bahkan seorang pelacur yang disewa paman Ajo Kawir pun putus asa. “Tidak ada
yang lebih menghinakan bagi pelacur,” ujar Eka Kurniawan, “selain ‘burung’ yang
tak bisa berdiri.” Benar, Ajo Kawir tak bisa ngaceng.
Kemalangan itu merupakan tragedi bagi masa muda
seorang lelaki. Ajo Kawir frustasi seksual. Ia harus menjaga maskulinitasnya
tidak jatuh. Barangkali ia pikir, tak apa si Burung masih asyik tidur, banyak
jalan membuktikkan kejantanan seorang lelaki, maka ia salurkan lewat kekerasan.
Lalu tersiarlah kabar tentang Ajo Kawir si tukang buat onar yang suka cari lawan
bertarung—meski membawa ego patriarki yang murung dan terluka.
Satu waktu ia terlibat adu tarung yang sengit dengan
perempuan dari kelompok Tangan Kosong. Perempuan itu bernama Iteung, yang
dengan cara ajaib telah merampok hati Ajo Kawir. Mereka berdua jatuh cinta. Dan
kita tahu, dalam situasi yang dialami Ajo Kawir, jatuh cinta adalah perangkap
berbahaya. Tapi toh mereka kawin.
Betul juga kata-kata sahabatnya, Tokek, tidak ada gunanya menyelamatkan orang
yang jatuh cinta bahkan dari orang itu sendiri.
Namun asmara Iteung dan Ajo Kawir bukanlah dongeng
anak-anak. Sang Burung yang terbaring tidur bukanlah Putri Salju, Burung tak
kunjung bangun meski dikecup kekasih sejati. Iteung tak butuh burung yang tak
bisa membawanya terbang. Ia berselingkuh. Ajo Kawir naik pitam. Maskulinitas
yang ia pelihara utuh kini runtuh. Kegeraman itu menuntun dia menjadi pembunuh.
Sebab burung Ajo Kawir tidak hanya menandakan organ
genital semata, lebih dari itu ia lambang dari patriarki yang kokoh mentereng;
daging kecil di selangkangan itu merupakan mitos yang mereproduksi dunia di
mana superioritas laki-laki diilustrasikan sebagai penggenggam otoritas,
kekuatan serta kekuasaan. Bisa kita bayangkan, betapa kejam hantaman nasib yang
menimpa Ajo Kawir yang sumber kekuatannya justru memilih tertidur pulas
ketimbang berdiri dengan gagah perkasa.
Dalam Babad
Tanah Djawi, kita
kenal kisah Amangkurat. Diceritakan bahwa kemaluan mendiang raja Amangkurat II
berdiri tegak dan pada pucuknya memancar cahaya sebesar biji merica. Tak seorang
pun yang mengamatinya selain Pangeran Puger. Dengan sigap, Pangeran Puger
menghirup cahaya itu lantas seketika kemaluan raja layu kembali. Peristiwa itu
memberikan justifikasi bahwa Tuhan menghendaki takhta kekuasaan diisi oleh
Pangeran Pugar, daripada diteruskan oleh pewaris langsung, yakni Amangkurat
III.
Dalam analisa Benedict Anderson, kesuburan seksual
sang penguasa adalah pertanda penting atas kuasa yang ia pegang. Karena
bibitnya merupakan ekspresi mikrokosmos atas kekuatan yang ia konsentrasikan.
Kesuburan politik, atau kesuburan laki-laki, dianggap sesuatu yang menggaransi
kesuburan tanah, kesejahteraan masyarakat, dan kemampuan vital kerajaan untuk
berekspansi.
Hal yang relevan bisa kita saksikan dari Soekarno yang
santer dengan aktivitas seksualnya. Konon Soekarno pernah dijebak untuk
bersetubuh dengan seorang perempuan Rusia. Soekarno justru tidak gentar dan
skandal itu tidak berakibat buruk secara politis baginya. Lebih lanjut ujar
Benedict Anderson, “… tanda-tanda kemampuan seksual adalah indikator bahwa ia
masih memiliki kuasa. Sebaliknya, gejala penurunan aktivitas seksual yang
teramati dapat dipandang sebagai pertanda surutnya kuasa dalam wilayah-wilayah
yang lain.”
Hal yang sama terjadi pada Ajo Kawir. Simbol
kekuasaannya yang layu merupakan pertanda bagi surutnya kekuasaan dia kepada
Iteung.
Tapi masihkah seorang laki-laki memiliki makna
eksistensial ketika kemaluannya tak menunjukan aktivitas seksual? Untuk
menjawabnya kita mungkin perlu mengangkat seorang tokoh mistis Jawa yang bernama
Gatholoco. Namanya secara harfiah berarti “kemaluan yang digesek-gesekkan”.
Ciri-ciri fisik Gatholoco begitu jauh dari rupawan. Beberapa ulama yang bertemu
dengannya sampai-sampai tidak bisa menahan ketawa ketika berhadapan dengannya.
Tapi keunggulan Gatholoco daripada ulama itu adalah, Gatho memiliki kepiawaian
berdebat tentang Tuhan. Ia bisa membicarakan Tuhan seolah sebagai advokat sang
Maha Kuasa.
Dengan demikian, tatkala kekuasaan penis yang
patriarkis tertidur, muncul potensi kekuatan lain: tasawuf. Gatholoco lalu
dijadikan rujukan bahwa kebenaran Tuhan tidak melulu datang dari yang suci, ia
juga bisa terisyaratkan dari yang kerap kita anggap kotor; dari sesuatu yang
telah dibebani dengan makna yang epitet.
Demikianlah Burung Ajo Kawir menjadi kawan seperjalanannya
yang jauh. Burung Ajo Kawir sampai ujung cerita, tetaplah bisu seribu bahasa.
Tapi dalam kebisuan itu, Ajo Kawir justru menemukan jalan untuk menentang
kekerasan yang dahulu kerap ia kepalkan di tinju tangannya. Ketika kekuasaan
layu, kebijaksanaan sebagai jalan sunyi terbentang.

0 Komentar