Tidak tahu persis saya, apakah phantom of ophera itu hanya mitos belaka atau kisah nyata. Yang jelas, ia sering diceritakan sebagai seorang berwajah buruk rupa. Demi menutupi wajahnya yang tak elok dipandang, ia lalu memakai topeng acap kali menggelar pertunjukan. Orang-orang tidak perlu khawatir terganggu oleh ketidakindahan rupanya. Nada-nada indah mengalun bersama jari jemari, melayap menuju telinga audiens, dan phantom of opera menyungging senyum di balik rahasia topengnya.

Dalam politik dan kehidupan sosial sehari-hari, bahasa bekerja dengan cara yang sama, menyembunyikan atau menampilkan keingingan yang hendak diutarakan sang subjek. Bahkan di hadapan cermin, ketika Soekarno berlatih oratoria, saat itu kebenaran memakai topengnya masing-masing.

Dalam pergaulan sosial Jawa, kondisi emosi seseorang harus terekspresikan secara pantas. Kita mengenal bahasa kromo—akar dari istilah “tata karma”—yang digunakan para priyayi untuk mempertegas kedudukan sosial. Mereka yang memakai bahasa kromo dianggap lebih tinggi derajatnya. Semakin santun semakin kuat posisinya secara politik-sosial.

Pada titik tertentu, oleh kebiasaan sosial yang tersedia, kita kerap kali luput membedakan antara “raut wajah” dan “topeng”.

Dalam diskursus keislaman. Kita akan melihat mereka yang mampu menggunakan bahasa Arab sebagai seorang muhadits atau mujtahada yang terhormat. Dalam lingkungan akademis, mereka yang mampu berbahasa Inggris atau Cina atau keduanya dianggap sebagai intelektual yang lebih jago ketimbang yang hanya bisa bahasa Indonesia saja—barangkali karena itu Soekarno kerap menggunakan bahasa sintetis, memadukan terminologi Belanda, Inggris, Jerman, dan Indonesia dalam pidatonya.

Dengan demikian, rumus meningkatkan stratifikasi sosial menjadi sederhana: untuk mencapai kekuasaan di bidang agama, kuasailah bahasa Arab bagi muslim; untuk jago secara akademis-intelektual, kuasai bahasa Inggris; untuk jago politik, kuasailah bahasa tubuh (kata-kata, intonasi suara, dan gesture); dan sebagainya.

Tidak seperti Francis Bacon di muara renaisains, Foucault lalu membalik adagium “pengetahuan adalah kekuasaan” menjadi “kekuasaan adalah pengetahuan”. Pada intinya dua variabel itu adalah tak terpisahkan. Dan pengetahuan hanya dapat direpresentasikan dengan baik lewat bahasa.

Girl-With-Death-Mask-1-1938-large

Bahasa merupakan rumah dari manusia (menurut Kierargard). Rumah yang fleksibel itu seolah bekerja sepersis istilah Perancis, “mi casa es su casa”, rumahku adalah rumahmu. Dalam rumah universal manusia, segalanya melakukan transaksi, pertukaran, perubahan, adaptasi, asimilasi, dan sebagainya. Kekacauan pemaknaan dalam bahasa merupakan kekacauan kreatif, sebuah pengulangan abadi dari kebenaran yang senantiasa menjelma dengan wujud berbeda.

Topeng kemudian merupakan sesuatu yang selalu berubah. Kendati beberapa budaya masyarakat senantiasa menahan agar topeng itu tak berubah. Beberapa orang menganggap topeng yang modern lebih kuasa, beberapa lain menganggap topeng lama sebagai yang kuasa.

Namun dalam Bennedict Anderson, Kuasa-Kata, Ben mengungkapkan situasi ambiguitas dari topeng. “Dalam tari topeng, mislanya, hubungan antara penari dan topengnya sungguh amat mendua: topeng itu mungkin secara formal mengeskpresikan emosi tertentu yang dirasakan penarinya namun tak berani untuk diungkapkan (topeng menyediakan suatu alibi… dan ketika dalang duduk di belakang layar, menggerakkan wayang-wayang pilihannya, menirukan berbagai keragaman suara mereka, mengungkapkan berbagai hasrat dan kepribadian mereka, dia pun menjadi semua wayang itu tapi pada saat yang sama dia bukanlah satupun dari mereka.”

Saya cemas bila phantom keasyikan bermain di atas panggung pertunjukan, hingga lupa mana wajahnya sebenarnya: apakah topeng dengan senyum yang lagi terpakai, atau wajah buruk rupa di belakangnya.