Lukisan by: Slave Market - Jean-Leon Gerome
Dalam teks sejarah—terutama
berkenaan dengan perkembangan peradaban manusia—, selalu Islam nampak sebagai
objek di bawah kaca mata pembesar yang dipegang subjek bernama orientalisme.
Islam dipandang sebagai pesisir (periphery), dan peradaban Barat adalah core-nya; Islam selalu seketeng, tak
lebih dari pelengkap catatan sejarah manusia untuk memperpanjang halaman teks.
Hodgson menolak
objektivikasi semacam itu. Dalam upaya historiografinya, ia hendak menggencat
Islam dari bayang-bayang hegemoni esensialisme yang menyatakan bahwa Islam
hanyalah sejarah tragedi dan Barat adalah kisah heroik tentang kemenangan yang
gilang gemilang.
Umur 19 tahun yang sangat
belia, Hodgson sudah membuat esai yang vital karena sering menjadi rujukan
ketika membaca sejarah dunia. Kemudian ia ingin meletakan Islam dalam konteks
sejarah global. Berbeda dengan sejarawan lain yang membicarakan Islam dari luar
(orientalisme) atau Islam secara ekslusif dan penuh glorifikasi
(oksidentalisme), Hodgson membahas peradaban Islam secara rekonstruktif sebagai
satu titik krusial yang tidak membuat Islam inferior di hadapan kacamata
peradaban Barat pun tidak sok superior berhadap-hadapan dengan Barat.
Dalam risalah sejarah itu ia
berusaha mensubtitusi berbagai terminologi yang khas Eropasentris. Yang menurut
saya sejalan dengan metode arkeologi Foucault, yakni upaya menemukan
keterpatahan, dengan cara melepaskan dari hegemoni teks Barat agar bisa
merekonstruksi teks Islam dengan cara yang baru.
Semisal ia mengganti
terminology Middle Ages (abad
pertengahan) dengan Middle Period (periode
pertengahan). Juga istilah Timur Tengah (Middle East) dengan Nile-to-Oxus (Nil sampai Oxus). Bahwa peradaban Islam merambaki
wilayah dari sungai Nil sampai Oxus, di sana Islam menyebarkan getaran sosial
dan kultural secara ekstentif tidak hanya pada internal umat tapi juga sikap
beragama lain selain Islam yang oleh Hodgson disebut dengan Islamicate.
Selain itu, Hodgson juga
berusaha lepas dari paradigma dominan Islam yang Arabsentris. Ia justru banyak
membicarakan keistimewaan Persia sebagai kultur yang lebih maju dan progresif.
Meski harus diakui bahwa Arab adalah Rahim kelahiran Islam, Hodgson melihat
sisi lain, yaitu sejarah dan peradaban Islam yang tidak bergantung pada Arab.Dua
kekuatan krusial yang perlu dipahami untuk menjelaskan kelahiran Islam, bagi Hodgson,
adalah Parsi dan Ibrani. Untuk memahami Judaisme dan Islam secara lengkap,
tidak mungkin menyingkirkan Iran. Untuk itulah Hodgson menggunakan istilah Irano-Semitic dan Perso-Arabic.
Implikasinya adalah ia
cenderung dianggap memiliki bias atas Arab hingga kerap dituduh sebagai
Persianisme. Nuansa yang sama pernah saya baca dari Hasan Hanafi yang menolak
asosiasi antara Arab dan Islam, ia menolak istilah Arab-Islam. Hanafi dikritik
habis-habisan karena tidak melihat bahwa Islam sebagai nilai lahir dari
lokalitas Arab.
Persamaan Hanafi dan Hodgson
adalah, teks mereka membuka ruang bagi dikembangkannya Oksidentalisme meriap
sebagai antitesa dari Orientalisme. Meskipun menurut saya sikap demikian justru
sangat mungkin berdampak kontraproduktif bagi universalisme gagasan. Bahwa
kemajuan, sebagaimana ujar Pinker, ketika berdampak pada kesejahteraan manusia
secara global, maka ia tak lagi memiliki tempat lahir atau jenis kelamin. Kita
perlu melepaskan tirani keistimewaan yang berpotensi menjalari ego manusia. Identitas
adalah persoalan rumit dan destruktif bila diglorifikasi.
Persoalannya adalah
simplifikasi. Kita kerap terjebak dalam cara pikir vis-Ã -vis: kalau tidak salah, maka benar, kalau satu jelek pasti
yang sebaliknya bagus. Upaya melepaskan diri dari hegemoni teks Barat tidak
boleh menjadi bahan bakar psikologis untuk memberi makan ego peradaban oksiden.
Kita tahu, zionis mendirikan Israel karena disesaki dendam sebagai eksil selama
ribuan tahun. Hari ini kita lihat okupasi serta kolonialisme menjatuhkan banyak
darah dan airmata di Palestina.
Oksidentalisme perlu kita
kembangkan untuk melihat Islam dari dalam sebagai introspeksi diri tanpa
menganggap bahwa selama ini mental oksiden dijajah oleh objektivikasi kacamata
Orientalis. Setelahnya kita harus fair. Apa yang berhubungan dengan kemajuan
kultural tidak boleh dilepaskan dari hasrat mendulang identitas. Sebab
sebagaimana ekstraksi saya dari sejarah versi Arnold Toynbee: setiap peradaban
sesungguhnya hanya hasil dari pinjam-meminjam.

0 Komentar