(Ashes-1894 edvard munch)
Tampaknya
kita hanya bernyali membayangkan usia senja ketika masih muda.
Saya
tidak pernah menjadi tua secara harfiah. Saya tidak pernah mengalami sejauh
mana tantangannya. Pengalaman “menua” yang pernah saya alami begitu situasional,
ketika saya membandingkan diri dengan kawan-kawan yang usianya lebih muda. Sebaliknya,
ketika membandingkan diri dengan yang lebih tua, kami sering dianggap sebagai
anak kecil (mongoadi) yang tidak pernah dewasa—padahal dewasa dan menua adalah
dua perkara berbeda—, sebagaimana persepsi baby
bloomer kepada milenial dan generasi z.
Sebuah
aplikasi mungkin bisa bantu kita menghitung jumlah gurat dan garis di wajah
ketika tua kelak. Aplikasi itu memang lucu-lucuan, tapi menua adalah fakta
objektif. Ia kenyataan yang tak dapat dibatalkan sama sekali kecuali oleh kematian.
Dan sebagai fakta yang sulit diterima dengan lapang dada, penuaan senantiasa
diintai oleh musuh-musuh bebuyutannya: kecantikan, ingatan, dan kekekalan.
1.
Kecantikan
Barangkali
kecantikan menyukai kamera. Sebagaiamana ujar Seno Gumira dalam “Kisah Mata”,
kamera membantu kita mengekalkan apa yang tak ingin luput dari tubuh. Di layar
kaca, seseorang ingin tampak elok seabadi mungkin. FaceApp adalah pengecualian.
Aplikasi itu pernah saya ujicoba pada mantan pacar. Wajahnya sepersis wajah
neneknya yang sudah sore. Melihat itu, dia bergidik ngeri. Langsung ia
ultimatum saya untuk menghapus aplikasi terkutuk itu. Sebagai bucin yang baik,
saya patuh.
Beberapa
perempuan barangkali tidak membenci penuaan. Mereka benci karena tidak lagi
cantik. Terkadang, kecantikan bisa menjadi daya tawar harga diri seseorang.
Dalam gelanggang pemilihan putri kecantikan, ia bisa menjelma berhala.
Kita
bisa gugling nama Elizabeth Bathory de Esced. Bangsawan Hungaria itu tercatat
sebagai penjagal terkenal sepanjang sejarah sampai dijuluki “Countless
Berdarah”. Elizabeth Bathory dituduh menyiksa 100 sampai 650 perempuan—entah
berapa angka pastinya—sepanjang tahun 1585 sampai 1610. Elizabeth lalu mandi
dengan darah korban-korbannya. Ia yakin darah dara bisa memberkahi kecantikan
abadi yang tak lekang oleh penuaan.
2.
Ingatan
Saya pertama kali kenalan dengan Milan
Kundera lewat “Kitab Lupa dan Gelak Tawa”. “Diri”, ujar Kundera, “adalah entitas yang dibentuk oleh makhluk
bernama masa lalu.” Tamina, salah satu tokoh utama buku itu, digambarkan
sebagai istri yang berjuang merekonstruksi keping-demi-keping-ingatan mendiang
suaminya. Suaminya lebih tua sepuluh tahun dari dia dan kerap mengingatkan
bahwa ingatan manusia bisa menjadi sangat rengsa.
Lupa
tempat meletakkan kunci atau gunting kuku saja sudah cukup menyiksa. Ingatan
adalah kerabat yang ingin selalu setia sampai ujung usia; ingatan selalu
berjihad agar tidak terenggus waktu yang ikut mengeriput di pipi dan rambut
yang memutih. Terkadang jihad itu tidak berjalan sesuai rencana: kita dapati
ingatan berbalik mengkhianati kita, kadang tercampur baur dengan ingatan lain
hingga sulit dibedakan dengan khayalan, kadang pula ingatan semacet jalanan
Jakarta.
“Kematian bukanlah ketika masa depan
direnggut darimu, namun lantaran masa lalu lenyap dan meninggalkanmu selamanya;
‘Lupa’ ialah kematian eksistensial, mendahului kematian biologis,” tutur Milan
Kundera.
3.
Kekekalan
Setiap
hari terdapat 150.000 orang dijemput Maut. 2/3 angka itu disebabkan penuaan.
Aubrey de Grey menyimpulkan, penuaan adalah musuh bebuyutan keabadian. Penuaan
adalah terakumulasinya kerusakan-kerusakan tubuh sehingga banyak sel-sel
kadaluarsa (tidak terjadi regenerasi) dan organ-organ tubuh telah
disfungsional. Aubrey lantas menawarkan ilmu medis regeneratif. Organ-organ
yang rusak diganti dengan organ artifisial, sel-sel rusak diperbaiki lewat stem
cell, dan di level molekuler dengan mengganti inti sel. Pekerjaan ini kerap
disebut proyek Gilgamesh.
Hasrat
untuk hidup abadi adalah cerminan ketakutan terhadap kematian. Demi mengekalkan
hidup, para ilmuwan lalu berkehendak membunuh kematian. Berdasarkan statistik
bahwa 100.000 orang meninggal karena penuaan setiap harinya, maka lawan utama
adalah penuaan.
Ray
Kurzweil, salah seorang petinggi perusahaan Google, melahap sekitar seratus pil
setiap harinya hanya untuk mengulur umur panjang. Ia ingin melihat bagaimana
keajaiban-keajaiban perlahan-lahan tumbuh di bumi manusia. Ilmuwan lain
berhipotesa, bahwa kita bisa tidak perlu abadi secara fisik-material, kita
hanya perlu mengabadikan kesadaran dengan meng-upload kesadaran dalam realitas maya (seperti dalam film The Trancendence). Jadi meskipun tubuh
sudah binasa di bawah tanah atau jadi abu, kesadaran kita masih hidup dalam
computer.

0 Komentar