I
Ketika murung awan bercermin pada bening laut, kita hanya butuh selimut dan kabut untuk benar-benar tahu bahwa kesepian bisa jauh lebih cerewet dari suara TV tengah malam.

Bahwa kangen bisa lebih berbahaya dari taring hiu di hadapan aroma darah; bahwa lidah ombak selalu tiba pada bibir pantai yang cemas dan setia di tempat pertama

Lalu tersisa butir-butir pasir berkilauan seperti sampanye, dan kepedihan-kepedihan dibakar waktu

Tampaknya tidak banyak pilihan tersisa. Sebab selalu kulihat kau di ujung mimpi yang tak pernah memberiku lari.

II
Kau menjelma dinamit dalam kepala
melepas ingar gemuruh ketika
sayat sepi tiba di ujung sabar dan sadar

Aku menjadi abu
meraih-raih arah angin
menuju tubuhmu

Terkadang,
rindu
                      sejahanam itu

III
Kita pun membikin janji bertemu, membuat perhitungan!

Di tempat ini kita telah melarikan diri dari bumi.
Di bibirku kau gigit khuldi itu
Kita berbagi sepi lewat panas tubuh.

Tapi selalu kita pura-pura tidak tahu air mata setajam apa yang menunggu di ujung jalan setapak rahasia ini; selalu kita bersukukuh atas apa yang kelak tidak akan abadi sembari mengutuk-ngutuk rasa yang tidak pernah tepat waktu.

Mungkin suatu hari nanti,
pada suatu tempat suatu pagi,
kita sudah siap memunggut beling-
beling ingatan yang terserak di taris.
(yang pernah memahat luka
pada anak-anak langkah)

Seperti kata Kundera: kita bakal membunuh diri sendiri dalam amnesia dan gelak tawa.

Tidak akan tumbuh cerita di balik punggung bayangan malam ini. Lalu segenap rahasia memerah darah, menghantam nasib dalam satu hentakan peristiwa, dengan desah maut dan resah yang lebih kekal dari rajah di nadimu. Kau adalah perempuan singkat yang bergegas, yang meninggalkan jejak pada harum leherku sebagai mimpi yang pernah kupeluk dengan mata terbuka.




Rest Energy (1980) - Marina Abramovic