Boys With Machine (1954) - Richard Lindner
Baru-baru ini saja saya menonton ceramah Adam Atler di TED Talks, berjudul “Why Screen Make Us Less Happier”. Tajuk yang lebih cocok sebagai penyataan ketimbang pertanyaan.
Ceramah itu ia buka dengan
menceritakan kisah seorang jurnalis yang lagi mewawancarai Steve Jobs. Saat itu
produk iPad yang dikeluarkan Apple telah menjadi terobosan luar biasa dalam
dunia teknologi. Dan dengan seluruh kekaguman yang ia arahkan pada keajaiban
yang diciptakan Steve Jobs, wartawan itu berkata, “pasti anak Anda sangat
senang dengan iPad.”
“Mereka tidak
menggunakannya. Kami membatasi penggunaan teknologi (iPad) saat berada di
rumah,” jawab Jobs, yang membuat wartawan itu bingung keheranan. Dan kita,
barangkali akan menanggapi jawaban Jobs dengan cara serupa.
Adam Atler lalu menyambung
ceramahnya dengan kisah tentang sekolah bernama Waldorf yang jaraknya tidak
jauh dari Silicon Valley. Di sana para peserta didik dilarang menggunakan gawai
hingga duduk di kursi kelas delapan. Yang menarik adalah, 75% anak-anak itu
berasal dari keluarga yang bekerja di Sillicon Valley, lembah yang kita kenal
sebagai episentrum inovasi teknologi.
Kita mungkin tambah bingung.
Bagaimana bisa anak-anak yang lahir dari para pencetus teknologi yang telah
mengubah tatanan peradaban justru tidak akrab dengan barang ciptaan orangtua
mereka. Seburuk itukah barang yang kita beli dari mereka? Yang justru tak
mereka perkenankan digenggam anak-anak mereka?
Di Indonesia, justru
situasinya berbeda. Anak-anak malah lebih melek teknologi (terutama gawai)
ketimbang orangtuanya. Seorang kawan yang sudah memiliki anak pernah cerita
dengan penuh tawa, bahkan untuk memanfaatkan fitur insta-story di media social
ia butuh diajarkan oleh anaknya yang masih kecil. Ibu saya juga yang berusia
hampir kepala lima diajari menggunakan media social serta menggunakan
fitur-fitur smartphone oleh adik saya yang masih duduk di bangku SD.
Tentu saja kita masih bisa
menambahkan banyak hal di belakang contoh kasus tadi, mungkin Anda yang saat
ini membaca juga punya pengalaman serupa. Anak-anak memang memiliki akses lebih
banyak terhadap dunia smartphone, sedangkan kita tak tahu, apakah keunggulan
itu akan membuat mereka menjadi lebih smart atau tidak di masa depan.
Dalam buku Everybody Lies karya Seth Stephens, ia
mengatakan bahwa usia yang paling memengaruhi masa depan seorang anak adalah
berkisar di antara 5 sampai 15 tahun. Di usia ini, apa yang barangkali menjadi
minat dan hobi kita akan bertahan sepanjang masa. Di buku itu Seth
membandingkan dirinya sendiri dengan adiknya yang secara fisik sangat identic
rupanya. Yang membuat Seth merasa sangat berbeda dengan sang adik adalah, ia
penggemar fanatic olahraga futbol tapi adiknya tidak. Lalu Seth menyelami
kembali kehidupannya di masa lalu, dan ia sadari, bahwa di usia 5-15 tahun, ia
sudah kadung tergila-gila dengan olahraga futbol.
Bahkan dalam psikoanalisa,
telah santer teori-teori berkenaan dengan relasi kehidupan masa kecil kita
dengan kehidupan masa depan. Apa yang kita lakukan dan pikirkan di usia yang
menurut kita paling dewasa sangat tak mungkin bisa dilepaskan dengan pengalaman
masa kecil yang mendalam. Apa yang kita tuai sesungguhnya bibit yang kita tanam
di masa kecil. Yang seringkali, tidak ditanam oleh kita, tapi oleh orangtua,
lingkungan, atau tayangan eksternal yang kita peroleh dari internet.
Saya juga baru tahu bahwa
banyak kebiasaan buruk di masa dewasa lebih besar terjadi dan menjadi candu
apabila kita pernah mengalaminya di masa kecil. Sebagai contoh, bila seorang
anak pernah mengkonsumsi alcohol di masa belia, akan sangat besar kemungkinan
anak itu menjadi pecandu alcohol yang beringas di masa depan. Dan factor
tersebut adalah factor paling besar yang memengaruhi peningkatan indeks
kekerasan terjadi.
Kawan saya yang diajari
insta-story oleh anaknya tadi lalu melanjutkan, bahwa ia sebenarnya menjaga
anaknya dari manipulasi gawai. Ia hanya mengizinkan anak-anak untuk menggunakan
gawai hanya pada akhir pecan. Itu pun 2 jam sehari. Semenjak ia cerai, suaminya
malah memberikan gawai itu setiap hari bahkan memberi anak-anaknya kuota
sebanyak 10 giga. Teman saya cerita, kadang ia bahkan menumpang hotspot lewat
jaringan anak-anaknya.
Orangtua terkadang memang
irasional di hadapan anak-anak mereka. Tapi mungkin itu cara yang egois. Yang
mereka kejar bukankah adalah kebahagiaan pribadi ketika memberi sang anak gawai
beserta kuota berlimpah yang justru membuat anak-anak lebih candu pada benda
kecil itu? Dan selama kepala mereka menunduk di layar bercahaya itu, semakin
mereka tenggelam dalam manipulasi aplikasi.
Adam Atler berkata bahwa
waktu yang kita habiskan untuk memanfaatkan aplikasi bertendensi negative di
gawai kita bila ditotal tiga kali lipat ketimbang aplikasi positif. Karena
itulah barangkali ia memberi tajuk ceramahnya sebagai kenapa teknologi tak membuat
kita tambah berbahagia.
Bila kita membagi jenis
kecerdasan menjadi tiga pada umumnya, yakni kecerdasan intelektual, emosional,
dan spiritual, maka apakah jenis kecerdasan “smartphone”? Orang mungkin akan
banyak menjawab intelektual, sebab smartphone telah banyak membantu kita
mengatasi kesulitan dan keterbatasan hidup, kemampuan kognitif yang sangat
berguna untuk memecahkan masalah.
Tapi sesungguhnya, kemampuan
terbesar gawai merupakan kemampuan afektif. Benda kecil di kantong kita itu
punya kecerdasan besar untuk memanipulasi kita untuk selalu terikat padanya,
untuk merayu jempol kita agar selalu menggeser ke atas, dan melihat satu
persatu postingan di beranda gawai, yang tak pernah ada habis-habisnya. Kita
seperti memakan sebaskom sup yang selalu terisi kembali, tanpa dasar, tanpa
dasar …
0 Komentar