(Diterjemahkan dari Bab 1 buku "Everything is Fucked: A book About Hope" karya Mark Manson)
Eropa Tengah, sebidang tanah
di suatu sudut benua itu, terdapat gudang bekas barak militer, kejahatan
terpusat di sana untuk bangkit pada waktu tertentu, kejahatan yang lebih kejam
dan gelap daripada seluruh kejahatan yang pernah disaksikan mata dunia. Dalam
rentang waktu 4 tahun, lebih dari 1.3 juta orang secara sistematis dikumpulkan,
diperbudak, disiksa, dan dijagal di sana. Dan tak seorang pun yang dapat
membatalkannya.
Kecuali
satu orang.
Seperti
yang terjadi dalam dongeng dan buku komik: seorang pahlawan berparade menuju
rahang neraka penuh lidah api, demi menghadapi manifestasi kejahatan. Rintangan
itu tampak mustahil diterabas. Kala itu rasionalitas tampak menggelikan. Tapi
pahlawan kita tak pernah ragu, tak pernah sekalipun gentar. Ia berdiri tegak
lalu membunuh sang naga, meluluhlantakkan para setan yang menyerbu,
menyelamatkan planet ini dan mungkin satu atau dua tuan puteri di kastil.
Dan
untuk sebuah rentang sejarah yang ringkas, di sana terdapat harapan.
Tapi
ini bukan kisah tentang harapan. Ini adalah kisah tentang bagaimana segalanya
menjadi sungguh-sungguh kacau balau. Kekacaubalauan yang setara dengan proporsi
dan skala yang bisa kita mengerti hari ini, dengan segala kenyamanan dari Wi-Fi
gratis dan selimut bermotif bunga yang lebarnya minta ampun. Kekacaubalauan
yang paling mengerikan yang dapat terjangkau imajinasi kita.
Witold Pilecki sudah menjadi
pahlawan perang sebelum ia memutuskan untuk menyusup ke dalam Auschwitz.
Sebagai seorang pria muda, Pilecki diangkat jadi opsir dalam perang
Polandia-Rusia pada 1918. Dia ditendang tepat di zakar sebelum orang-orang tahu
betapa keparatnya orang kiri komunis itu. Setelah perang usai, Pilecki pindah
ke pesisir Polandia, menikahi guru sekolah, dan punya dua anak. Ia menikmati
rutinitas mengendarai kuda sembari memakai topi dan merokok cerutu. Hidup
begitu sederhana dan menyenangkan.
Kemudian
Hitler beserta tetek bengeknya muncul, dan sebelum Polandia selesai memakai
sepatu mereka, Nazi sudah menyelenggarakan Blitzkrieg sepanjang setengah negara
itu. Polandia kehilangan territori mereka kurang dari satu bulan. Tidak terjadi
pertarungan yang seimbang: sementara Nazi menginvasi wilayah barat, Soviet
menginvasi wilayah timur. Situasinya seperti terjebak di antara dua karang
tajam—salah satu karang tersebut adalah pembunuh masal megalomaniak yang
mencoba menaklukan dunia dan karang yang satunya lagi juga menjadi-jadi, melakukan
genosida tanpa ampun. Aku masih tidak begitu yakin bisa membedakan keduanya.
Nazi
ternyata jauh lebih kejam dari para Soviet. Mereka sudah membuat hal-hal sialan
sebelumnya, kau tahu—menggulingkan pemerintahan dan memperbudak populasi demi
ideologi yang cacat. Nazi dalam hal tertentu tampak seperti imperialis yang
masih perawan (yang mana, ketika kau melihat kumis Hitler di lukisan, tak akan
sulit membayangkannya). Pada bulan-bulan pertama perang, diiestimasikan bahwa
Soviet mengumpulkan jutaan warga Polandia lalu mengirim mereka ke timur.
Pikirkanlah hal tersebut beberapa detik saja. Jutaan orang, hanya dalam waktu
sebulan, lenyap begitu saja. Beberapa tidak berhenti sampai mereka mencapai
gulag di Siberia; yang lain ditemukan dalam kuburan-kuburan awanama beberapa
dekade kemudian. Banyak dari mereka yang masih tak ditemukan sampai hari ini.
Pilecki
bertarung dalam perang tersebut—melawan kedua pihak sekaligus, Jerman dan
Soviet. Dan seusai kekalahan mereka, dia dan opsir Polandia yang tersisa memulai
sebuah kelompok resistensi bawah tanah di Warsawa. Mereka memanggil diri mereka
sendiri sebagai Prajurit Rahasia Polandia.
Pada
musim semi 1940, Prajurit Rahasia Polandia menemukan kabar angin bahwa Jerman
tengah membangun penjara raksasa di luar bendungan di bagian selatan negeri
mereka. Jerman menamai penjara itu Auschwitz. Musim semi 1940, ribuan opsir
militer dan pemuka nasional Polandia raib dari Polandia barat. Ketakutan muncul
di tengah-tengah resistensi sebagaimana banyaknya jumlah penahanan yang terjadi
di timur bersama para Soviet. Pilecki dan krunya mencurigai bahwa Auschwitz,
adalah penjara berukuran sepersis sebuah kota, yang sepertinya cukup untuk
ribuan prajurit Polandia untuk terbelit dan lenyap.
Semua
itu terjadi ketika Pilecki menawarkan diri untuk menjadi mata-mata ke dalam
Auschwitz. Pada mulanya, ini adalah misi penyelamatan—dia membiarkan dirinya
sendiri menghadapi risiko diarestasi, terjebak selamanya di sana, dia akan
mengorganisir para prajurit Polandia yang lain, mengkoordinasi sebuah
pembelotan, dan menghancurkan benteng penjara itu.
Itu
merupakan misi bunuh diri yang membutuhkan izin komandan untuk bisa minum bir
seember di pantai. Pemikirannya memang gila, dan pemikiran itu telah banyak
berbicara kepadanya.
Tapi,
setelah sepekan lewat, masalah berkembang lebih parah: ribuan elit Polandia
lenyap, dan Auschwitz tetap menjadi titik buta raksasa bagi jaringan intelejen
sekutu. Sekutu tidak tahu menahu apa yang terjadi di sana dan sedikit
kesempatan untuk mengetahuinya lebih mendalam. Akhirnya, komandan Pilecki
diutus. Pada satu malam, di pos pemeriksaan rutin di Warsawa, Pilecki
menyerahkan dirinya ditangkap oleh SS karena melanggar jam malam. Kemudian, ia
berada digelandang menuju Auschwitz, satu-satunya orang yang pergi ke kamp konsentrasi
Nazi dengan sukarewa.
Sesampai
di sana, ia melihat realitas Auschwitz yang jauh lebih buruk dari prasangka
rekan-rekannya. Para tawanan diabsen secara bergiliran lantas ditembak sesuai
daftar yang tercatat hanya karena melanggar hal sepele atau karena berdiri
tidak terlalu tegak. Buruh dipaksa bekerja terus menerus. Secara harfiah mereka
bekerja untuk mati, kemudian mengerjakan tugas yang tak berguna atau tak
berarti apa-apa. Bulan pertama Pilecki di sana, tiga orang di baraknya mati
karena haus atau kena pneumonia atau ditembak. Betapapun, pada akhir 1940,
Pilecki, pahlawan super dari buku komik itu, tetap menjalankan operasi
spionasenya dengan baik.
Oh,
Pilecki—kau matahari, kau pemenang, melayap di atas neraka—bagaimana kau bisa
mengelola sebuah jejaring intelejen dengan menanam surat dalam keranjang
cucian? Bagaimana kau bisa membangun transistor radio sendiri tanpa baterai,
gaya MacGyver, kemudian berhasil
mentransmisi rencana menyerang penjara kepada tentara rahasia Polandia di
Warsawa? Bagaimana kau menyelundupkan makanan, obat-obatan, dan pakaian untuk
tawanan, menyelamatkan banyak nyawa dan mengirim harapan ke jazirah hati
manusia? Apakah yang pantas diberikan dunia ini untukmu?
Setelah
kurang lebih dua tahun, Pilceki membangun unit perlawanan di dalam Auschwitz.
Terdapat rantai komando, dengan peringkat dan petugas; jejaring logistik; dan
garis komunikasi untuk dunia luar. Semua operasi itu tak tersadap penjaga SS
selama nyaris dua tahun. Pilecki bertujuan memberontak dari dalam kamp. Dengan bantuan
dan koordinasi dari luar, dia mengawaki penjaga SS, dan melepaskan puluhan ribu
gerilyawan Polandia yang liar dan terlatih. Ia mengirimkan rencana dan laporan
ke Warsawa. Berbulan-bulan, ia menanti. Berbulan-bulan, ia bertahan.
Kemudian orang-orang Yahudi
tiba. Pertama, dalam satu bus. Lalu, diantar kereta penuh. Kemudian, yang
datang terhitung puluhan ribu, orang-orang seperti ombak terombang-ambing yang
mengalir sebagai samudera kematian dan keputusasaan. Melepaskan semua barang
milik keluarga dan martabat, mereka digiring secara tertib ke “pancuran” jenis
baru di barak, di mana mereka bermandi gas sampai tubuh terbakar.
Pilecki
melaporkan bahwa keadaan menjadi kian gila. Puluhan ribu orang dijagal tiap
hari. Paling banyak Yahudi. Korban jiwa mungkin jutaan. Ia memohon tentara
rahasia Polandia segera membebaskan kamp. Ia berkata, bila tidak membebaskan
kamp itu, paling tidak bombardir saja tempat itu. Demi Tuhan, atau hancurkan
saja kamar gas itu.
Tentara
rahasia Polandia menerima pesan Pilecki, mereka mengira Pilecki terlalu
berlebihan. Apa yang mampu terjangkau pikiran mereka, tidak ada yang akan kacau
balau. Tidak ada.
Pilecki
merupakan orang pertama yang memperingatkan dunia soal Holocaust. Intelejennya
menyampaikan ke pelbagai kelompok perlawanan di seantero Polandia, kemudian ke
pemerintah Polandia yang menetap sementara di Amerika Serikat, yang kemudian
melanjutkan laporan itu ke sekutu di London. Informasi itu secepatnya tiba di
telinga Eisemhower dan Churcill.
Mereka
juga mengira Pilecki terlalu berlebihan.
Pada
1943, Pilecki sadar bahwa rencana pemberontakannya dan melarikan diri dari
penjara tidak akan pernah terwujud: tentara rahasia Polandia tidak pernah
datang. Amerika dan Inggris tidak datang. Dan dari semua kemungkinan, Soviet
barangkali akan tiba—dan mereka jauh lebih buruk. Pilecki memutuskan bahwa
menetap lebih lama di kamp akan sangat berisiko. Saatnya melarikan diri.
Ia
membuatnya nampak sederhana, tentu saja. Pertama, ia pura-pura sakit dan
memohon diantar ke rumah sakit kamp. Dari sana, ia berbohong pada dokter soal
agar tidak dikembalikan di kelompok sebelumnya, dengan berkata bahwa ia punya
giliran jaga malam di toko roti, yang mana terletak di bagian luar kamp, dekat
sungai. Ia meneruskan kerja sampai pukul 2.00. a.m., sampai tumpukan terakhir
roti selesai dipanggang. Persoalan yang tersisa adalah memotong kawat telepon,
lalu diam-diam mengumpil lobang kunci untuk membuka pintu, mengganti pakaian
dengan baju hasil curian tanpa diketahui penjaga SS, berlari ke arah sungai
sejauh satu mil, kemudian menavigasi arah pulang lewat panduan bintang
gemintang.
Hari-hari ini, banyak hal
dalam dunia terlihat kacau balau. Bukan hanya Holocaust Nazi—namun yang
betul-betul lebih kacau balau daripada itu.
Kisah
Pilecki memberikan kita inspirasi. Mereka memberi kita harapan. Mereka membuat
kita berkata, “Sialan, keadaan selalu bertambah lebih buruk, dan orang itu
dapat melampaui hal-hal itu. Apa yang sudah saya lakukan selama ini?”—yang
mana, di era “badai-tweet” dan kebiadaban pornografi ini kita mestinya bertanya
hal yang sama pada diri sendiri. Ketika kita melihat lebih jauh segala sesuatu
lalu mendapatkan perspektif baru, kita menyadari bahwa sementara pahlawan
seperti Pilecki menyelamatkan dunia, kita hanya menampar nyamuk dan mengeluh
soal suhu AC yang tidak cukup bagus.
Kisah
Pilecki adalah satu hal yang paling heroik yang pernah mampir dalam hidup saya.
Karena heroisme bukan hanya tentang keberanian atau ketekunan atau kecerdikan
bermanuver. Hal-hal tersebut umumnya bisa digunakan dalam cara-cara yang tidak
heroik. Lebih dari itu, heroisme tentang kemampuan menciptakan harapan justru ketika harapan itu
tidak ada sama sekali. Untuk menyalakan sebatang korek demi membinasakan
kegelapan. Untuk menunjukan bahwa masih ada kesempatan menuju dunia yang lebih
baik—bukan dunia terbaik di mana kita ingin eksis, tapi dunia yang lebih baik
yang bahkan kita tidak tahu bahwa itu eksis. Untuk mengatasi situasi ketika
semuanya terlihat penuh kekacauan mutlak dan tetap saja kita dapat
memperbaikinya lebih baik lagi.
Keberanian
itu umum. Kegembiraan itu umum. Tapi heroisme memiliki komponen filosofis di
dalamnya. Terdapat tanda “tanya besar” yang ia letakkan di atas meja—beberapa
penyebab tak masuk akal atau keyakinan yang tak goyah, tidak peduli apapun itu.
Dan inilah kenapa, sebagai budaya, kita begitu putus asa untuk satu pahlawan
hari ini: bukan karena banyak hal jahat terjadi, tapi karena kita kehilangan
“tanda tanya” besar yang diwariskan generasi sebelumnya.
Kita
adalah sebuah budaya yang tidak butuh perdamaian atau kesejahteraan atau
ornamen untuk mobil elektrik kita. Kita memiliki segala itu. Kita adalah satu
budaya yang membutuhkan sesuatu yang lebih genting. Kita adalah sebuah budaya
yang membutuhkan harapan.
Setelah menyaksikan
tahun-tahun penuh perang, penyiksaan, maut, dan genosida, Pilecki tak pernah
kehilangan harapan. Meskipun kehilangan negaranya, keluarganya, teman-temannya,
dan nyaris hidupnya sendiri, ia tak pernah kehilangan asa. Meskipun setelah perang,
ketika dominasi Soviet makin kronis, ia tak pernah kehilangan harapan atas
Polandia yang merdeka dan independen. Ia tak pernah kehilangan harapan yang
damai dan bahagia untuk kehidupan anak-anaknya. Ia tak pernah kehilangan
harapan untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa, lebih banyak orang.
Seusai
perang, Pilecki kembali ke Warsawa dan melanjutkan pengintaian, kali ini untuk
partai Komunis, yang mana telah menanamkan pengaruh di sana. Sekali lagi, ia
menjadi orang pertama yang memperingatkan Barat bahwa bakal tiba satu kejahatan
baru, dalam konteks ini ialah Soviet yang menginfiltrasi pemilihan dalam
pemerintahan Polandia. Ia juga yang pertama mendokumentasikan kekejaman Soviet
di timur sepanjang perang.
Kali
ini, ia tertangkap. Ia diperingkatka bahwa dia bakal ditahan, tapi ia punya
kesempatan melarikan diri ke Itali. Namun, Pilecki menolak—dia lebih memilih
tetap tinggal dan mati di Polandia ketimbang lari dari kenyataan lantas hidup
sebagai sesuatu yang tak lagi ia kenali. Polandia yang merdeka dan independen,
adalah satu-satunya sumber harapan. Tanpa itu, ia kosong.
Kemudian
harapan itu pula yang melepaskannya. Komunis menangkap Pilacki pada 1947, dan
mereka tidak memperlakukannya dengan gampang. Dia disiksa selama hampir satu
tahun, berulang-ulang kali ia bilang pada istrinya bahwa “Auschwitz jauh lebih
kerdil” sebagai perbandingan.
Tetap
saja, tak pernah ia berkooperasi dengan interrogator.
Menyadari
bahwa mereka tidak dapat informasi apapun darinya, partai Komunis memutuskan
untuk menjadikannya sebagai contoh. Pada 1948, mereka buat peradilan dan
memaksa Pilecki lewat pemalsuan dokumen dan kekerasan pada jam malam agar
mengaku terlibat dalam spionase dan pengkhianatan. Sebulan kemudian, ia divonis
bersalah dan harus dihukum mati. Pada hari terakhir pengadilan, Pilecki
diperbolehkan bicara. Ia menyatakan kesetiaannya selalu milik Polandia dan
rakyatnya, dan ia tidak akan menyesali apapun. Ia menutup pernyataan dengan
“Aku akan mencoba menjalani hidup seolah-olah kematianku tinggal satu jam lagi;
aku akan merasa damai daripada takut.”
Dan
itu bukan hal paling hardcore yang
kau pernah dengar, aku masih punya banyak lagi di sini.
Bagaimana Saya Bisa
Membantu Anda?
Jika aku bekerja di
Starbuck, daripada menulis nama orang-orang di gelas kopi mereka, aku akan
menulis seperti ini:
“Satu hari, kau dan semua yang kau sayangi
akan mati. Dan untuk periode waktu yang sangat ringkas, sedikit saja dari yang
kau katakan atau lakukan akan teramat berarti. Inilah Kebenaran yang
Mencemaskan (Uncomfortable Truth) dalam
hidup. Dan segala yang kau pikirkan atau lakukan hanya upaya menghindari
kenyataan itu. Kita hanya debu kosmis yang tak berarti, menyambar dan menempel
sebagai titiki kecil biru. Kita mengira bahwa diri kita penting. Kita
menciptakan tujuan kita sendiri—kita bukanlah apa-apa.
Nikamati kopi sialanmu!
Aku
akan menulisnya dengan huruf yang sangat mungil, tentu saja. Aku akan
meluangkan waktu sebelum pagi hari, ketika etalase belum disibuki pelanggan di
depan pintu. Memang kerja ini bukan layanan lima bintang. Mungkin inilah
sebabnya aku tidak kunjung diterima kerja.
Tapi
sesungguhnya, bagaimana untuk mengatakan pada seseorang dengan benar-benar
penuh kata hati, “semoga harimu menyenangkan” sementara mengetahui bahwa semua
pikiran dan motivasi mereka berakar dari keinginan tak terbatas untuk
menghindari ketiadaan makna yang inheren dalam eksistensi manusia?
Karena,
dalam ekspansi tak terbatas dari ruang/waktu, alam semesta tidak peduli
apakah operasi lemak ibumu berjalan
dengan baik, atau anak Anda diterima kuliah, atau bos Anda mengira Anda
menggerutu padanya. Semesta tidak peduli jika Demokrat atau Republikan
memenangkan pemilihan. Tidak peduli jika seorang seleberiti tertangkap mengisap
kokain sembari bermartubasi di dalam kamar mandi bandara (lagi). Tidak peduli
jika hutan terbakar atau es meleleh atau air bangkit atau air membara atau kita
menjadi uap karena ulah ras alien.
Anda peduli.
Anda
peduli, dan Anda meyakinkan diri sendiri bahwa Anda benar-benar peduli, bahwa
ada kehendak akbar kosmik yang bermain di belakang keyakinan itu.
Anda
peduli karena, jauh di dalam diri, Anda merasa berkewajiban menghindari
Kebenaran Mencemaskan, untuk menghindari eksistensi Anda yang tak komprehensif,
untuk menghindari dihancurkan oleh insignifikansi Anda. Dan Anda—seperti saya,
sebagaimana orang lain—kemudian memproyeksikan perasaan imajiner ke dunia
sekitar karena itu memberikan harapan.
Terlalu
cepat untuk membicarakan ini? Kemari, ambil segelas kopi lagi. Aku akan membuat
senyum mengedip dengan uar susu di atasnya. Imut bukan? Aku bahkan akan menunggu kau mengirimnya di Instagram.
Oke,
sampai di mana kita? Oh ya! Eksistensimu yang tak komprehensif—benar. Kini, kau
mungkin berpikir, “Baiklah, Mark, aku percaya kita berada di sini atas sebuah
alasan, dan tidak ada namanya kebetulan, dan semua orang memiliki arti karena
tindakan kita akan memengaruhi seseorang
lain, dan meski kita dapat menolong satu orang, bukankah itu cukup bernilai
penting?
Sekarang,
kau tampak imut seperti sebuah tombol!
Lihatlah
harapanmu bicara. Itu kisah tentang pikiranmu ketika terhenyak di pagi hari: sesuatu harus berharga karena tanpa
sesuatu yang berharga, maka tidak ada alasan untuk menjalani hidup. Dan
beberapa bentuk dari altruisme sederhana atau upaya mereduksi penderitaan
selalu merupaka mekanisme pikiran kita agar kita merasa sedang melakukan
sesuatu yang berharga.
Psikis
(psyche) kita butuh harapan untuk
bertahan hidup sebagaimana ikan butuh air. Harapan adalah bahan bakar bagi mesin-mesin
mental. Mentega bagi biskuit. Dan terdapat lebih banyak lagi metafora klise
lain. Tanpa harapan, keseluruhan aparatus mental kelaparan. Jika kita tidak
percaya adanya harapan di masa depan yang lebih baik dari hari ini, semua aspek
hidup bakal berkembang dengan berbagai cara, kemudian secara spiritual kita
mati. Lantas, jika tidak ada harapan atau hal-hal tidak menjadi lebih baik,
kemudian untuk apa hidup—kenapa harus melakukan sesuatu?
Inilah
apa yang kerap luput dari pengamatan kita: lawan dari kebahagiaan bukan marah
atau sedih.[1]
Jika kau marah atau sedih, artinya kau masih diusik sesuatu. Artinya sesuatu
masih kau anggap berharga; kau masih punya harapan.[2]
Lawan
dari kebahagiaan adalah keputusasaan, garis horizon abu-abu dari penyerahan
diri dan indiferensiasi;[3] adalah keyakinan bahwa
segalanya kacau, maka kenapa haru melakukan segala itu?
Keputusasaan
adalah nihilisme yang dingin dan suram, perasaan bahwa hidup tidak memiliki
intisari, maka persetan dengan itu—kenapa tidak lari dengan gunting atau tidur
dengan istri bosmu atau melakukan penembakan sporadis di sekolah? Inilah
Kebenaran Mencemaskan, realisasi bisu di wajah ketidakterbatasan, semua hal
yang mungkin kita pedulikan akan dengan cepat runtuh ke titik nol.
Keputusasaan
merupakan akar kecemasan, penyakit mental, dan depresi. Merupakan sumber dari
segala derita dan penyebab dari semua kecanduan. Ini bukan pernyataan yang
dilebih-lebihkan.[4]
Kegelisahan kronis adalah krisis dari harapan, dibangun oleh rasa takut akan
gagalnya masa depan. Depresi adalah krisis harapan, keyakinan bahwa masa depan
tidak lagi punya makna. Delusi, adiksi, obsesi—ialah semua kesedihan mental dan
usaha kompulsif untuk mencurangi harapan lewat saraf neurotik.[5]
Menghindari
keputusasaan—yang merupakan konstruksi harapan—lantas menjadikan pikiran kita
sebagai hal primer. Semua makna, apapun yang kita pahami tentang diri kita dan
dunia, dikonstruksi oleh tujuan memelihara harapan. Segera setelah itu, harapan
menjadi satu-satunya yang kita bersedia mati untuknya. Harapan adalah sesuatu
yang kita percaya jauh lebih agung dari kita sendiri. Tanpanya kita tidak
berarti.
Sewaktu
masih di bangku kuliah, kakek saya meninggal. Untuk beberapa tahun itu, saya
memiliki intensi harus hidup dengan membanggakan mendiang kakek. Perasaan ini
masuk akal dan nyata dalam kedalaman batin tertentu, tapi ternyata tidak.
Faktanya tidak masuk akal sama sekali. Aku tidak pernah berhubungan akrab
dengan kakek. Kami tidak pernah bicara lewat telepon. Kami tidak
berkorespondensi. Aku bahkan tidak pernah melihatnya lima tahun sebelumnya atau
ketika dia masih hidup.
Dia
sudah mati. Bagaimana sikap “hidup dengan membuatnya bangga” dapat memengaruhi
hidup almarhum?
Kematiannya
membuat saya melawan Kebenaran Mencemaskan. Jadi, pikiranku mulai bekerja,
menyusun harapan dari situasi ini demi menopangku, untuk menjauhkan nihilisme
itu tetap di ujung bibir pantai. Pikiranku memilih itu karena kakek kini
kehilangan kemampuan berharap dalam hidupnya, penting bagi saya untuk mewarisi
harapan dan aspirasinya demi harga diri. Inilah cara pikiranku menggigit
sepotong iman, agama mungil yang begitu personal dalam kesunyian saya.
Dan
itu bekerja! Untuk waktu yang singkat, kematiannya menanamkan banalitas dan
pengalaman kosong yang diimport dengan makna. Dan nilai itu memberi saya
harapan. Kau mungkin merasa sesuatu yang tidak asing ketika seorang yang dekat
denganmu meninggal. Itu perasaan yang umum. Kau berkata kepada diri sendiri
bahwa kau akan mengisi hidupmu dengan merayakan peristiwa itu. Kau berkata pada
diri sendiri bahwa kau lagi melakukan sesuatu yang penting dan baik.
Dan
“hal baik” itu adalah apa yang menopang kita pada saat-saat diintai teror
eksistensial. Aku berkeliling membayangkan kakek mengikutiku, sebagai hantu
yang cerewet, yang kerap mengintip di balik lengan. Orang yang nyaris tidak aku
kenal sepanjang ia hidup kini menjadi sesuatu yang secara ekstrem aku pedulikan
sebagaimana aku penuh ketekunan menyelesaikan ujian kalkulus. Benar-benar
irasional.
Psikis
kita mengkonstruksi narasi kecil seperti acapkali berhadapan dengan kemalangan,
inilah cerita yang kita ciptakan dalam diri. Dan kita harus menjaga narasi
harapan tetap bertahan, sepanjang waktu, kendatipun narasi itu jadi tak masuk
akal atau destruktif, sebab mereka merupakan kekuatan stabilitas yang melindungi
pikiran dari Kebenaran Mencemaskan.
Narasi
harapan ini kemudian memberikan kita perasaan atau tujuan. Bukan hanya
mengimplikasikan terdapat sesuatu yang lebih baik di masa depan, pun secara
aktual memungkinkan untuk kita gapai. Ketika seseorang merepet mengenai mencari
“tujuan hidup”, apa yang mereka maksud sesungguhnya tidak pernah jelas, apa
yang berharga sesungguhnya adalah durasi terbatas yang mereka lalui di bumi[6]—singkatnya, alasan dari
berharap itu sendiri. Mereka berjibaku untuk menyaksikan apa yang terjadi dalam
hidup mereka kelak.
Bagian
tersulitnya: menemukan narasi untuk diri kita sendiri. Sulit karena tak ada
cara untuk memastikan bahwa kau benar. Inilah kenapa banyak orang menghamba
pada agama, karena agama menjawab ketidatahuan permanen dan menuntut iman untuk
menghadapinya. Oleh karena itu orang relijius menderita depresi dan bunuh diri
jauh lebih sedikit daripada orang-orang non-relijius: praktik iman melindungi
mereka dari Kebenaran Mencemaskan.[7]
Tapi
narasi harapan tidak butuh agama. Buku ini adalah sumber harapan kecil yang
memberi saya tujuan; mengisi makna. Dan narasi yang saya konstruksi di sekitar
harapan membuat saya percaya buku ini mungkin dapat membantu beberapa orang,
barangkali membuat hidup saya dan dunia sedikit lebih baik.
Apakah
saya tahu dengan pasti? Tidak. Tapi inilah cerita saya, dan saya menggantung
padanya. Inilah yang membuat saya terbangun di pagi hari dan membuat hidup
lebih menggairahkan. Bukan karena ini hal yang tidak buruk, ini adalah
satu-satunya yang saya miliki.
Untuk
beberapa orang, cerita adalah tentang membesarkan anak-anak mereka dengan baik.
Untuk yang lain, menyelamatkan lingkungan hijau. Bagi yang lain, membuat gunung
uang lalu membeli kapal feri. Untuk yang lain lagi, memperbaiki ayunan tongkat
golf mereka.
Entahlah
kita merealisasikannya atau tidak, kita memiliki narasi yang kita pilih untuk
untuk suatu alasan. Tidak penting kau merengkuh harapan via agama atau teori
berbasiskan fakta atau intuisi atau penalaran argumentatif—semua itu
memproduksi produk yang sama: kau memiliki keyakinan bahwa (a) terdapat potensi
pertumbuhan atau perbaikan atau keselamatan di masa depan, dan (b) terdapat
cara untuk menavigasi diri kita kesana. Hari demi hari, tahun demi tahun, hidup
dibuat demi upaya tak terbatas melengkapi narasi harapan.
Apabila
buku ini terdengar nihilistik, tolong jangan memetik gagasan keliru. Buku ini
bukan argumen tentang nihilisme melainkan melawan nihilisme—baik nihilisme di
dalam diri kita dan perasaan yang berkembang dari nihilisme yang muncul dalam
dunia modern.[8]
Agar dapat menentang nihilisme, kau harus mulai dari nihilisme. Kau harus
memulai tepat pada Kebenaran Mencemaskan. Dari sana kau harus perlahan-lahan
membangun alasan meyakinkan untuk berharap. Dan tidak hanya sekadar harapan, tapi
harapan yang berkelanjutan, harapan yang penuh kebajikan. Sebuah harapan yang
sanggup membimbing kita bersama. Sebuah harapan yang matang dan kuat, yang akan
tetap berpijak pada nalar dan realitas. Harapan yang dapat membawa kita ke
pucuk hari dengan rasa syukur dan kepuasan.
Tidak
gampang dilakukan memang. Pada abad ke-21, kesulitan ini mulai dapat dibantah.
Nihilisme dan indulgensi murni dari hasrat ini mencari genggaman di dunia
modern. Kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri. Sukses demi sukses itu sendiri. Kepuasan demi kepuasaan itu sendiri.
Nihilisme mengajari kita bahwa tidak ada lagi “tanda tanya” yang lebih luas.
Tidak menghendaki kita taat pada kebenaran akbar. Sederhananya, “karena terasa
menyenangkan.” Karena itulah, sebagaimana yang nanti kita lihat, hal-hal
kemudian menjadi terlihat buruk.
Paradoks Kemajuan
Kita hidup pada zaman paling
menarik, benda-benda menjadi lebih baik daripada zaman sebelumnya, kita akan
tampak kehilangan akal sehat bila menganggap dunia hari ini seumpama lobang
kloset raksasa yang sedang disiram air. Perasaan irasional dari keputusasaan
merambak ke orang-orang paling kaya, dunia dibentuk. Inilah paradoks kemajuan:
semakin baik segala sesuatu, semakin gelisah dan sedih perasaan kita.[9]
Pada
tahun-tahun sebelumnya, Steven Pinker dan Hans Rosling membuat alasan kenapa
ktia keliru untuk berpikir pesimistik, faktanya, dunia semakin baik dan bakal
menjadi lebih baik lagi.[10] Mereka berdua memiliki
buku tebal dengan berjibun peta dan grafik yang memulai dari satu sudut dan
selalu berakhir di seberang sudut lain.[11] Mereka menguraikan dengan
panjang lebar bias-bias kognitif dan asumsi keliru yang kita gunkana sehingga
menyebabkan kita merasa dunia ini jauh lebih buruk daripada kenyataannya.
Kemajuan, menurut mereka akan berlanjut, tak bakal mampu diinterupsi, sepanjang
sejarah dunia modern.[12] Tren kekerasan kini
menurun untuk beberapa dekade, mungkin beberapa abad.[13] Rasisme, seksisme,
diskriminasi, dan kekerasan terhadap perempuan mencapai titik terendah
sepanjang catatan sejarah.[14] Kita memiliki lebih
banyak hak ketimbang zaman sebelumnya.[15] Sebagian planet ini telah
memiliki akses ke internet.[16] Kemiskinan ekstrem kini
berada di level sangat renda.[17] Perang berkurang.[18] Jumlah anak-anak
menderita berkurang, dan harapan hidup bertambah panjang.[19] Umat manusia jauh lebih
sejahtera daripada sebelumnya.[20] Kita seperti disembuhkan
dari setandan penyakit.[21]
Penting
untuk mengetahui fakta-fakta ini. Tapi membaca buku-buku tersebut pun seperti
mendengar Paman Larry mengoceh tentang seberapa banyak hal-hal buruk yang
terjadi ketika seumuran Anda. Meskipun ia benar, bukan hal yang pasti kau
merasa masalahmu lebih baik daripada dia.
Sebab
oleh semua berita baik yang diterbitkan hari ini, terdapat statistik lain yang
mengejutkan: di Amerika Serikat, simtom depresi dan kegelisahan selama delapan
puluh tahun yang mengayun di antara anak muda dan dua puluh tahun ini
menunjukan pertumbuhan angka pada populasi dewasa.[22] Bukan hanya karena
orang-orang mengalami depresi dalam jumlah besar, tapi karena mereka
mengalaminya di usia yang lebih muda.[23] Sejak 1985, pria dan
wanita dilaporkan punya tingkat kepuasan hidup yang rendah.[24] Sebagian disebabkan tingkat
stress yang bertambah sepanjang tiga puluh tahun ini.[25] Overdosis obat-obatan
mencapai angka tertinggi sebagaimana krisis opioid yang banyak merusak Amerika
Serikat dan Kanda.[26] Sepersis populasi AS,
keterasingan dan isoalsi sosial bertambah. Hampir separuh warga Amerika
dilaporkan merasa terisolasi, tinggal sendirian.[27] Kepercayaan sosial pun
tak hanya turun di negara berkembang tapi terjungkir-jungkir, artinya lebih
sedikit yang percaya pada pemerintah, media, dan satu dan lainnya.[28] Pada 1980, tatkala
peneliti bertanya kepada partisipan dalam sebuah survey tentang berapa banyak
orang yang mendiskusikan persoalan personal penting sekitar enam bulan ke
belakang, jawaban paling umum adalah “tiga”. Tahun 2006, jawaban paling banyak
adalah “nol”.[29]
Sementara
itu, lingkungan kita benar-benar amburadul. Orang gila punya akses ke senjata
nuklir. Ekstremisme seantero dunia kian berkembang—dalam segala bentuk, entah
di sayap kanan atau kiri, entah relijius atau sekuler. Teori konspirasi,
militisi warganegara, survivalis, dan penganut teologi apokaliptik menjadi
subkultur yang lebih populer.
Pada
dasarnya, sepanjang sejarah umat manusia, kita telah berada pada bumi paling
aman dan paling makmur, namun yang paling putus asa daripada yang sudah-sudah.
Inilah paradoks kemajuan. Bahkan kita tak dapat menjumlah fakta mengejutkan
ini: semakin makmur dan aman tempat kau tinggal, semakin mungkin kau memutuskan
bunuh diri.[30]
Kemajuan menakjubkan yang
kita buat di bidang kesehatan, keamanan, dan kemakmuran material setelah
melewati ribuan tahun ini tak dapat disangkal. Tapi semua itu statistik tentang
masa lalu, bukan masa depan. Dan di sanalah tempat harapan mesti ditemukan:
dalam visi kita akan masa yang akan datang.
Karena
harapan tidak berdasarkan statsitik. Harapan tidak peduli dengan penurunan tren
kematian menggunakan senjata api atau kecelakaan mobil. Harapan tidak peduli
dengan kecelakaan pesawat tahun lalu atau indeks literasi meningkat pesat di
Mongolia (kecuali Anda seorang Mongol).[31]
Harapan
tak peduli dengan masalah yang sudah dipecahkan. Harapan hanya peduli dengan
soal yang masih belum selesai. Karena semakin dunia ini membaik, semakin banyak
kita kalah. Dan semakin banyak kekalahan, semakin sedikit harapan yang tersisa
dari kita.
Untuk
membangun dan memelihara harapan, kita perlu tiga hal: kendali, keyakinan atas
suatu nilai, dan komunitas.[32] “Kontrol” berarti kita
merasa dapat mengendalikan hidup kita, yang dapat memengaruhi nasib. “Nilai”
berarti kita menemukan sesuatu yang cukup penting untuk dilakukan dengan kerja
keras. Dan “komunitas” berarti kita bagian dari kelompok yang punya nilai
serupa dan tindakan serupa dan tujuan serupa. Tanpa komunitas, kita merasa
terisolasi, dan tanpa nilai kita bisa saja berhenti menjadi apapun. Dan tanpa
kendali, kita merasa tak kuasa untuk merengkuh apa saja. Kehilangan satu dari
tiga itu, maka kau kehilangan dua di antara tiga itu. Kehilangan ketiga itu,
kau kehilangan harapan.
Untuk
memahami kenapa kita menderita krisis harapan hari ini, kita perlu memahami
mekanisme harapan, bagaimana ia digenerasi dan terpelihara. Tiga bab
selanjutnya bakal menunjukan bagaimana kita mengembangkan tiga area kehidupan:
kendali (bab 2), nilai (bab 3), dan komunitas (bab 4).
Kita
kemudian akan kembali ke pertanyaan awal: apa yang terjadi dalam dunia yang
menyebabkan kita merasa lebih buruk kendati segala sesuatu secara persisten
berkembang lebih baik?
Dan
jawabannya akan membuat Anda takjub tak percaya.
0 Komentar