(*Diterjemahkan dari bab 3 buku “Everything is Fucked: A Book About Hope” karya Mark Manson.)





Kali pertama Isaac Newton menerima bogem mentah di wajah, adalah ketika berdiri di kebun. Paman Isaac susah payah menjelaskan kenapa gandum harus ditanam dalam barisan diagonal, tapi Isaac tidak mengindahkan penjelasan itu. Ia hanya menatap matahari, membayangkan bagaimana cara cahaya tercipta ke dunia.
Saat itu umurnya baru tujuh tahun.
Paman menghantam Isaac begitu keras di rahang sebelah kiri sampai ia terhuyung-huyung. Ia kehilangan keseimbangan. Dan bagian dari jiwanya menarik dia kembali, beberapa potongan rahasia itu masih terserak di lumpur, tertinggal di tempat yang tak akan pernah dapat dipulihkan kembali.


Ayah Isaac meninggal sebelum ia lahir, dan ibunya menyampakkan dia lalu kawin lari dengan tua bangka kaya raya yang tinggal di desa seberang. Hasilnya, Isaac menjalani tahun-tahun bersama paman, sepupu, dan nenek. Tidak ada satupun yang menginginkan dia. Tidak ada yang tahu mau diapakan anak itu. Ia adalah beban yang menyerana. Cinta menjadi sesuatu yang asing.
Paman Isaac adalah pemabuk yang tak pernah duduk di bangku pendidikan, tapi tahu menghitung jumlah pagar dan tanaman di kebun. Itu satu-satunya keahlian intelektual dia, dan karena itu, ia melakukannya lebih sering daripada yang harus dilakukan. Isaac lalu diajak menghitung tanaman bersama, sebab itulah satu-satunya momen di mana paman memberikan perhatian kepada Isaac. Dan seperti setetes air di tengah-tengah gurun pasir tandus, perhatian itu justru merundung anak kecil itu menuju keputusasaan.
Kelak anak itu menjelma jadi manusia ajaib. Pada usia delapan, ia dapat memperhitungkan jumlah makanan yang dibutuhkan domba dan babi untuk musim yang akan datang. Umur Sembilan, otaknya jadi kalkulator alami untuk menghitung berapa hektar lahan gandum dan kentang mereka.
Usia sepuluh, Isaac memutuskan bahwa berkebun merupakan hal tolol, ia memberi perhatian lebih besar untuk memperhitungkan kecepatan cahaya matahari sepanjang musim. Pamannya tidak peduli dengan kecepatan cahaya matahari karena tidak menghasilkan makanan—yang pada akhirnya tidak seperti dugaan pamannya—maka, sekali lagi, ia menghantam Isaac.
Sekolah tidak membuat segalanya lebih baik. Isaac adalah anak yang pucat dan kurus dan linglung. Ia kehilangan kemampuan sosial. Ia lebih tertarik pada aktivitas yang ke-kutu-buku-an seperti alat penunjuk waktu dengan bayangan sinar matahari, pesawat Cartesian, dan pertanyaan soal kapankah bulan menjadi bundar sempurna. Ketika anak-anak lain bermain kriket atau main kejar-kejaran di antara pepohonan, Isaac hanya menatap aliran sungai di desa selama berjam-jam, memikirkan bagaimana bola mata manusia punya kapasitas untuk menatap cahaya.
Kehidupan awal Isaac newton merupakan perjalanan dari satu tinju ke tinju berbeda. Dan pada setiap pukulan, Otak Perasaan Isaac belajar untuk merasakan kebenaran abadi: terdapat sesuatu yang secara inheren salah dengan dirinya sendiri. Kenapa ia dicampakkan orangtua? Kenapa kawan sebayanya mengejek dia? Apa penjelasan bagi kesepian menyiksa seperti itu? Ketika Otak Berpikir Isaac mendiami kepalanya dengan berjibun grafik dan peta dari gerhana bulan, Otak Perasaannya diam-diam menginternalisasi pengetahuan bahwa terdapat sesuatu yang secara fundamental patah di dalam dirinya.
Suatu hari, ia menulis sesuatu di buku catatan sekolah, “Aku anak kecil yang lemah dan pucat. Tidak ada ruang untuk aku. Tidak di dalam rumah maupun tidak di dasar neraka. Apa yang dapat aku lakukan? Apa hal terbaik yang bisa aku buat? Tidak ada kecuali menangis.”
Sampai titik ini, semua yang kau baca tentang Newton benar adanya. Tapi mari untuk sementara kita anggap terdapat dunia paralel. Dan dalam dunia paralel tersebut terdapat Isaac Newton yang lain. Ia tetap datang dari keluarga yang runtuh dan menjengkelkan. Ia tetap penuh keajaiban dalam mengukur dan mengalkulasi segala sesuatu.
Tapi pengukuran dan kalkulasi itu ditujukan untuk realitas eksternal, alam semesta. Dalam dunia paralel, Newton memutuskan untuk mengukur dan mengalkulasi realitas internal, dunia psikologis, dunia dari pikiran dan hati manusia.
Ini bukanlah lompatan besar imajinasi, sebagaimana korban kekejaman menjadi pengamat paling tekun dari sifat manusia. Untuk saya dan Anda, menonton orang berlalu lalang mungkin menjadi hal menyenangkan pada hari Minggu yang acak di sebuah taman. Tapi untuk mereka yang dijahati, itu merupakan keahlian bertahan hidup. Bagi mereka, kekerasan dapat meletus kapan saja, kemudian, mereka mengembangkan naluri Spiderman untuk melindungi diri dari marabahaya. Irama dalam suara seseorang, naiknya alis, tatapan yang dalam—segala hal yang dapat menjadi alarm internal mereka.
Maka, bayangkanlah dalam dunia parallel Newton, terdapat “Newton Emo”, terobsesi kepada orang-orang di sekitarnya. Ia tetap menulis di buku catatan, mengategorisasi kebiasaan dari teman-teman dan keluarganya. Ia menulis terlalu cepat sehingga huruf-huruf tampak seperti cakar ayam, terlalu tekun mendokumentasikan setiap tindakan, setiap kata. Ia mengisi ribuan halaman dengan observasi tidak berarti dari hal-hal yang tidak disadari oleh orang-orang. Newton Emo berharap catatan itu bisa digunakan untuk memprediksi dan mengendalikan dunia fisik, bentuk dan konfigurasi dari matahari dan bulan dan bintang, kemudian dapat memprediksi dan mengendalikan dunia emosi internal dari manusia.
Sepanjang observasinya, Newton versi Emo menyadari sesuatu yang menyakitkan yang kita semua tahu, tapi hanya segelintir yang mau mengakuinya: kita semua adalah pembohong. Kita seringkali berbohong sampai menjadi kebiasaan. Kita berbohong soal hal-hal penting dan hal-hal tak penting. Dan kita umumnya tidak berbohong soal kebencian—bahkan, kita bohong kepada orang lain karena kita punya kebiasaan berbohong kepada diri sendiri.
Isaac mencatat bahwa cahaya dapat melengkung di relung hati manusia meskipun mereka tidak dapat melihatnya; orang itu berkata bahwa ia mencintai mereka yang tampaknya dibenci; meyakini sesuatu meskipun melakukan hal yang berlainan; membayangkan diri mereka berbudi luhur sementara melaksanakan tindakan yang tidak jujur dan kejam. Tentu saja, di dalam pikiran mereka, mereka percaya bahwa tindakan itu benar dan harus benar.
Isaac memutuskan tidak ada yang dapat dipercaya. Tidak akan pernah ada. Ia menghitung luka demi luka tumbuh di antara dirinya dan dunia. Kemudian, ia melindungi dirinya sendiri, tidak menetap di orbit siapapun, berotasi keluar menjauhi gravitasi dari hati manusia. Ia tidak punya teman. Ia menyimpulkan bahwa dunia begitu suram, tempat yang pahit, yang menyedihkan. Satu-satunya yang bisa ia bisa lakukan adalah mendokumentasikan dan menghitung kesedihan itu.
Untuk semua kemasaman itu, Isaac tidak pernah kehilangan ambisi. Ia ingin tahu arah gerakan hati manusia, kecepatan dari rasa sakit mereka. Ia berharap tahu kekuatan dari nilai yang ia anut. Dan yang terpenting, ia ingin memahami hubungan antara elemen-elemen itu.
Ia memutuskan untuk menulis Tiga Hukum Emosi Newton.







HUKUM EMOSI NEWTON PERTAMA
Untuk Setiap Tindakan, Terdapat Reaksi Emosional Setara dan Berlawanan


Bayangkan saya meninju Anda tepat di muka. Tanpa alasan. Tanpa pembenaran. Murni kekerasan.
Reaksi spontan Anda mungkin adalah membalas dendam dengan cara tertentu. Mungkin secara fisikal: Anda meninju balik. Mungkin verbal: memaki-maki saya. Atau mungkin balas dendam Anda lebih sosial: memanggil polisi atau otoritas lain dan menghukum saya karena berbuat jahat.
Apapun reaksi Anda, Anda akan merasa didesak oleh lampias emosi negatif kepada saya. Setelah itu, gagasan bahwa saya menyebabkan Anda terluka tanpa alasan jelas, dan bahwa Anda tidak layak menerimanya, menyalakan perasaan ketidakadilan di antara kita. Sejenis jurang moral menganga antara kita: perasaan bahwa satu dari kita secara inheren hebat, dan lain adalah secuil kotoran yang inferior.
Rasa sakit menyebabkan jurang moral. Dan bukan hanya antara orang-orang. Jika anjing menggigit Anda, insting Anda akan berkata untuk menghukum anjing tersebut. Jika jari kaki Anda terjedot di meja, apa yang akan Anda lakukan? Mungkin menjerit sembari memaki meja itu. Bila rumah Anda terendam banjir, Anda akan tenggelam dalam dukacita dan akan menggerami Tuhan, alam semesta, dan kehidupan beserta seisinya.
Inilah jurang moral. Perasaan bahwa sesuatu yang keliru terjadi dalam hidup Anda (atau orang lain) layak untuk dipulihkan lagi. Perasaan superioritas atau inferioritas selalu muncul di celah-celah rasa sakit.
Ketika berkonfrontasi dengan jurang moral, kita membangun emosi menggebu untuk sebuah kesetaraan. Hasrat untuk menyetarakan. Karena saya meninju Anda, Anda merasa saya layak ditinju balik atau dihukum dengan cara tertentu. Perasaan ini menyebabkan Anda memiliki emosi kuat kepada saya (seringkali kemarahan). Anda akan memiliki emosi kuat karena Anda tidak layak kena bogem mentah, karena Anda tidak berbuat salah, dan Anda layak memperoleh perlakuan baik dari saya dan setiap orang di sekeliling Anda. Perasaan ini mungkin mengambil bentuk kesedihan, mencintai diri sendiri, atau kebingungan.
Semua perasaan “kepantasan” atas sesuatu merupakan pertimbangan nilai yang kita buat di hadapan jurang moral. Kita memutuskan bahwa sesuatu lebih baik ketimbang sesuatu yang lain; bahwa seseorang lebih berbudi ketimbang orang lain; bahwa satu persitiwa menjadi sangat tidak diinginkan ketimbang peristiwa lain. Jurang moral adalah rahim di mana nilai kita lahir.
Kini, bayangkan saya meminta maaf karena meninju Anda. Saya berkata, “Hei, pembaca, tadi memang tidak adil dan, wow, saya kelewat batas. Itu tidak akan, tidak akan pernah lagi terjadi. Dan sebagai simbol dari rasa bersalah—ini, saya membuatkan Anda kue. Oh, dan ini sekoper uang. Nikmatilah.”
Mari bayangkan bahwa hal tersebut memuaskan Anda. Anda menerima permohonan maaf dan kue dan sekoper uang dengan perasaan bahwa semua akhirnya baik-baik saja. Kita kini telah mengalami “kesetaraan”. Jurang moral antara kita telah terkubur. Saya memperbaiki keadaan. Anda mungkin akan berkata bahwa tidak ada di antara kita yang lebih baik dari yang lain, tidak ada dari kita yang layak menerima perlakuan buruk dari orang lain lagi. Kita mengoperasikan pesawat moral yang sama.
Menyetarakan hal-hal demikian seperti merestorasi harapan. Artinya tidak terdapat sesuatu yang salah dengan Anda atau tidak ada yang salah dengan dunia. Bahwa Anda dapat pergi menjalani hari dengan ilusi kendali diri, bersama sekoper uang, dan kue yang enaknya bukan main.


Bayangkanlah skenario lain. Kali ini, setelah meninju muka Anda, saya lalu membelikan Anda rumah.
Ya, pembaca, saya baru saja membelikan Anda rumah, sialan.
Ini akan membuka jurang moral lain antara kita. Tapi ada perasaan menggebu untuk menyetarakan rasa sakit yang saya sebabkan kepada Anda. Anda mungkin memeluk saya, berkata “terima kasih” seribu kali, memberi saya hadiah sebagai kembalian, atau berjanji untuk merawat kucing saya untuk selamanya.
Atau, Anda menggunakan cara sopan, Anda mungkin berusaha menolak tawaran saya karena Anda tahu rumah sialan itu hanya akan membuka jurang moral yang tak akan pernah teratasi. Anda mungkin berkata seperti ini, “Terima kasih, tapi jelas-jelas tidak akan saya terima. Saya tidak punya cara membalas hadiah Anda.”
Dengan jurang moral positif Anda akan merasa berutang kepada saya, bahwa saya layak atas sesuatu. Anda mungkin memiliki rasa syukur dan apresiasi atas kehadiran saya. Anda mungkin akan berlinangan air mata kedamaian. (Ew, pembaca!)
Inilah kecenderungan psikologis kita, untuk menyetarakan jurang moral, untuk bertindak secara resiprokal: positif untuk positif; negatif untuk negatif. Kekuatan yang mendesak kita untuk mengisi ketegangan di dalam emosi kita. Dalam arti ini, setiap tindakan menuntut reaksi emosional yang setara dan berlawanan. Inilah Hukum Emosi Newton yang Pertama.
Hukum Newton Pertama merupakan algoritma bagi Otak Perasaan menginterpretasi dunia. Bila sebuah film membuat Anda bosan, atau bahkan marah, mungkin Anda akan mencoba menyetarakan hal itu dengan menuntut uang Anda dipulangkan. Jika ibu Anda lupa ulang tahun Anda, mungkin Anda menyetarakan itu dengan mendiamkan dia selama enam bulan ke depan. Atau, bila Anda sudah dewasa, Anda akan menyatakan kekecewaan Anda kepadanya. Bila tim olahraga favorit Anda kalah telak, Anda mungkin tidak akan lagi menyemangati mereka. Bila Anda menyadari bahwa Anda punya bakat menggambar, kekaguman dan kepuasan yang Anda terima dari kemampuan itu akan menginspirasi Anda untuk menginvestasikan lebih banyak waktu, energi, dan emosi ke bidang tersebut. Bila pemilihan umum di negara Anda tidak mengakomodir calon yang Anda sukai, Anda akan merasa tidak terkoneksi dengan negara dan pemerintah dan bahkan dengan warga negara lain.
Upaya menyetarakan senantiasa hadir dalam setiap pengalaman karena dorongan untuk menyetarakan adalah emosi itu sendiri. Kesedihan adalah perasaan dari ketidakberdayaan atas kehilangan. Kemarahan adalah hasrat menyetarakan lewat paksaan dan agresi. Kebahagiaan adalah perasaan membebaskan diri dari kesakitan, sementara rasa bersalah adalah perasaan bahwa Anda layak menerima kesakitan yang tak pernah tiba.
Hasrat menyetarakan telah menggaris-bawahi perasaan keadilan kita. Terkodifikasi sepanjang zaman di dalam aturan dan hukum, sebagaimana raja Babilonia klasik, Hammurabi, “mata untuk mata, gigi untuk gigi”, atau Aturan Emas dalam tradisi biblikal, “Lakukan sesuatu kepada orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan demikian.” Dalam biologi evolusioner, dikenal dengan nama “altruisme timbal balik”, dan dalam teori permainan, disebut strategi “gayung bersambut”.
Hukum Pertama Newton menghidupkan citarasa moral. Menjadi landasan dari persepsi kita atas keadilan. Sebagai pondasi dasar dari setiap budaya manusia. Dan …
Inilah sistem operasi dari Otak Perasaan.
Ketika Otak Berpikir menciptakan pengetahuan faktual di sekitar observasi dan logika, Otak Perasaan menciptakan nilai dari pengalaman atas rasa sakit. Pengalaman yang menyebabkan rasa sakit kepada kita menciptkan jurang moral di dalam pikiran kita, dan Otak Perasaan menganggap itu pengalaman inferior yang tak dikehendaki. Pengalaman yang meringankan kesakitan menyebabkan jurang moral dengan cara berlawanan, dan Otak Perasaan menganggap itu pengalaman yang superior dan dikehendaki.
Sebab Otak Berpikir membuat cabang-cabang koneksi antara setiap peristiwa (kesamaan, kontras, sebab/akibat, dsb), sementara Otak Perasaan membuat hubungan hierarkis (baik/buruk, dikehendaki/tak dikehendaki, superioritas moral/inferioritas moral). Otak Berpikir berpikir secara horizontal (bagaimana hal-hal ini berhubungan?), sementara Otak Perasaan berpikir vertikal (mana yang lebih baik/buruk?).
Otak Perasaan menciptakan semacam hierarki nilai untuk suatu pengalaman tertentu. Ini seperti kita punya rak buku yang banyak di dalam alam bawah sadar di mana pegalaman terbaik dan paling penting dalam hidup kita (bersama keluarga, sahabat, burrito) berada di rak paling atas dan pengalaman tak dikehendaki (kematian, pajak, kesalahpahaman) bertempat di bawah. Otak Perasaan membuat keputusan berdasarkan rak-rak teratas.
Kedua otak punya akses menuju hierarki nilai. Ketika Otak Perasaan menentukan rak mana yang perlu diraih, Otak Berpikir menunjukan bagaimana pengalaman kita terkoneksi dan menyarankan hierarki nilai mana yang mesti diorganisir lagi. Inilah esensi dari “perkembangan”: reprioritas satu hierarki nilai dengan cara paling optimal.
Sebagai misal, saya pernah punya teman yang gila pesta. Ia rela keliaran sepanjang malam dan berangkat kerja dari pesta yang selesai pagi hari, tanpa tidur sama sekali. Hierarki nilainya mungkin seperti ini:

·         DJ yang asyik
·         Narkoba yang menendang
·         Pekerjaan
·         Tidur

Kita dapat memprediksi kebiasannya secara pasti dari hierarki yang ia anut. Ia lebih memilih kerja daripada tidur. Ia memilih pesta daripada pekerjaan. Dan semuanya selalu tentang musik.
Kemudian ia menjadi sukarelawan lalu pergi ke luar negeri, di mana anak-anak muda menghabiskan berbulan-bulan bekerja dengan anak yatim di negara dunia ketiga—itu mengubah segalanya. Pengalaman tersebut begitu emosional sampai dapat mengubah hierarki nilai yang ia anut. Kini hierarki itu tampak seperti ini:

·         Menyelamatkan anak-anak dari penderitaan
·         Pekerjaan
·         Tidur
·         Pesta

Tiba-tiba, seperti sihir, pesta tidak lagi semenyenangkan dahulu. Kenapa? Karena aktivitas itu mengganggu nilai teratasnya yang baru: membantu anak-anak yang menderita. Ia tidak lagi minum alkohol atau mengonsumsi narkoba. Ia tidur dengan cukup—sebab ia butuh ribuan energi untuk menyelamatkan dunia.
Teman-teman pestanya melihatnya dan merasa iba; mereka menilainya dengan nilai mereka, yang mana merupakan nilai lama mereka. Gadis pesta yang malang lalu pergi ke ranjang dan bangun pagi setiap hari. Gadis pesta yang malang tidak dapat melakukan aktivitas penuh adrenalin setiap akhir pekan.
Tapi terdapat hal lucu berkenaan dengan hierarki nilai: ketika hierarki itu berubah, kau tidak akan kehilangan apapun. Bukanlah sahabat saya yang memutuskan untuk melepaskan pesta demi karir, pestalah yang membuat ia tak lagi menyenangkan. Ini karena “menyenangkan” adalah produk dari hierarki nilai kita. Ketika kita berhenti memberi nilai pada sesuatu, hal itu kemudian tidak lagi menjadi menarik atau menyenangkan bagi kita. Kemudian, tidak ada perasaan kehilangan, tidak ada perasaan melewatkan sesuatu ketika kita berhenti melakukannya. Secara kontras, kita menatap ke belakang dan memikirkan bagaimana kita bisa melewatkan begitu banyak waktu untuk hal-hal kekanak-kanakan, remeh-temeh, kenapa kita menguras banyak energi untuk hal yang tidak penting itu. Kepedihan dari penyesalan atau rasa malu adalah baik; merupakan penanda akan perkembangan. Itulah produk dari pencapaian harapan kita.




HUKUM EMOSI NEWTON KEDUA
Harga Diri Kita Setara dengan Akumulasi Penggunaan Emosi dari Waktu ke Waktu


Mari kembali ke tinju tadi, kali ini, bayangkan saya memiliki kekuatan sihir yang dapat mencegat segala konsekuensi tindakan saya. Anda tidak dapat balik meninju saya. Anda bahkan tidak dapat mengatakan apapun ke siapapun soal ulah saya. Saya tak tersentuh—saya bajingan jahat yang berkuasa.
Hukum Emosi Newton yang Pertama mengutarakan bila seseorang (atau sesuatu) menimbulkan rasa sakit kepada kita, jurang moral terbuka dan Otak Perasaan akan memanggil emosi sentimental agar kita mau menyetarakan rasa sakit itu.
Tapi bagaimana jika penyetaraan itu tidak kunjung terjadi? Bagaimana jika seseorang (atau sesuatu) membuat kita sangat jengkel, sampai kita tidak mampu memperbaiki kejengkelan itu? Bagaimana jika kita merasa tak berdaya melakukan apapun? Bagaimana bila kekuatan saya ternyata terlalu kuat untuk Anda?
Ketika jurang moral berlangsung cukup lama, maka jurang itu akan dianggap seperti hal normal. Menjadi ekspektasi standar kita.  Jurang itu akan menyelisip ke dalam hierarki nilai kita. Jika seseorang memukul kita dan kita tidak pernah dapat memukul balik, Otak Perasaan bakal menyimpulkan begini: kita layak kena pukul.
Apabila penyetaraan tampak mustahil, Otak Perasaan akan menyerah, menerima kekalahan, menilai diri sendiri sebagai inferior rendahan. Ketika seseorang menyakiti kita, reaksi pada umumnya adalah “Dia keparat, dan saya orang baik”. Tapi jika kita tidak bisa menyetarakan situasi, Otak Perasaan akan percaya bahwa hanya ada satu penjelasan alternatif: “Aku adalah sampah, dan dia hebat”.
Dan inilah Hukum Emosi Newton Kedua: Penilaian kita atas segala sesuatu dalam hidup tergantung pada akumulasi penggunaan emosi dari waktu ke waktu.
Kepasrahan menerima diri sendiri sebagai inferior merujuk kepada harga diri rendah. Sebutlah dengan cara yang paling kau sukai, hasilnya sama: Hidup menendang bokongmu, dan kau merasa tak berdaya menghentikan kejahilan itu. Kemudian, Otak Perasaan menyimpulkan Anda layak menerimanya.
Bila kita menerima hadiah dari kompetisi (piala partisipasi dan medali emas untuk juara sembilan), kita akan percaya bahwa diri kita superior karena berhasil dalam satu hal. Kita kemudian mengembangkan versi dari harga diri yang tinggi, atau, kita menjadi seorang yang memuakkan.
Harga diri begitu kontekstual. Bila Anda dirisak karena menggunakan kaca mata Yunani dan seimut anak bayi, Otak Perasaan Anda akan “menganggap” Anda seorang kutu buku aneh, meskipun Anda nanti tumbuh menjadi  cowok seksi. Orang-orang yang dibesarkan dalam lingkungan relijius yang dihukum dengan keras atas setiap dorongan seksual, akan membuat Otak Perasaan mereka “menganggap” seks sebagai dosa jahanam, meskipun Otak Berpikir sering berkata bahwa seks tetap saja kegiatan alami dan sungguh menyenangkan.
Tinggi dan rendah harga diri muncul sebagai dua sisi mata koin. Entah kau merasa sebagai orang baik di tengah-tengah dunia yang jahat, hal yang pasti benar adalah: kau membayangkan dirimu sendiri sebagai seseorang yang istimewa, sesuatu yang terpisah dari dunia.
Seseorang percaya bahwa ia layak menerima perlakuan istimewa karena keulungan tertentu, tidak berbeda dengan seseorang yang percaya dirinya istimewa karena hidupnya menyedihkan. Kedua jenis orang itu sangat narsistik. Keduanya mengira diri spesial. Keduanya mengira dunia harus membuat pengecualian dan melayani nilai mereka dan perasaan mereka di atas orang lain.
Narsisme akan terombang ambing antara perasaan superioritas dan inferioritas. Meski semua orang menyukai mereka atau membenci mereka. Semuanya luar biasa, atau semuanya amburadul, entah itu peristiwa terbaik dalam hidup atau trauma masa lalu. Bagi seorang narsis, tidak terdapat jalan tengah di antara itu, karena realitas sudah tak terbaca sehingga ia melihat dirinya sendiri makhluk paling istimewa. Seringkali, orang narsis berkeliling di sekitar kita. Mereka membuat segalanya hanya tentang mereka dan menuntut orang-orang di sekitar mereka melakukan hal yang sama.
Anda akan melihat tinggi/rendah harga diri bila Anda tetap membuka mata lebar-lebar: pembunuh massal, diktator, anak nakal, tante Anda yang menjengkelkan yang merusak Natal setiap tahun. Hitler mengajarkan bahwa dunia memperlakukan Jerman dengan tidak baik setelah Perang Dunia I hanya karena khawatir akan superioritas Jerman.
Anda dapat menemukan hal itu, bila Anda cukup jujur dengan diri sendiri. Semakin Anda gelisah atas sesuatu, semakin Anda terhuyung mundur dan maju di antara perasaan delusional akan superioritas (“Akulah terjago!”) dan perasaan delusional akan inferioritas (“Akulah sampah!”).
Harga diri adalah ilusi. Tak lebih dari konstruksi psikologis yang dibangun Otak Perasaan untuk memprediksi apakah sesuatu akan membantu atau menyakiti kita. Kita harus memahami perasaan kita demi memahami dunia, dan tanpa memahami perasaan itu, mustahil menemukan jejak harapan.
Kita semua dirasuki oleh narsisme. Ini hal yang tak terbantahkan, sebagaimana segalanya yang kita pernah ketahui atau alami telah terjadi atau dipelajari oleh kita. Ini hal yang alamiah, kemudian, kita berasumsi bahwa kitalah pusat dari segala sesuatu.
Kita terlalu muluk menilai kemampuan sendiri dan meremehkan kemampuan orang lain. Mayoritas orang percaya bahwa mereka punya kecerdasan intelektual di atas rata-rata. Kita kerap menipu diri kita sendiri untuk percaya apa yang baik bagi kita dan apa yang baik bagi orang lain. Ketika kita membuat masalah, kita cenderung berasumsi bahwa itu merupakan kecelakaan yang menyenangkan. Tapi tatkala orang lain membuat masalah, kita langsung menghakimi karakter orang tersebut.
Narsisme dengan kadar rendah adalah lumrah, tapi seperti akar dari semua hal yang berhubungan dengan masalah sosiopolitik kita. Ini bukan hanya masalah sayap-kanan dan sayap-kiri. Ini bukan hanya masalah generasi tua atau generasi muda. Ini bukan masalah peradaban Timur atau peradaban Barat.
Ini masalah manusia. Selamat datang di Bumi. Nikmati tempat Anda.
Otak Perasaan kita mengaburkan realitas dengan cara mempercayai bahwa masalah dan rasa sakit kita adalah istimewa dan unik. Umat manusia mengembangkan narsisme mereka karena narsisme adalah garis terakhir pertahanan melawan Kebenaran Mencemaskan. Karenanya, mari realistis: Orang-orang begitu brengsek, dan hidup sangat sulit dan tak dapat ditebak. Mayoritas kita akan mengalir seperti air mengalir, dan semoga tidak tersesat cukup jauh. Dan bila kita tidak punya keyakinan palsu dalam superioritas (atau inferioritas), keyakinan bahwa kita luar biasa dalam sesuatu, kita akan dengan cepat terjun dari jurang terdekat. Tanpa sedikit delusi yang narsistik itu, tanpa kebohongan terus-menerus yang kita katakan pada diri sendiri soal keunikan tadi, kita seperti melepaskan harapan.
Tapi narsisme internal datang dengan harga tertentu. Entah kau percaya bahwa itulah yang terbaik bagi dunia atau terburuk bagi dunia, satu yang pasti: kau terpisah dari dunia.
Dan keterpisahan itu merupakan penderitaan tak berarti yang terjadi terus menerus.




HUKUM EMOSI NEWTON KETIGA
Identitas Anda Akan Tetap Menjadi Identitas Anda Sampai Pengalaman Baru Menentangnya

Ada kisah yang sedu-sedan. Seorang pria menyelingkuhi pacarnya. Gadis malang itu patah hati. Kecewa. Pria meninggalkan perempuan, dan rasa sakit tetap menyambalewa selama bertahun-tahun. Perempuan merasa dirinya tidak berguna. Dan agar Otak Perasaan dapat merawat harapan, Otak Berpikir harus mengambil satu dari dua opsi. Ia dapat percaya bahwa (a) semua pria adalah buaya atau (b) dia sendiri adalah sampah.
Sialan. Dua itu bukan pilihan bagus.
Tapi ia mengambil opsi (a), “semua laki-laki buaya”. Pilihan itu tidak dibuat secara sadar, pikir Anda. Pilihan itu terjadi begitu saja.
Meloncat beberapa tahun kemudian. Perempuan itu bertemu pria lain. Pria ini bukanlah buaya. Faktanya, pria ini merupakan kebalikan sempurna dari “laki-laki buaya”. Pria ini teramat sangat manis. Dan peduli. Benar-benar peduli.
Tapi perempuan itu terjebak oleh teka-teki di dalam kepalanya. Bagaimana bisa pria seperti ini nyata? Setelah semua trauma, ia tahu bahwa semua laki-laki buaya. Itu benar. Itu pasti benar; ia punya bekas luka emosional untuk membuktikannya.
Sayangnya, kenyataan bahwa pria tersebut bukanlah buaya begitu menyakitkan bagi Otak Perasaan perempuan, maka ia meyakinkan bahwa dirinya sendiri adalah sampah. Ia mengoceh terus menerus soal kekurangannya. Ia memperhatikan setiap kata-kata yang menyimpang, setiap gestur yang tidak pada tempatnya, setiap sentuhan canggung. Sampai sesuatu dalam kepala menyala terang benderang, lampu itu berteriak, “Larilah! Selamatkan dirimu sendiri!”
Ia melakukannya. Ia melarikan diri. Dan ia lari dengan cara yang paling kurang ajar. Ia meninggalkan pria tersebut untuk laki-laki lain. Setelahnya, setiap pria adalah buaya. Maka, apa artinya menukar satu ekor buaya dengan buaya lain? Tidak berarti apa-apa.
Pria itu patah hati. Pria kecewa. Dan rasa sakit menyambelawa selama bertahun-tahun. Dan rasa malu menempatkan pria itu ke dalam situasi. Karena kini Otak Berpikir miliknya harus membuat pilihan: entah (a) semua perempuan buaya atau (b) dia adalah sampah.


 Nilai bukan hanya koleksi perasaan. Nilai adalah cerita.
Ketika Otak Perasaan merasakan sesuatu, Otak Berpikir lalu mengonstruksi narasi untuk menjelaskan sesuatu itu. Kehilangan pekerjaan bukan hanya menyebalkan; Anda mengonstruksi keseluruhan narasi di sekitarnya: Bos keparat Anda tidak mengacuhkan Anda setelah loyalitas bertahun-tahun! Anda memberikan leher dan segalanya untuk perusahaan! Dan apa yang Anda terima sebagai timbal balik?
Narasi begitu lembab, melekati identitas kita seperti pakaian, pakaian yang basah. Kita membawanya bersama kita dan kita mendefinisikan diri kita lewat pakaian itu. Kita bertukar narasi dengan orang lain, melihat apakah narasi orang lain sama dengan milik kita. Kita menyebut orang-orang ini sebagai kerabat, sekutu, orang-orang baik. Dan mereka yang membawa narasi yang bertentangan dengan kita? Kita menyebutnya jahat.
Narasi tentang diri sendiri dan dunia pada dasarnya adalah tentang (a) nilai dari sesuatu atau seseorang dan (b) entah sesuatu/seseorang layak atau tidak dengan nilai tersebut. Semua narasi dikontruksi dengan cara seperti ini:

Hal-hal buruk terjadi ke seseorang, dan dia merasa tidak layak menerimanya.
Hal-hal baik terjadi ke seseorang, dan dia merasa tidak layak menerimanya.
Hal-hal baik terjadi ke seseorang, dan dia merasa layak menerimanya.
Hal-hal buruk terjadi kepada seseorang dan dia merasa layak menerimanya.

Narasi yang kita ciptakan untuk diri kita sendiri berputar di sekitar apa yang penting dan apa yang tidak penting, apa yang layak dan apa yang tidak—cerita tersebut melekat bersama kita dan mendefinisikan kita, menentukan bagaimana kita bersikap di hadapan dunia dan orang lain. Menentukan bagaimana merespon perasaan—entah kita layak atas hidup yang baik atau tidak, entah kita layak dicintai atau tidak, entah kita layak sukses atau tidak—dan itu mendefinisikan apa yang kita tahu dan pahami tentang diri sendiri.
Jaringan dari narasi berbasiskan nilai inilah identitas kita. Ketika Anda berpikir untuk Anda sendiri, saya sangat yakin, bahwa di sana terdapat narasi yang Anda konstruksi untuk mendefinisikan diri Anda dan untuk mengetahui diri Anda. Itulah yang Anda perkenalkan kepada orang lain dan Anda tempel di dinding Facebook. Anda adalah kapten kapal, dan Anda bekerja dengan baik, dan kemudian Anda layak menerima hal-hal baik.
Tapi terdapat hal lucu: tatkala Anda mengadopsi narasi kecil ini sebagai identitas Anda, Anda melindungi narasi tersebut dan bereaksi secara emosional kepada mereka yang bukan merupakan bagian dari narasi itu. Misalnya, seseorang datang dan mengatakan bahwa Anda merupakan kapten kapal yang payah, akan memproduksi reaksi emosional negatif yang condong ke kekerasan. Itu terjadi karena kita ingin melindungi tubuh metafisik seteguh ktia melindungi tubuh fisik.
Bola salju identitas Anda menggelinding sepanjang hidup, mengakumulasi lebih banyak nilai dan makna selama berguling-guling. Anda teramat akrab dengan ibu yang membesarkan Anda, dan hubungan itu membawa harapan, maka Anda mengonstruksi cerita dalam pikiran yang datang sebagai bagian yang mendefinisikan Anda, sebagaimana rambut Anda yang keperak-perakan atau mata cokelat Anda atau kuku jari kaki Anda mendefinisikan siapa Anda. Ibu Anda merupakan bagian besar dari kehidupan. Ibu Anda adalah perempuan menakjubkan. Anda berutang apapun kepada ibu… dan hal-hal memuakkan lain yang disampaikan dalam Academy Award. Anda kemudian melindungi sepotong identitas itu selayakanya itu bagian dari diri Anda yang asli. Seseorang lantas datang dan berbicara kotor tentang ibu Anda, dan Anda kehilangan kendali atas pikiran lalu mulai mematahkan tulang seseorang.
Kemudian pengalaman itu membuat narasi baru dan nilai baru di dalam kepala Anda. Anda memilih, untuk dibakar marah … wabil khusus berkenaan dengan ibu. Dan kini hal tersebut menjadi bagian inheren dari diri Anda.
Dan semuanya berlalu.
Semakin lama kita menggenggam sebuah gugus nilai, semakin jauh bola salju itu menggelinding dan semakin mendasari bagaimana kita menatap dunia. Seperti kepentingan untuk meminjam uang di bank, nilai kita dikandung oleh proses waktu, berkembang lebih kuat dan mewarnai pengalaman masa depan. Bukan hanya tentang rundungan sejak Anda berada di bangku sekolah. Risakan ditambah seluruh kebencian pada diri sendiri dan narsisme yang Anda bawa selama berpuluh tahun sangat penting untuk masa depan.
Para psikologi tidak tahu secara utuh, tapi satu hal yang mereka pastikan, bahwa trauma masa kanak-kanak akan mengacaukan masa dewasa kita. Ini disebut “efek bola salju”. Bahwa nilai awal yang terbentuk dari pengalaman masa kecil, entah yang buruk maupun bagus, memiliki efek jangka panjang terhadap identitas dan menghidupkan nilai fundamental yang akan banyak memengaruhi kehidupan kita, dan bila nilai inti Anda terganggu, maka akan tercipta efek domino yang memulur selama bertahun-tahun yang akan tiba, menginfeksi bak racun mematikan.
Ketika masih muda, kita punya identitas yang kerdil dan rapuh. Pengalaman kita masih hijau. Kita bersandar pada penjaga kita untuk segalanya, dan tak tertampik, mereka akan mengacaukannya. Pengabaian atau perlakuan tak menyenangkan dapat membuat reaksi emosional ekstrem, menghasilkan jurang moral lebar yang tak akan pernah dapat dipulihkan. Ayah pergi dari rumah, dan Otak Perasaan berusia tiga tahun memutuskan bahwa Anda tidak akan pernah dicintai. Ibu menyampakkan Anda demi suami kaya raya, dan Anda memilih bahwa intimitas tidak ada, tidak ada yang dapat dipercaya.
Tak heran Newton menjadi penyendiri yang sering mendongkol.
Dan hal terburuk adalah, semakin lama kita menggenggam narasi itu, semakin sedikit kita menyadarinya. Mereka menjadi latar belakang yang meributi pikiran kita, sebagai dekorasi interior dari alam pikiran.
Nilai yang kita petik terkristalisasi dan bentuknya seperti sedimen di atas kepribadian kita. Satu-satunya cara mengubah nilai adalah dengan mengalami sesuatu yang kontras dengan nilai yang kita anut. Dan usaha itu akan mempertemukan kita dengan rasa sakit dan ketidaknyamanan. Inilah kenapa tidak ada hal yang berubah tanpa kesakitan, tidak ada pertumbuhan tanpa ketidaknyamanan. Inilah kenapa mustahil menjadi manusia baru tanpa terlebih dahulu berduka cita dengan kehilangan.
Karena ketika kita kehilangan nilai, kita berduka dengan kematian dari narasi sebagaimana kita kehilangan bagian dari tubuh kita. Kita berduka dengan cara yang sama seperti kita berduka bila kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, rumah, komunitas, keyakinan spiritual, atau persahabatan. Semua ini mendefinisikan, bagian fundamental diri Anda. Dan ketika hal-hal tersebut terjadi, sekali lagi, Anda bakal ketemu dengan Kebenaran Mencemaskan.


Terdapat dua cara  mengganti nilai lama dengan yang lebih baik, nilai yang lebih sehat. Pertama adalah memeriksa kembali pengalaman dari masa lalu dan menulis kembali narasi di sekitarnya. Tunggu, apakah ia meninju saya karena saya orang yang mengerikan; atau dia orang yang mengerikan?
Memeriksa kembali narasi seperti ajakan bagi kita untuk memutuskan tindakan selanjutnya: Anda tahu, mungkin saya bukan kapten kapal yang cukup hebat, tapi itu tak masalah. Kemudian, seiring waktu, kita menyadari bahwa keyakinan yang kita anggap penting ternyata tidak sepenting itu. Di kala lain, kita memperpanjang cerita dengan penuh harga diri—oh, ia meninggalkan saya karena bajingan lain dan ia merasa malu karena ulah itu.
Cara lain mengubah nilai adalah dengan menulis narasi tentang diri Anda di masa depan. Dengan memvisualisasi masa depan yang ktia kehendaki, kita membiarkan  Otak Perasaan kita untuk mencoba nilai itu dalam ukuran tertentu. Akhirnya, sekali kita menyelesaikannya, Otak Perasaan membiasakan diri dengan nilai baru dan mulai bersedia mempercayainya.
Ini adalah sejenis “proyeksi masa depan”. Tapi proyeksi ini kerap diajarkan dengan cara yang terburuk, seperti: “Bayangkan Anda orang kaya keparat dan memiliki armada kapal pesiar! Kemudian imajinasi itu bakal menjadi nyata!”
Sayangnya, itulah jenis visualisasi dengan nilai yang tak sehat (materialisme). Seperti bermarturbasi dengan nilai Anda sendiri. Perubahan nyata akan memerlukan fantasi berkenaan bagaimana rasanya bila kita tidak menginginkan kapal pesiar.
Visualisasi yang bermanfaat memang tidak nyaman. Mestinya itu merupakan tantangan bagi Anda meski itu hal yang sukar diukur. Jika tidak, artinya tidak ada yang berubah.
Otak Perasaan tidak tahu perbedaan antara masa lalu, hari ini, dan masa depan; itu domain Otak Berpikir. Dan strategi yang Otak Berpikir gunakan adalah mendorong Otak Perasaan agar senantiasa bertanya “bagaimana jika”: Bagaimana jika Anda membenci kapal dan mengisi waktu dengan membantu anak-anak yang kurang beruntung? Bagaimana jika Anda tidak dapat membuktikan apapun kepada orang-orang dalam hidup Anda agar menyukai Anda? Bagaimana bila orang-orang tidak bersedia melakukan sesuatu bersama Anda?
Kala lain, Anda dapat berkata kepada Otak Perasan cerita yang mungkin tidak benar tapi rasanya benar. Jocko Willink, anggota Navy SEAL dan seorang penulis, menulis dalam bukunya Discipline Equals Freedom: Field Manual bahwa ia bangun setiap pukul empat pagi karena ia membayangkan musuhnya berada di suatu tempat di dekatnya. Ia tidak tahu di mana, tapi ia berasumsi bahwa musuh itu akan membunuhnya secepat mungkin. Willink membangun narasi ini untuk dirinya sendiri selama bertugas dalam Perang Irak, di mana terdapat musuh sungguhan yang mau membunuhnya. Tapi ia memelihara narasi itu sampai ia pulang ke rumah sebagai warga negara biasa.
Secara objektif, narasi Willink membuat dirinya sendiri menjadi tidak masuk akal. Musuh? Di mana? Tapi secara figuratif, secara emosional, narasi itu sangat kuat. Otak Perasaan Willink tetap menggunakannya, dan tetap membuat Willink terjaga setiap pagi sebelum beberapa dari kita selesai mabuk dari malam sebelumnya. Inilah ilusi dari kendali diri.
Tanpa narasi ini—tanpa membangun visi jelas atas masa depan yang kita hasrati, dari nilai yang ingin kita adopsi, dari identitas yang kita ingin pertahankan—kita selamanya terkutuk mengulangi kegagalan dari rasa sakit masa lalu. Cerita dari masa lalu mendefinisikan identitas. Cerita masa depan mendefinisikan harapan. Dan kemampuan untuk melangkah menuju narasi itu dan hidup berdampingan dengannya, untuk mewujudkannya dalam kenyataan, adalah sikap yang mengisi makna dalam perjalanan hidup.

Gravitasi Emosional

Newton versi Emo duduk sendiri dalam ruang tidur masa kecilnya. Di luar sudah gelap. Ia tidak tahu berapa lama ia terjaga, jam berapa saat itu, atau hari apa itu. Ia telah terasing bersama pekerjaannya selama seminggu. Makanan ditinggalkan keluarganya di depan pintu, membusuk.
Ia mengambil secarik kertas dan menggambar lingkaran besar di sana. Ia kemudian menandai titik di ambang lingkaran dan, dengan garis titik-titik, tinta itu mengarah ke tengah. Di bawahnya, ia menulis, “Inilah gravitasi emosional menuju nilai kita: kita ditarik menuju orbit kita yang bernilai sama dengan apa yang kita lakukan, kita secara instingtif menolak, sebagaimana gaya tolak magnet, terhadap nilai yang bertentangan dengan kita.”
Ia kemudian menggambar lingkaran lain, berdekatan dengan pertama. Dua tepi lingkaran bersentuhan dekat. Dari situ, ia menggambar garis penuh tensi antara tepi dari tiap lingkaran, tempat di mana gravitasi tertarik dalam dua arah, menggusur simetri sempurna dari tiap orbit. Ia kemudian menulis:
“Terdapat ruang luas di mana orang-orang bergabung bersama, membentuk suku dan komunitas berdasarkan sejarah emosi mereka. Kemudian, terdapat magnet emosional di antara kita. Nilai kita, saling tarik-menarik satu sama lain dan menyebabkan kita jatuh terus menerus ke orbit orang lain, dalam tarian metafisik persahabatan.
“Tapi! Apakah tuan melihat nilai dari Puritarianisme dan Anglikanisme itu? Mereka penduduk dari dua gravitasi yang berdekatan. Ini menyebabkan masing-masing saling menggusur orbit yang lain, menyebabkan ketegangan dalam hierarki nilai, tantangan bagi identitas yang lain, dan kemudian menyalakan emosi negatif yang akan mendorong mereka jatuh ke dasar paling gelap.
“Gravitasi emosional, saya bersaksi, merupakan organisasi fundamental dari semua konflik umat manusia.”
Pada saat ini, Isaac mengambil lembaran lain dan menggambar lingkaran dalam ukuran berbeda. “Semakin erat kita menggenggam nilai,” tulisnya, “semakin erat kita menentukan sesuatu sebagai superior atau inferior daripada yang lain, semakin kuat gravitasinya, kian ketat ia mengorbit, dan semakin sulit bagi kekuatan lain menggusur jalan dan tujuannya.
“Nilai kita kemudian menuntut afinitas atau antipati dari yang lain—semakin banyak orang yang membagi nilai, semakin banyak orang mulai membekukan dan mengorganisir dirinya sendiri menuju satu nilai tunggal, bagian koheren dalam nilai tersebut: ilmuwan dengan ilmuwan, pendeta dengan pendeta. Orang yang menyukai hal sama akan mencintai satu sama lain. Orang yang membenci hal sama akan mencintai satu sama lain. Dan orang-orang yang mencintai atau membenci hal berbeda akan membenci satu sama lain. Semua sistem manusia akhirnya mencapai equilibrium lewat sekat dan penyesuaian diri menuju konstalasi dari sistem nilai—orang-orang datang bersama, mengubah dan memodifikasi narasi personal mereka sampai narasi itu menjadi satu dan sama persis, dan identitas personal kemudian mewujud sebagai identitas kelompok.
“Kini Anda mungkin akan berkata, ‘Tapi, Newton yang budiman! Bukankah orang-orang menaruh nilai pada hal yang sama? Bukankah mayoritas orang menghendaki sedikit roti dan tempat aman untuk tidur di malam hari?’ Dan untuk melakukan itu, saya berkata bahwa Anda benar, sobat!
“Semua orang lebih banyak memiliki kemiripan ketimbang perbedaan. Kita semua menginginkan hal yang sama dalam hidup. Tapi perbedaan itu menghidupkan emosi, dan emosi menghidupkan perasaan atas pentingnya sesuatu. Dan inilah tragedi sesungguhnya manusia. Bahwa kita dikutuk untuk berkonflik terus menerus sepanjang segala perbedaan masih ada.
“Teori gravitasi emosional ini, dapat menjelaskan sejarah semua orang. Bagian berbeda dari dunia memiliki faktor geografis berbeda. Satu wilayah mungkin begitu keras tabiatnya dan dipertahankan dari para penyerbu. Inilah orang-orang yang kemudian mengisolasi diri. Ini akan menjadi identitas kelompok mereka. Wilayah lain mungkin punya stok makanan dan anggur yang jumlahnya berlimpah ruah, dan orang-orang di sana mungkin mempraktikkan nilai keramah-tamahan, pesta perayaan, dan kekeluargaan. Ini pun, akan menjadi identitas mereka. Wilayah lain barangkali menjadi geropyokan dan sulit untuk ditinggali, tapi dengan pemandangan terbuka lebar yang terkoneksi dengan tanah yang jauh, orang-orang akan memberi nilai kepada otoritas, kepemimpinan militer yang tangguh, dan dominasi mutlak. Itu merupakan identitas mereka.
“Dan sebagaimana individu melindungi identitas berdasarkan keyakinan, rasioanlisasi, dan bias, maka komunitas, suku, dan bangsa melindungi diri mereka dengan cara yang serupa. Budaya semacam ini yang pada akhirnya mengonsolidasikan diri mereka menuju bangsa, yang mana akan mengekspansi, membawa lebih dan lebih banyak orang menuju payung dari sistem nilai mereka. Akhirnya, bangsa ini akan meloncat melawan satu sama lain, dan nilai yang kontradiktif bakal berbentrokan.
“Banyak orang tidak berdiri di bawah nilai kultural dan kelompok. Kemudian, banyak orang yang berkeinginan untuk mati demi nilai terluhur—demi keluarga mereka, orang yang dikasihi, bangsa, Tuhan. Dan berdasarkan kehendak untuk mati demi nilai, bentrokan budaya kemudian tak terelakan, hanya menunggu waktu menuju peperangan.
“Perang adalah ujian bagi harapan. Negara atau orang yang mengadopsi nilai yang memaksimalisasi sumber dan harapan bagi orang-orang pasti bakal menang. Lebih banyak bangsa menaklukkan tetangganya, lebih banyak orang yang berhak mendominasi manusia lain, dan lebih banyak mereka berkehendak melihat bangsa sebagai cahaya penuntun sejati dari kemanusiaan. Supremasi atas kemenangan itu tercetak di dalam diri mereka, dan nilai itu ditulis dengan puji-pujian dalam sejarah, dan diujarkan kembali lewat epos, sebagai harapan dari generasi masa depan. Pada akhirnya, ketika nilai tersebut berjalan efektif, mereka kehilangan nilai yang lain, bangsa yang baru, dan sejarah tetap berlanjut, era baru tak dapat tertahankan.
“Saya bersaksi, ini merupakan bentuk dari kemajuan manusia.”


Newton menyelesaikan tulisannya. Ia menempatkan teori gravitasi emosional bersama dengan tiga hukum emosi Newton. Lalu ia mengambil jeda untuk beberapa lama, merefleksikan penemuannya.
Dan dalam kebisuan, saat-saat yang senyap gelap, Isaac Newton melihat lingkaran itu penuh kebingungan: ia tak punya orbit. Sepanjang tahun penuh trauma dan kegagalan sosial, ia sukarela memisahkan diri sendiri dari segalanya dan semua orang, seperti bintang kesepian mengambang bebas di jalur lintasannya, tanpa halangan dan tak terpengaruh oleh tarikan gravitasi dari sistem apapun.
Ia menyadari bahwa tidak ada apapun yang bernilai—bahkan tidak dirinya sendiri—dan membawa perasaan menggebu dari kesendirian dan kesedihan, karena tidak ada logika dan kalkulasi yang dapat menghitung kekecewaan, yang mengerogoti Otak Perasaan dalam pergulatan abadi mencari harapan di dunia ini.


Aku mau mengatakan padamu bahwa entah di dunia asli Newton, atau Newton Emo, selalu dia menjalani sisa-sisa hari sendirian, dengan galak, dan penuh siksaan.
Pertanyaan yang dijawab oleh dua Newton di musim panas tahun 1666, merupakan pertanyaan yang mengusik para filsuf dan ilmuwan dalam berbagai generasi. Hanya dalam beberapa bulan, seorang berusia tiga puluh tiga tahun menelanjangi misteri tersebut. Dan di sana, di barisan depan dari penemuan intelektual itu, ia melempar penemuannya ke sudut ruang pengap yang dilupakan.
Dan di sana, penemuannya masih akan berlanjut, tersembunyi dari terang dunia, mengumpulkan debu terakhir yang masih tersisa.