(*Diterjemahkan dari bab 2
buku “Everything is Fucked: A Book About Hope” karya Mark Manson.)
Semua dimulai dengan rasa
sakit di kepala.
“Elliot”
adalah pria sukses, seorang eksekutif di perusahaan ternama. Ia disukai bawahan
dan tetangganya. Karismatik dan humoris. Ia suami dan ayah dan sahabat setiap
liburan ke pantai.
Semuanya
baik-baik saja, kecuali sakit kepala yang ia derita sehari-hari. Dan sakit
kepala macam ini pasti tidak kau sukai, nyeri terakhir yang ingin kau alami di
dunia ini. Isi kepalanya seperti berderak-derak, seperti tabuh gong yang
berlara-lara di belakang bola matamu.
Elliot
mengambil obat, mengambil istirahat. Ia mencoba mengurangi stress dan
bersenang-senang dan pelesiran dan membersihkan hari-harinya. Tapi, sakit
kepala mengganggu itu berlanjut. Kenyataannya, semakin buruk. Semakin
menjadi-jadi sampai Elliot tak bisa tidur di malam hari dan tak bisa bekerja di
siang hari.
Akhirnya
ia memutuskan ke dokter. Dokter melakukan pekerjaannya selaku dokter dan
menjalankan tes dan memperoleh hasil sebagaimana dokter lain dan mengatakan
berita buruk pada Elliot: ia memiliki tumor otak, tepat di lobus frontal.
Bisakah kau lihat? Bisul cokelat berjendul di depan kepala. Hei sobat,
ukurannya besar sekali. Sebesar bola kasti, menurut taksiranku.
Operasi
lalu dilakukan untuk mengangkat tumor, lalu Elliot pulang ke rumah. Kembali
bekerja. Dia kembali kepada keluarga dan kawan-kawannya. Semuanya tampak
baik-baik saja.
Kemudian
hal-hal berubah menjadi tak terkendali.
Pekerjaan
Elliot amburadul. Tugas yang biasanya cepat diselesaikan kini menuntut segunung
konsentrasi dan usaha. Keputusan sederhana, seperti menggunakan bolpoin biru
atau bolpoin hitam, bakal mengonsumsi satu jam lamanya. Ia sering membuat
kekeliruan mendasar lalu meninggalkannya tanpa diselesaikan selama seminggu. Ia
seperti menjadwal lobang hitam, meninggalkan pertemuan dan tenggat sebagaimana
membuang benda-benda ke kehampaan ruang dan waktu.
Pada
mulanya, rekan kerjanya merasa tak enak lalu menyesaikan hal-hal yang ia
kacaukan. Rekannya terlalu banyak membantu Elliot, dan Elliot terlalu banyak
membuat sesuatu yang tak masuk akal. Kau melewatkan pertemuan dengan para
investor untuk membeli stapler baru, Elliot? Serius? Apa yang kau pikirkan?
Setelah
berbulan-bulan merusak pertemuan dan meninggalkan banyak sampah, kebenaran lalu
tak tertampik lagi: Elliot kehilangan sesuatu yang lain selain tumor selepas
operasi, dan sebagaimana yang koleganya mengerti, sesuatu itu adalah setumpuk
uang perusahaan. Maka, Elliot dipecat.
Sementara
itu, kehidupan di rumah tidak baik-baik saja. Bayangkan jika kau punya ayah
pemalas, yang terjebak dengan sedipan kentang, yang menonton berkali-kali
siaran ulang Family Feud, berhura-hura
dua puluh empat jam lamanya. Itulah kehidupan baru Elliot. Ia melewatkan
konferensi orangtua-guru hanya untuk fokus menontont film James Bond di TV. Ia
lupa bahwa harus bicara lebih dari sekali dengan istrinya selama sepekan.
Pertengkaran
menggejolak dalam pernikahan Elliot terus menerus. Pertengkaran itu hanya
membuat dua orang menjadi kacau balau. Dan ketika istrinya mengeluarkan napas
api, Elliot kesulitan mengikuti alur cerita. Daripada mengubah banyak hal,
untuk menunjukkan bahwa ia cinta dan peduli pada orang-orang sekitar, ia lebih
memilih untuk mengisolasi diri. Dengan anggapan bahwa dia akan tinggal di area
lain yang tak terjangkau planet bumi.
Akhirnya
istrinya tak dapat menanggung semua itu lagi. Elliot kehilangan sesuatu selain
tumornya. Dan sesuatu yang itu ia sebut sebagai perasaan. Istrinya meminta
bercerai dan mengajak sang anak. Dan Elliot kini sendirian.
Patah
hati dan kebingungan, Elliot mencari-cari cara memulai kembali karir. Ia
memulai usaha yang penuh spekulasi. Seorang seniman berandalan menipunya lalu
mengeruk banyak tabungan Elliot. Perempuan predator merayunya, meyakinkan
Elliot untuk kawin, kemudian menceraikannya setahun kemudian, membawa pergi setengah
aset Elliot. Ia menghambur-hamburkan uang di kota, pindah ke apartemen yang
lebih mahal, sampai beberapa tahun berlalu, ia menjadi gelandangan seutuhnya.
Saudara laki-lakinya memberi dukungan terus menerus. Kawan dekat dan keluarga
terperanjat, hanya setelah beberapa tahun yang singkat, seorang pria yang
mereka kagumi telah melempar kehidupan jauh-jauh. Tidak ada yang merasa
kejadian itu masuk akal. Tak dapat dipungkiri, sesuatu dalam diri Elliot
berubah banyak; melemahkan sakit kepala itu telah menyebabkan rasa sakit yang
lebih besar.
Pertanyaannya:
apakah yang berubah?
Saudara
Elliot membawa Elliot dari satu dokter ke dokter lain. “Ia bukan dirinya
sendiri,” kata saudaranya. “Ia punya masalah. Ia terlihat baik-baik saja, tapi
sebenarnya tidak. Aku berjanji.”
Dokter
kemudian melakukan pekerjaan dokter dan menerima hasil sebagaimana dokter lain,
dan sialnya, mereka berkata bahwa Elliot benar-benar normal—atau, setidaknya,
ia sesuai dengan definisi orang normal. Tes CAT menunjukan hasil yang baik. IQ Elliot
masih tinggi. Penalaran masih kuat. Ingatannya bagus. Ia dapat berdiskusi
berkenaan reaksi dan konsekuensi dari pilihannya yang buruk. Ia dapat membicarakan
masalahnya dengan humoris dan karismatik. Psikiatris bilang bahwa Elliot tak
depresi. Secara kontras, ia punya rasa percaya diri tinggi, tidak ada
tanda-tanda dari kecemasan kronis atau stress—ia memperlihatkan kekaleman
seperti penganut Zen.
Saudaranya
tak dapat menerima itu semua. Sesuatu pasti salah. Sesuatu pasti hilang dari
Elliot.
Akhirnya,
dalam keputusasaan, Elliot disarankan pergi ke neurosaintis terkenal bernama
Antonio Damasio.
Pada mulanya, Antonio
Damasio melakukan hal yang sama dengan dokter lain: memberi Elliot berjibun tes
kognitif. Memori, refleks, intelejensi, kepribadian, hubungan spasial,
penalaran moral—semuanya diuji. Elliot melewati rangkaian tes dengan baik.
Lalu
Damasio melakukan sesuatu yang tak dilakukan dokter lain: ia bicara dengan
Elliot—benar-benar bicara dengannya.
Ia ingin tahu apapun: setiap masalah, setiap kegagalan, setiap penyesalan.
Bagaimana ia kehilangan pekerjaan, keluarga, rumah, dan tabungan? Meminta
Elliot membawanya ke setiap keputusan, menjelaskan prosesnya (atau, dalam
konteks ini, alpanya proses pemikiran dalam pengambilan keputusan itu).
Elliot
tak bisa menjelaskan alasan dari keputusan itu dibuat. Tapi ia dapat menghitung
kembali fakta dan sekuens dari peristiwa dan ketidakstabilan dengan rangkaian
pengamatan yang tajam, tapi ketika diminta menganilisis pembuatan
keputusan—kenapa ia memilih membeli stepler baru yang lebih penting daripada
menghadiri pertemuan dengan seorang investor, kenapa James Bond lebih penting
daripada kegiatan anaknya?—ia tak dapat berkata-kata. Tak dapat menjawab. Tak
hanya itu, ia bahkan tak marah karena tak mendapat jawaban apapun dari sana.
Faktanya, ia tak peduli.
Orang
ini telah kehilangan apapun berdasarkan segala pilihan keliru dan kesalahan, tidak adanya kendali diri atau apapun
namanya, dan menjadi benar-benar sadar atas setiap bencana hidup yang bakal
terjadi, dan tak menunjukan satupun penyesalan, tak sedikitpun kebencian, tidak
ada rasa malu sekalipun. Banyak orang terdorong untuk bunuh diri bila berada di
posisi Elliot. Tapi tidak, Elliot tidak, tidak hanya nyaman dengan kemalangan
itu tapi juga tak menyadari perbedaan vital di dalamnya.
Inilah
momentum tatkala Damasio menyadari sesuatu yang cemerlang: tes psikologis
kepada Elliot dirancang untuk mengukur kemampuannya berpikir, tapi bukan uji yang dirancang untuk mengukur kemampuan merasa. Setiap dokter terlalu fokus
dengan kemampuan Elliot menalar tanpa satupun yang mempertimbangkan kemungkinan
bahwa kapabilitas Elliot untuk merasakan
emosi telah rusak. Kendatipun mereka menyadari itu, tetap saja tidak ada
standarisasi untuk mengukur kerusakan tersebut.
Suatu
hari, satu dari kolega Damasio mencetak rangkaian gambar yang aneh dan
mengganggu. Gambar itu dari korban kebakaran, pemandangan pembunuhan yang
mengerikan, kota yang dikoyak-koyak perang, dan anak kecil kurus kerontang
kelaparan. Ia menunjukan foto itu pada Elliot, satu per satu.
Elliot
benar-benar acuh tak acuh. Tak merasakan apapun. Faktanya ia tak peduli sama
sekali untuk mengomentari hal-hal tersebut. Ia mengaku akan terganggu dengan
foto itu bila ditunjukan pada dirinya di masa lalu, bahwa hatinya pasti akan
menjerit bersama empati dan horor, bahwa ia akan memalingkan muka karena jijik.
Tapi sekarang? Sebagaiamana ia duduk di sana dengan santai, menatap langsung
korupsi terkelam dari pengalaman manusia, Elliot tak merasakan apapun.
Damasio
menemukan masalahnya: sementara pengetahuan dan penaralan Elliot tetap utuh,
operasi mengangkat tumor itu telah melemahkan kemampuannya berempati dan
merasa. Dunia dalam dirinya sendiri tak lagi menyimpan cahaya dan kegelapan
tapi terisi miasma pucat tak bertepi. Mendatangi resital piano anak
perempuannya membangkitkan segenap semangat dan kedamaian seorang ayah yang
bangga setara dengan membeli sepasang
kaos kaki baru. Kehilangan jutaan dollar terasa sepersis aktivitas memompa gas,
membilas seperai, atau menonton Family
Feud. Ia menjadi mesin berjalan yang acuh tak acuh. Dan tanpa kemampuan
membuat penilaian moral, untuk mendeterminasi apa yang baik dari yang terburuk,
tak peduli sepintar apapun dia, Elliot telah kehilangan kontrol atas diri
sendiri.
Tapi muncul pertanyaan besar
di sini: jika kemampuan kognitif Elliot (intelektual, memori, observasi)
semuanya secara sempurna tetap tajam, kenapa ia tak dapat membuat keputusan efektif
lagi?
Apa
yang terjadi pada Elliot menampar Damasio dan koleganya. Kita berdoa sepanjang
waktu agar tak dapat merasakan emosi, karena emosi kita bakal mendorong untuk
melakukan hal-hal bodoh sialan yang hanya menunggu waktu untuk kita sesali.
Berabad-abad lamanya, psikolog dan filsuf mengasumsikan bahwa membasahi atau
menekan emosi kita adalah solusi bagi seluruh masalah kehidupan. Tapi, kita
juga lihat terdapat seorang pria yang terlepas dari emosi dan empati, seseorang
yang bukan siapa-siapa kecuali intelenjensi dan penalaran, dan hidupnya dengan
gegas mengalami degradasi menuju kesialan sempurna. Kasusnya adalah lawan dari
segenap kebijaksanaan umum tentang pengambilan keputusan rasional dan kendali
diri.
Tapi
terdapat hal kedua, pertanyaan yang sama membingungkan: Jika Elliot tetap
cerdas dan dapat memikirkan masalah yang menghadangnya, kenapa performa
kerjanya terjun bebas ke jurang? Kenapa produktifitasnya melenggang langsung ke
tempat sampah penuh api? Kenapa ia mencampakkan keluarganya kendati tahu
konsekuensi negatif yang menunggu di belakangnya? Meskipun kau peduli setan
dengan isteri atau pekerjaanmu lagi, kau mestinya dapat memberikan alasan yang
lebih penting untuk tetap mengurus mereka, bukan? Maksudku, terdapat seorang
sosiopat yang setidaknya dapat membayangkannya. Maka kenapa Elliot tidak bisa?
Yang benar saja. Entah bagaimana, dengan kehilangan kemampuan merasakan, Elliot
pun kehilangan kemampuan membuat keputusan. Ia kehilangan kemampuan
mengendalikan hidupnya sendiri.
Kita
semua memiliki pengalaman untuk mengetahui kapan kiranya bakal jatuh oleh
sesuatu. Kia meletakkan tugas penting, menghindari orang-orang yang kita
pedulikan, dan gagal untuk bertindak selaras dengan kepentingan diri. Kemudian
secara pasti kita jatuh pada hal-hal yang seharusnya, kita mengasumsikan hal
ini terjadi karena kita tidak memiliki cukup kendali atas emosi. Kita tidak
begitu displin atau kurang pengetahuan akan hal itu.
Kasus
Elliot mengajak kita semua menuju satu pertanyaan. Pertanyaan tentang gagasan
inti dari kendali diri, gagasan yang secara logis dapat memaksa diri kita
sendiri untuk melakukan hal-hal yang baik bagi diri kita sendiri.
Untuk
menggenerasi harapan dalam hidup, kita pertama-tama harus menganggap punya
kendali penuh atas hidup kita. Kita harus merasakan seperti kita mengikuti apa
yang kita tahu benar dan baik; kita harus memburu “sesuatu yang lebih baik.”
Telah banyak kita berjibaku dengan ketidakmampuan mengendalikan diri sendiri.
Kasus Elliot menjadi satu terobosan untuk memahami kenapa ini terjadi. Pria
malang ini, terisolasi dan kesepian; pria ini menatap bingkai foto yang retak
oleh gempa serta reruntuhan yang dengan mudah menjadi metafora hidupnya; pria
ini telah kehilangan segalanya secara mutlak, dan tetap dapat memecahkan senyum
ketika menceritakan kepahitan itu—pria ini dapat menjadi kunci untuk merevolusi
pemahaman kita akan pikiran manusia, bagaimana kita dapat membuat keputusan,
dan bagaimana kendali diri benar-benar bisa kita miliki.
Asumsi Klasik
Sekali waktu, ketika ditanya
tentang kebiasaan minumnya, musisi Tom Waits menggerutu, “aku lebih baik
memiliki sebotol minuman daripada lobotomi.” Ia benar-benar mantap ketika
mengatakan itu. Oh, dan dia sedang berada di layar TV nasional.
Lobotomi
adalah bentuk dari operasi otak yang mana kepala seseorang dilobangi sampai ke
kerangka kepala di antara hidung dan kemudian lobus frontal dengan lembut
dipotong dengan pisau kecil. Prosedur itu diciptakan pada 1935 oleh neurolog
bernama António Egas Moniz. Egas Moniz memahami bila kau mengambil orang-orang
dengan kecemasan ekstrem, depresi berkecenderungan bunuh diri, atau masalah
kesehatan mental lain (alias krisis harapan), kau harus membuntungkan otak
mereka dengan cara tepat, mereka akan menjadi sedingin es.
Egas
Moniz percaya bahwa lobotomi yang baik, dapat menyembuhkan semua penyakit
mental, dan ia memasarkannya kepada dunia. Pada akhir 1940, prosedur itu
dijalankan, digunakan kepada puluhan dari ribuan pasien di seantero penjuru
dunia. Egas Moniz kemudian memenangkan penghargaan Nobel atas penemuannya.
Tapi
pada 1950, orang-orang mulai mendapati bahwa—dan ini mungkin terdengar agak
gila—menggali lobang pada wajah seseorang dan mengikis otak mereka dapat
memproduksi banyak efek samping negatif. Dan dengan “banyak efek samping
negatif”, yang aku maksud adalah para pasien menjadi seperti kentang yang
tergolek tak berdaya. Ketika “menyembuhkan” pasien dengan derita emosional
ekstrem, prosedur itu meninggalkan ketidakmampuan untuk konstentrasi, membuat
keputsan, memiliki karir, membuat rencana jangka panjang, atau berpikir abstrak
tentang diri sendiri. Secara esensial, mereka menjadi zombie tak berpikiran.
Mereka menjadi Elliot.
Uni
Soviet merupakan negara pertama yang melarang lobotomi. Uni Soviet menyatakan
bahwa prosedur itu “bertentangan dengan prinsip kemanusiaan” dan mengklaim
bahwa lobotomi “mengubah makhluk waras menjadi idiot.” Ini adalah panggilan
untuk seluruh dunia, mari hadapi kenyataan ini, tatkala Joseph Stalin
menguliahi soal etika dan kesusilaan, kau tahu kau sedang dikerjai.
Setelah
itu, sisa dari dunia bangkit, lambat laun, untuk memboikot praktik itu, dan
pada 1960-an, banyak yang membencinya. Lobotomi terakhir dilakukan di Amerika
Serikat pada 1967, dan pasien itu meregang nyawa. Sepuluh tahun kemudian, Tom
Waits si pemabuk menggerutu di televisi, sisanya, sebagaimana kata orang-orang,
terbekas sebagai sejarah.
Tom Waits adalah alkoholik
berdarah panas yang melalui tahun 1970-an dengan menjaga matanya tetap terbuka
dan mengingat di mana terakhir kali ia meninggalkan rokoknya. Ia temukan waktu
untuk menulis dan merekam tujuh album musik di periode itu. Ia melahirkan
banyak karya bagus, memenangi penghargaan dan menjual jutaan rekaman yang
dirayakan di seluruh dunia. Ia salah seorang dari seniman langka berwawasan jauh
sampai ke palung kondisi kemanusiaan yang penuh kejutan.
Sindiran
Waits pada lobotomi membuat kita tertawa, tapi terdapat kebijaksanaan
tersembunyi di dalamnya: bahwa ia memilih penyelesaian masalah atas
kegemarannya lewat minuman daripada tidak punya kegemaran sama sekali; semua
itu lebih baik untuk menemukan harapan di tempat paling rendah daripada tidak
menemukan apa-apa sama sekali; bahwa tanpa impuls yang tak terkendali, kita
bukanlah apapun.
Di
sini selalu terdapat asumsi bisu bahwa emosi kita menyebabkan banyak masalah,
dan nalar kita harus menyambarnya dengan membersihkan masalah yang tertinggal.
Cara berpikir ini membawa kita kembali ke Sokrates, yang mengutarakan akar dari
segala kebajikan. Pada awal pencerahan, Descartes berargumentasi bahwa nalar
kita terpisah dari hasrat kebinatangan dan kita perlu belajar untuk mengontrol
hasrat itu. Kant mengatakan hal yang agak persis. Freud juga, kecuali tentang
penis. Dan ketika Egas Moniz menemukan pasien lobotomi pertama pada 1935, aku
sangat yakin ia mengira sedang mewujudkan harapan para filsuf sejak dua ribu
tahun lamanya: untuk menjamin kekuasaan atas tiap tindakan, untuk membantu
kemanusiaan agar dapat meraih tuas kendali atas diri sendiri.
Asumsi
ini (kita harus menggunakan pikiran rasional untuk mendominasi emosi) telah
mengaliri kita sepanjang abad dan berlanjut untuk mendefinisikan budaya kita
hari ini. Mari sebut itu “Asumsi
Klasik”. Asumsi
Klasik berkata, bila seseorang tidak disiplin, susah menurut, atau penuh
kedengkian, itu karena mereka kehilangan kemampuan menaklukkan perasaan, bahwa
mereka manusia berkehendak lemah. Asumsi Klasik melihat gairah dan emosi sebagaimana kecacatan,
kegagalan yang menyertai psikis manusia yang harus diperbaiki dari dalam diri.
Hari
ini, kita menilai orang berdasarkan Asumsi Klasik. Orang gemuk begitu konyol dan memalukan karena
obesitas mereka menampilkan kegagalan untuk kendali diri. Mereka tahu mereka
harus ramping, tapi mereka tetap saja makan. Kenapa? Ada sesuatu yang salah,
menurut asumsi kita. Perokok: punya masalah serupa. Pecandu obat-obatan
menerima perlakuan serupa, tentu saja, tapi dengan stigma ekstra sebagai
kriminal.
Kita
melihat godaan kepada dorangan emosional sebagai kejatuhan moral. Kita melihat
kealpaan dari kendali diri sebagai faal dari kekurangan karakter. Dengan kata
lain, kita menghormati orang-orang yang menolak tunduk pada emosi mereka. Kita
menjadi keras kepada para atlit dan pengusaha dan pemimpin yang kejam dan
dingin seperti robot dalam efisiensi mereka. Lihat tidak? Semua orang bisa
menjadi sukses!
Jelasnya,
tidak sulit untuk melihat Asumsi
Klasik menuntun kita menuju sesuatu yang merusak … asumsi. Jika Asumsi Klasik benar,
kemudian kita harus mampu mengendalikan diri, mencegah semburan emosional dan
gairah kejahatan, dan mengikat kecanduan berdasarkan upaya mental kita. Dan
setiap kegagalan melakukan hal-hal tersebut mencerminkan sesuatu yang salah dan
merusak secara inheren.
Inilah
kenapa kita membangun keyakinan palsu untuk mengubah siapa diri kita
sebenarnya. Karena jika kita tidak bisa mencapi tujuan, jika kita tidak bisa
kehilangan berat badan atau memperoleh promosi atau menguasai sebuah
keterampilan, hal-hal tersebut akan menyebabkan kelemahan karakter yang
signifikan. Setelah itu, demi memelihara harapan, kita memilih untuk mengubah
diri sendiri, menjadi seseorang yang benar-benar baru dan berbeda. Inilah
hasrat untuk mengubah diri sendiri daripada mengisi dada dengan asa. Kemudian
“aku yang lama” tidak dapat goyah oleh kebiasaan merokok yang buruk, tapi “aku
yang baru” bisa.
Hasrat
konstan untuk mengubah dirimu sendiri kemudian menjadi candu: setiap siklus
untuk “mengubah dirimu sendiri” menghasilkan kegagalan dalam kendali diri,
kemudian membuat kau merasa mesti “mengubah dirimu sendiri” berulang-ulang
kali. Setiap siklus mengisi kembali dirimu dengan harapan yang kau cari.
Sementara itu, Asumsi Klasik,
akar dari masalah, tidak pernah dipertanyakan.
Seperti
jerawat keparat, seluruh industri yang bertunas sepanjang abad ini dikelilingi
oleh gagasan “ubah dirimu sendiri”. Industri ini dipenuhi janji palsu dan
petunjuk menuju rahasia kebahagiaan, kesuksesan, dan kendali diri. Semua
industri ini memperkuat diri dengan impuls yag sama yang mendorong orang-orang
untuk merasa tidak setara di tempat pertama.
Kebenarannya,
pikiran manusia jauh lebih kompleks dari semua “rahasia”. Dan kau tidak bisa
dengan sederhana mengubah dirimu sendiri; tidak pula, menurutku, dapat mengubah
perasaan yang kau ingin ubah.
Kita
berpegang teguh pada narasi tentang kendali diri karena keyakinan itu merupakan
sumber utama harapan. Kita ingin percaya bahwa mengubah diri kita sendiri
sesederhana sebagaimana perubahan itu sendiri. Kita ingin percaya dengan
kemampuan melakukan sesuatu yang sederhana dan memilih untuk melakukan itu dan
mengerahkan kekuasaan kehendak untuk sampai di sana. Kita ingin percaya bahwa,
diri kita, adalah majikan dari nasib, berkapasitas untuk menjadi apapun yang
kita impikan.
Inilah
yang membuat pertemuan antara Damasio dan “Elliot” menjadi hal besar: pertemuan
yang menunjukan bahwa Asumsi
Klasik keliru besar. Jika Asumsi Klasik benar, jika kehidupan sesederhana mengontrol
emosi dan membuat keputusan berbasiskan nalar, kemudian Elliot harusnya adalah
bedebah yang tak terhentikan, orang yang penuh ketekunan, dan menjadi pembuat
keputusan yang bengis. Dengan cara yang sama, bila Asumsi Klasik benar, praktik lobotomi harusnya
beredar bebas. Kita semua dapat diselamatkan.
Tapi
lobotomi tidak bekerja, dan hidup Elliot RUSAK.
Kenyataannya,
kita memperoleh lebih dari kehendak untuk berkuasa untuk mencapai kendali diri.
Mengeluarkan emosi adalah instrumen untuk pengambilan keputusan dan tindakan.
Kita hanya tidak menyadari hal itu.
Anda Punya Dua Otak, dan Mereka Sangat
Tidak Akur
Mari anggap pikiran Anda
adalah mobil. Sebutlah namanya “Mobil Kesadaran.”
Mobil Kesadaran Anda tengah melaju di atas
jalan raya kehidupan, dan terdapat persimpangan, rambu jalan, dan rambu
berhenti. Jalan dan persimpangan mewakili keputusan yang harus Anda buat
sepanjang berkendara, dan mereka bakal menentukan tujuan Anda.
Sekarang,
terdapat dua penumpang dalam Mobil Kesadaran:
Otak Berpikir dan Otak
Perasaan. Otak Berpikir merepresentasikan
pemikiran, kemampuan berkalkulasi, dan kemampuan menalar berdasarkan pelbagai
opsi dan mengekspresikan gagasan lewat bahasa. Otak
Perasaan merepresentasikan emosi, impuls, intuisi, dan insting. Ketika Otak Berpikir mengalkulasi jadwal pembayaran untuk
kartu kredit, Otak Perasaan mau menjual
segalanya dan melarikan diri ke Tahiti.
Masing-masing
dari dua otak itu memiliki kekuatan dan kelemahan. Otak
Berpikir begitu teliti, akurat, dan imparsial.
Otak Berpikir teramat metodis dan rasional, tapi juga lambat.
Membutuhkan banyak usaha dan energi, dan seperti otot, harus dilatih oleh waktu
dan dapat kelelahan jika terlalu sering digunakan. Otak
Perasaan, bagaimanapun juga, datang sebagai konklusi instan dan tidak
butuh banyak usaha. Masalahnya adalah otak ini tidak rasional dan tidak akurat.
Otak Perasaan semacam ratu drama dan punya
kebiasaan bertindak berlebihan.
Ketika
memikirkan keputusan yang kita buat, umumnya kita mengasumsikan bahwa Otak Berpikir lagi memegang setir dan Otak Perasaan sedang duduk di kursi penumpang seraya
mengoceh kemana mereka harusnya pergi. Kita mengendara bersama, memenuhi tujuan
kita dan membayangkan bagaimana cara pulang ke rumah, ketika Otak Perasaan yang keparat melihat sesuatu yang
berkilau atau seksi atau tampak menyenangkan ia bakal spontan merenggut kemudi
menuju arah berbeda, lantas kita
memasuki lalu lintas lain, merugikan Mobil
Kesadaran orang lain.
Inilah
Asumsi Klasik,
keyakinan bahwa pertimbangan kita sangatlah penting dalam usaha mengendalikan
hidup dan kita harus melatih emosi kita untuk tetap duduk dengan mulut terkunci
ketika orang dewasa lagi menyetir. Kita kemudian bertepuk tangan dengan
penculikan dan pelecehan atas emosi kita dengan memberikan hadiah atas kendali
diri.
Tapi
Mobil Kesadaran tidak bekerja dengan cara begitu. Ketika tumor diangkat, Otak Perasaan Elliot ikut terlempar dari kendaraan
mental.
Sementara
itu, Tom Waits kerap memakai Otak Perasaan sepanjang
waktu, dan ia merima banyak gepok uang sebagai pemabuk di depan talk show
televisi.
Kebenarannya:
Otak Perasaan sedang mengendarai Mobil Kesadaran. Dan aku tidak peduli seilmiah apa
kau berpikir atau berapa banyak surat yang kau miliki dengan namamu, kau adalah
salah satu dari kami, bro. Kau adalah Otak Perasaan yang
gila—robot berdaging seperti semua manusia di dunia. Tetap isi tubuhmu dengan
cairan, tolonglah.
Otak Perasaan mengendarai Mobil
Kesadaran karena, kita bertindak hanya oleh dorongan emosi. Karena
tindakan adalah emosi. Emosi adalah sistem hidrolik biologis yang menggerakan
tubuh. Ketakutan bukanlah hal magis yang diciptakan otak. Bukan, itu terjadi di
dalam tubuh kita. Itu adalah sensasi yang mengencangkan perut, melepaskan
adernalin, hasrat untuk tenggelam dalam ruang dan kekosongan di sekitar
tubuhmu. Sementara Otak Berpikir eksis
semata-mata bersama aransemen sinaptis di dalam kerangka kepala, Otak Perasaan adalah kebijaksanaan dan kebodohan dari
seluruh tubuh. Kemarahan mendorong tubuh bergerak. Kecemasan menarik diri untuk
lari. Kedamaian menyalakan saklar lampu di otot-otot wajah. Emosi mengilhami
tindakan, dan tindakan mengilhami emosi. Dua hal itu tak terpisahkan.
Inilah
yang menuntun ke jawaban paling sederhana dan paling penting, kenapa kita tidak
melakukan hal-hal yang sudah kita tahu harus kita lakukan?
Karena
kita tidak menyukainya.
Setiap
masalah dari kendali diri bukanlah masalah informasi atau disiplin atau
pertimbangan, tapi, lebih kepada emosi. Kendali diri adalah masalah emosional;
kemalasan adalah masalah emosional; menunda-nunda waktu adalah masalah
emosional; nihil prestasi adalah masalah emosional; impulsifitas adalah masalah
emosional.
Menyebalkan.
Karena masalah emosional lebih sulit dihadapai daripada masalah logika.
Terdapat persamaan untuk membantumu mengalkulasi pembayaran bulanan untuk
penyucian mobil. Tak terdapat persamaan untuk membantumu menyelesaikan hubungan
percintaan yang buruk.
Dan
kau membayangkan, pemahaman intelektual seperti apa yang diperlukan untuk
mengubah kebiasaan yang tidak akan berubah. (Percayalah, aku membaca dua belas
buku sebagai nutrisi dan aku masih mengunyah burrito ketika menulis ini.) Kita
tahu kita harus berhenti merokok atau berhenti konsumsi gula atau berhenti
bergosip tentang teman kita di belakang mereka, tapi kita tetap melakukannya.
Masalah
emosional adalah irasional, tidak bisa dipahami lewat nalar. Dan ini membawa
kita ke berita terburuk: masalah emosional hanya membutuhkan solusi emosional.
Semua tergantung pada Otak Perasaan. Dan jika
kau tidak mengamati bagaimana mekanisme Otak Perasaan bekerja,
tentu saja itu sangat mengerikan.
Ketika
semuanya berjalan, Otak Berpikir tetap duduk
manis di kursi penumpang membayangkan dirinya sendiri dikendalikan situasi.
Jika Otak Perasaan adalah pengemudi kita, maka Otak Berpikir menjadi
navigator kita. Seperti peta realitas yang digambar dan diakumulasi berdasarkan
hidup. Seperti pengetahuan tentang bagaimana menggandakannya dan menemukan rute
alternatif menuju destinasi yang sama. Mengetahui di mana belokan buruk dan di
mana menemukan jalan pintas. Otak rasional melihat dirinya sendiri sebagai
makhluk pintar dan percaya memiliki hak khusus untuk mengontrol Mobil Kesadaran. Tapi, ternyata tidak. Sebagaimana
ujar Daniel Kahneman, Otak Berpikir adalah
“karakter pendukung yang membayangkan dirinya sendiri sebagai pemeran utama.”
Meskipun
kadang-kadang mereka tidak bisa akur satu sama lain, dua otak kita saling
membutuhkan satu sama lain. Otak Perasaan menggenerasi
emosi karena kita butuh bergerak lewat tindakan, dan
Otak Berpikir menyarankan di mana tindakan
itu perlu diarahkan. Kata kunci di sini adalah sugesti. Ketika Otak Bepikir
tidak mampu mengontrol Otak Perasaan, ia dapat
memengaruhinya. Otak Berpikir dapat
berkasak-kusuk demi meyakinkan Otak Perasaan untuk mencari jalan baru menuju
masa depan yang lebih baik, atau menarik pedal mundur ketika membuat masalah,
atau untuk menimbang-nimbang rute baru. Tapi Otak
Perasaan amat bandel, dan bila ingin pergi ke satu tujuan, ia akan
mengemudi tidak peduli berapa banyak fakta atau data dari Otak Berpikir yang menolak. Psikolog moral,
Jonathan Haidt, mengomparasikan dua otak itu sepersis seekor gajah dan
penunggang: penunggang dapat secara lembut menyetir dan menghentikan gajah
menuju arah tertentu, tapi sesungguhnya gajah itu tetap saja akan pergi
kemanapun ia mau pergi.
Mobil Badut
Otak Perasaan memiliki
sisi gelap. Dalam Mobil Kesadaran, Otak Berpikir Anda seperti pacar yang kasar secara
verbal yang menolak turun dan bertanya terus menerus tentang arah tujuan. Tapi Otak Perasaan kesal dibilang kemana harus pergi dan ia
akan membuat kau menderita jika bertanya ketika ia lagi menyetir.
Untuk
menghindari risiko psikologis dalam membangun harapan, Otak
Berpikir menggambar peta penjelasan atau justifikasi atas tujuan yang
dikehendaki Otak Perasaan. Jika Otak Perasaan menginginkan es krim, meskipun diintai
fakta tentang gula dan kalori jahat, Otak Berpikir bakal
mengatakan, “Kau tahu, aku bekerja keras hari ini. Aku pantas dihadiahi es
krim,” dan Otak Perasaan merasa disanjung.
Dengan
cara ini, dua otak membangun hubungan tidak sehat yang menyerupai ibu dan ayah
di perjalanan ketika kau masih kanak-kanak. Otak
Berpikir membuat sampah-sampah yang ingin didengar Otak Perasaan. Sebagai imbalan, Otak Perasaan berjanji tidak akan turun di tengah jalan
untuk membunuh setiap orang.
Begitu
gampang untuk menjebak Otak Perasaan dengan
membuat peta dari keinginan Otak Perasan. Teknik
ini disebut “bias mementingkan diri sendiri”
(self-serving bias), dan inilah dasar
dari segala hal yang menyakitkan soal kemanusiaan.
Umumnya,
bias mementingkan diri sendiri akan membuat
kau menjadi sedikit narsis. Kau mengasumsikan bahwa perasaan yang benar sudah
pasti benar. Kau membuat penilaian terhadap seseorang, suatu tempat, kelompok,
dan ide. Banyak dari penilaian itu yang tidak tepat sasaran atau bahkan agak
keras.
Dalam
bentuk yang lebih ekstrem, bias mementingkan diri
sendiri dapat menjadi delusi,
menyebabkan kau percaya pada realitas yang tidak pada tempatnya. Semua hal dari
Otak Perasaan merupakan permohonan tanpa akhir.
Apabila Otak Berpikir lemah dan/atau tak
berpendidikan, atau bila Otak Perasaan begitu
menggusarkan, Otak Berpikir akan mengalah
kepada kelakuan Otak Perasaan yang berapi-api
dan penuh dorongan berbahaya.
Secara
efektif hal ini dapat mengubah Mobil Kesadaran Anda
menjadi Mobil Badut yang besar dengan ban
karet berwarna merah dan musik sirkus diputar dengan pengeras suara kemanapun
kau pergi. Mobil Kesadaran menjadi Mobil Badut, tatkala Otak Berpikir Anda ditundukkan Otak Perasaan, ketika jalan hidup dideterminasi
sempurna oleh kepuasan instan, ketika kebenaran terpeleset menuju asumsi
mementingkan diri sendiri, ketika segenap keyakinan dan prinsip tenggelam dalam
lautan nihilisme.
Mobil Badut selalu mengarah ke adiksi, narsisme, dan
kompulsifitas. Orang-orang dengan pikiran seperti Mobil
Badut akan dengan gampang dimanipuasi—entah oleh pemimpin relijius,
polisi, motivator, atau forum internet seram. Mobil
Badut akan dengan senang hati mengubah Mobil
Kesadaran orang lain dengan yang lebih besar disertai ban karet berwarna
merah, karena Otak Berpikir akan
menjustifikasi ini dengan berkata bahwa ia layak mendapatkannya—padahal mereka
jahat, inferior, atau bagian dari masalah yang baru saja mulai.
Beberapa
Mobil Badut mengarah ke kesenangan—semisal
minum sampai pagi dan bercinta dan berpesta. Yang lain mendorong ke kekuasaan,
dan jenis Mobil Badut inilah yang paling
berbahaya, sebab Otak Berpikir mereka diatur
untuk bekerja membenarkan penyelewengan dan penaklukan lewat teori yang
kedengarannya intelektual karena memuat ekonomi, politik, ras, genetika,
gender, biologi, sejarah, dan seterusnya. Mobil
Badut terkadang mencari kebencian juga karena dapat membawa kepuasaan
tertentu. Sebagaimana pikiran mudah mendapat kemarahan, sebagaimana memiliki
target eksternal dapat menenteramkan hati karena terkandung semacam
superioritas moral di dalamnya. Yang tak terelakkan, hal-hal itu mendorong
menuju kehancuran orang lain karena kehancuran dan penaklukan atas dunia luar
merupakan impuls internal tak terbatas yang menuntut dipuaskan.
Sulit
untuk menarik seseorang keluar dari Mobil Badut sekali
mereka memasukinya. Dalam Mobil Badut, Otak Berpikir dirisak dan dilecehkan oleh Otak Perasaan sampai tercipta sindrom Stockholm.
Dengan Mobil Badut, tidak ada pemikiran
independen dan kita tidak dapat mengukur kontradiksi atau mengganti keyakinan
atau opini. Seseorang dengan pikiran Mobil Badut sudah
tidak memiliki identitas utuh.
Inilah
kenapa pemimpin sekte selalu menyemangati orang-orang agar mencegat Otak Berpikir sebisa mungkin. Pada awalnya,
keinginan menggunakan Otak Berpikir untuk
mengoreksi Otak Perasaan begitu musykil, penuh
rintangan, kerap kali kita akan terjerumus ke hal-hal tak diinginkan. Maka,
membisukan Otak Berpikir akan terasa luar
biasa lega untuk periode singkat.
Mobil Badut yang metaforis telah memeberi ilham
kepada filsuf kuno untuk melawan hasrat berlebihan dan pemujaan perasaan.
Tindakan ini diejawantahkan dari rasa takut terhadap Mobil
Badut sehingga mengilhami Yunani dan Romawi untuk mengajarkan kebajikan,
dan kemudian, Gereja Kristen mendikte kita dengan pantangan dan penolakan.
Kedua filsafat klasik tadi (Yunani dan Romawi) dan Gereja telah menyaksikan
kehancuran yang ditempa oleh narsisme dan megalomaniak dalam kekuasaan. Dan
mereka semua percaya bahwa satu-satunya cara mengelola Otak
Perasaan adalah dengan mencabutnya, mencegahnya dari ledakan dan
penghancuran dunia di sekitarnya. Pemikiran ini telah melahirkan Asumsi Klasik: satu-satunya
cara untuk menjadi orang baik adalah
dengan menempatkan Otak Berpikir di atas Otak Perasaan.
Untuk
sebagian besar sejarah manusia, orang-orang telah berlaku brutal, tenggelam
dalam takhayul, dan tak berpendidikan. Orang-orang di Zaman Pertengahan
menyiksa kucing untuk olahraga dan membawa anak-anak untuk menonton maling
lokal disiksa sampai gila di tengah-tengah kota. Orang-orang begitu sadistik,
dunia dijejali bedebah impulsif. Sebagian besar sejarah telah membuktikan,
dunia bukanlah tempat menyenangkan untuk hidup karena Otak
Perasaan semua orang sudah gelap mata. Asumsi Klasik merupakan satu-satunya hal yang
berdiri di antara peradaban dan anarki tanpa henti.
Kemudian
sesuatu terjadi pada beberapa ribu tahun belakangan. Orang-orang mendirikan
kereta dan mobil dan menciptakan mesin uap. Kesejahteraan ekonomi mendudu lebih
cepat dari sebelumnya. Orang-orang tidak lagi khawatir tidak bisa makan atau
terbunuh di jalanan. Orang-orang hari ini memiliki banyak waktu luang untuk
duduk dan berpikir dan mengkhawatirkan segala hal berkenaan dengan sampah
eksistensial.
Sebagai
hasil, beberapa gerakan yang mekar pada abad dua puluh memenangkan Otak Perasaan. Dan bahkan, membebaskan Otak Perasaan dari Otak
Berpikir yang menindas adalah terapi untuk jutaan orang (dan berlanjut
sampai hari ini).
Masalahnya
adalah orang-orang mulai pergi terlalu jauh ke jalan berbeda. Mereka membuat
perasaan menjadi satu-satunya hal paling
penting. Inilah kebenaran yang dipegang kelompok kulit putih, kelas
menengah yang besar di bawah Asumsi
Klasik, mereka yang tumbuh dalam penderitaan, dan kemudian bersentuhan
dengan Otak Perasaan. Karena orang-orang ini
percaya bahwa perasaan adalah hal penting dan peta yang disediakan Otak Berpikir menjadi distraksi tak meyakinkan
dari perasaan tersebut. Banyak dari mereka menyebut ini sebagai upaya membungkam
Otak Berpikir dengan harapan Otak Perasaan mengalami “perkembangan spiritual” dan
meyakinkan diri sendiri bahwa mereka telah terisap ke jati diri yang kelak
bakal membawa lebih dekat ke pencerahan. Ini sama halnya dengan Mobil Badut dengan perawakan yang lebih spiritual.
Berlebihan dalam memanjakan
emosi tidak hanya mengarah ke krisis harapan, tapi juga represi emosi.
Orang
yang menyangkal Otak Perasaan telah menutup diri
dari dunia sekitar. Dengan menolak emosi, ia menolak membuat penilaian etis, lantas
satu keputusan menjadi lebih baik daripada yang lain. Hasilnya, ia menjadi tak
berbeda dari keputusannya sendiri. Ia berjibaku melawan yang lain. Hubungan
romansanya diselimuti penderitaan. Pada akhirnya, ketidakacuhan itu menuntun ke
kunjungan tak menyenangkan ke Kebenaran Mencemaskan. Setelah semuanya, jika
tidak ada yang lebih atau kurang penting, maka tidak ada alasan untuk melakukan
apapun. Dan jika di sini tidak ada alasan untuk melakukan apapun, kenapa kita
masih mempertahankan hidup?
Sementara
orang yang menyangkal Otak Berpikir menjadi
impulsif dan egois, mengubah realitas untuk menyesuaikan dengan fantasi, selama
itu pula kita tidak akan pernah merasa kenyang. Krisis harapan tidak peduli
berapa banyak ia makan, minum, mendominasi, atau bercinta, itu tidak akan
pernah cukup—malah tidak akan pernah cukup berarti, tidak akan pernah
signifikan. Ia akan menjadi treadmill tak berkesudahan dari keputusasaan,
senantiasa berlari, tapi tidak pernah berpindah. Dan dalam setiap titik ia
berhenti, Kebenaran Mencemaskan segera menangkapnya.
Aku
tahu. Aku menjadi dramatis lagi. Tapi aku harus menggunakan cara itu, duhai Otak Berpikir. Di sisi lain, Otak Perasaan semakin akrab dengan buku ini. Pernahkah
membayangkan kenapa membalik halaman adalah membalik halaman? Bukan kau yang
membalik halaman, idiot; melainkan Otak Perasaan.
Ini merupakan antisipasi dari ketegangan; kedamaian dalam menemukan dan
kepuasan atas resolusi. Tulisan yang baik adalah tulisan yang sanggup bicara
dan menstimulasi kedua otak dalam waktu bersamaan.
Dan
inilah keseluruhan masalah: bicara kepada kedua belah otak, mengintegrasi otak
kita agar kooperatif, terkoordinasi, terunifikasi secara keseluruhan. Karena
jika kendali diri adalah ilusi berlebihan dari Otak
Berpikir atas penghargaan diri, maka penerimaan diri akan menyelamatkan
kita—menerima emosi dan bekerjasama dengannya daripada melawannya. Tapi untuk
mengembangkan penerimaan diri, kita harus melakukan beberapa pekerjaan terlebih
dahulu, Otak Berpikir. Sampai ketemu di
seksi selanjutnya.
Surat Terbuka Untuk Otak Berpikir Anda
Hai,
Otak Berpikir.
Apa
kabar? Bagaimana keadaan keluarga? Apakah pembayaran pajak berjalan lancar?
Oh,
tunggu. Jangan pikirkan. Aku lupa—aku benar-benar tidak peduli denganmu.
Lihatlah,
aku tahu terdapat sesuatu yang dikacaukan Otak Perasaan.
Mungkin itu sebuah hubungan romantis yang penting. Mungkin menyebabkan kau
membuat panggilan telepon memalukan pada jam 3.00 a.m. Mungkin ia membuatmu
mengonsumsi zat-zat yang harusnya tidak kau konsumsi. Aku tahu terdapat sesuatu
yang kau harap dapat kau kontrol tapi ternyata tidak bisa. Dan aku bayangkan,
pada saat ini juga, masalah itu membuat kau kehilangan harapan.
Tapi
dengar, Otak Berpikir, meskipun terdapat
hal-hal yang kau benci dari Otak Perasaan—permohonan,
impulsifitas, dan pengambilan keputusan yang buruk sekali—, kau perlu menemukan
cara untuk berempati kepadanya. Karena itu adalah satu-satunya bahasa yang
dapat dimengerti Otak Perasaan: empati. Otak Perasaan adalah makhluk yang sangat sensitif;
membuat kau merasakan hal-hal yang menjengkelkan. Aku harap itu tidak benar.
Aku harap kau dapat membuatnya mengerti. Tapi kau tidak bisa.
Justru
daripada memborbardir Otak Perasaan dengan fakta
dan data, mulailah dengan bertanya bagaimana perasaan dia. Katakanlah sesuatu
seperti “Hei, Otak Perasaan, bagaimana
perasaanmu dengan aktivitas gym hari ini?” atau “Bagaimana perasaanmu tentang
mengubah karir?” atau “Bagaimana perasaanmu tentang menjual semua barang dan
pindah ke Tahiti?”
Otak Perasaan tidak akan menjawab dengan kata-kata. Tidak,
Otak Perasaan terlampau cepat untuk mengungkapkannya lewat kata-kata. Malahan,
ia akan menjawab dengan perasaan. Ya, aku tahu itu hal yang wajar, tapi
terkadang kau juga berlagak sepersis orang tolol, duhai Otak Berpikir.
Otak Perasaan mungkin akan menjawab dengan malas atau
cemas. Mungkin akan terdapat banyak sekali emosi campur aduk, sedikit
kegembiraan dengan sepotong kemarahan yang keluar dan tercampur baur.
Bagamanapun juga, kau, sebagaimana Otak Berpikir (alias,
yang bertanggungjawab atas isi tempurung kepala), butuh melepaskan hasrat
menghakimi tatkala berhadapan dengan perasaan. Merasa malas? Jangan khawatir;
kita semua terkadang merasa malas. Merasa membenci diri sendiri? Justru itulah
undangan untuk terlibat perbincangan lebih jauh. Gym dapat menunggu.
Merupakan
hal penting untuk memberikan udara segar bagi Otak
Perasaan agar dapat bicara dengan sentimental. Kita perlu membimbing dia
keluar ke tempat terbuka di mana ia dapat bernapas, karena lebih banyak udara
yang ia hela, lebih lemah cengkeramannya pada kemudi Mobil
Kesadaran Anda.
Kemudian,
sekali kau mencapai inti dari pemahaman atas Otak
Perasaan, maka waktunya untuk berhadapan dengannya secara langsung.
Mungkin berpikir tentang segala keuntungan dari beberapa kebiasaan baru yang
diinginkan. Mungkin menyebut segala hal yang seksi, berkilau, hal-hal lucu.
Mungkin mengingatkan Otak Perasaan bagaimana
baiknya perasaan ketika sering dilatih, betapa hebatnya kau akan merasa untuk
terlihat bagus dengan pakaian dalam musim panas ini, betapa banyaknya kau
menghormati diri sendiri, bagaimana bahagianya kau ketika hidup dengan nilai
yang kau anut, ketika bertindak sebagai contoh dari sesuatu yang kau cintai.
Pada
dasarnya, kau harus memberi daya tawar kepada Otak
Perasaan. Kau harus memberikan kesepakatan yang bagus, atau yang terjadi
hanyalah sedikit jabat tangan singkat dan menjerit dengan tanpa hasil. Mungkin
kau sepakat melakukan apa yang digemari Otak Perasaan,
walaupun itu merupakan sesuatu yang tidak kau sukai. Menonton serial TV
favorit, tapi hanya saat di gym ketika kau berada di atas treadmill. Pergi
nangkring bersama kawan-kawan, tapi jika kau membayar tagihan bulan ini.
Mulailah
dengan pelan-pelan. Ingat, Otak Perasaan sangat
sensitif, dan seringkali tidak waras.
Ketika
kau menawarkan sesuatu dengan keuntungan emosional (semisal perasaan senang
seusai bekerja menjalani karir yang signifikan; menjadi dikagumi dan dihormati
oleh anak-anakmu), Otak Perasaan akan menjawab
dengan emosi, entah itu positif atau negatif. Jika emosi positif, Otak Perasaan akan bergerak ke tujuan—tapi hanya
sedikit! Ingatlah: perasaan tidak pernah berakhir. Itulah kenapa kau perlu
memulainya dengan langkah-langkah kecil terlebih dahulu.
Bila
Otak Perasaan merespon negatif, kau dengan
sederhana mengakui bahwa ia ingin berkompromi
dengan cara lain. Amatilah bagaimana Otak
Perasaan menjawab. Kemudian ulangi lagi.
Tapi
apapun yang kau lakukan, jangan
bertengkar dengan Otak Perasaan. Itu hanya
membuat keadaan semakin runyam. Pertama, kau tak akan pernah menang, tak
pernah. Otak Perasaan selalu mengendalikan
kemudi. Kedua, bertengkar dengan Otak Perasaan berkenaan
perasaan buruk hanya akan menyebabkan Otak Perasaan merasa lebih buruk. Jadi,
kenapa kau harus melakukan itu? Kau harus lebih cerdik, Otak Berpikir.
Dialog
dengan Otak Perasaan akan berlanjut maju mundur,
menggeleser, selama berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan.
Sialan, bertahun-tahun. Dialog antara otak memerlukan latihan. Untuk beberapa
orang, latihan itu akan mengenali emosi apa yang Otak
Perasaan gunakan.
Yang
lain punya masalah terbalik: mereka akan melatih Otak
Berpikir untuk bicara, memaksanya untuk mengajukan gagasan independen
(sebuah tujuan baru) yang terpisah dari keinginan Otak
Perasaan. Mereka akan bertanya pada diri sendiri, bagaimana jika Otak Perasaan keliru dalam soal satu ini, dan kemudian
mempertimbangkan alternatif lain. Ini akan begitu sulit pada mulanya. Tapi
semakin banyak dialog terjalin, semakin banyak kesempatan kedua belah otak
saling mendengarkan satu sama lain. Otak Perasaan akan
memulai dengan memberi emosi berbeda, dan Otak
Berpikir akan memiliki pemahaman yang lebih mumpuni soal bagaimana
membantu Otak Perasaan menavigasi jalan raya
kehidupan.
Inilah
apa yang dirujuk oleh psikologi sebagai “regulasi emosional”, upaya untuk
menempatkan serangkaian pagar dan markah jalan “satu arah” dalam jalanan
kehidupan untuk mencegah Otak Perasaan tak jatuh
ke jurang. Ini pekerjaan berat, tapi hanya inilah satu-satunya cara.
Karena
kau tak dapat mengontrol perasaan, Otak Berpikir.
Kendali diri adalah ilusi. Ilusi yang tercapai ketika kedua belah otak
bersekutu dan mencari aliran yang sama dalam bertindak. Ilusi yang dirancang
untuk memberi orang-orang harapan. Dan ketika Otak
Berpikir tak bersekutu dengan Otak Perasaan,
orang-orang bakal merasa tak berdaya, dan tindakan demi tindakan akan diliputi
putus asa. Satu-satunya jalan untuk merawat ilusi itu adalah dengan persisten
mengomunikasikan dan menyekutukan kedua belah otak dalam satu payung nilai yang
sama. Ini merupakan satu jenis keahlian, sebagaimana memainkan polo air atau
memainkan trik pisau juga merupakan keahlian. Ini perlu dedikasi yang tak
mudah. Dan di sini akan terdapat kegagalan dalam perjalanannya. Kau mungkin tak
sengaja melukai lengan sampai darah muncrat kemana-mana. Tapi itulah harga dari
perubahan.
Tapi
terdapat hal lain yang kau perlukan, Otak Berpikir.
Kau mungkin tak memiliki kendali diri, tapi kau memiliki makna kendali. Inilah kekuatan supermu. Inilah berkah. Kau
memperoleh kontrol atas makna dari
impuls dan perasaan. Kau dapat menerima mereka dengan cara apapun selama kau
sehat wal afiat. Kau dapat menggambar secarik peta. Dan ini merupakan sesuatu
yang sangat kuat, karena ini adalah makna yang kita anggap berasal dari
perasaan kita yang kemudian dapat memberi umpan balik kepada perasaan.
Dan
inilah cara memproduksi harapan. Inilah bagaimana kau memproduksi naluri bahwa
masa depan dapat menjadi indah dan menyenangkan: dengan menginterpretasi sampah
yang digendong Otak Perasaan Anda dengan cara
yang lebih tepat guna. Ketimbang menghakimi dan memperbudak dirimu sendiri ke
impuls, tantanglah dan analisalah impuls itu. Ubah karakter dan bentuk mereka.
Inilah
pondasi dari terapi yang bagus, tentu saja. Penerimaan diri dan kecerdasan
emosional dan semuanya. Tentu saja, “mengajari Otak
Berpikir untuk menguraikan dan bekerjasama dengan Otak Perasaan daripada menghakiminya dan menganggap ia
makhluk jahat” adalah dasar dari CBT (terapi kebiasaan kognitif) dan ACT
(terapi penerimaan dan komitmen) dan banyak lagi terapi yang punya akronim imut
yang diciptakan psikolog klinis untuk membuat hidup kita lebih baik dari
sebelumnya.
Krisis
harapan kita kemudian memulai dengan perasaan dasar bahwa kita melakukan
sesuatu yang tak dapat dikontrol diri sendiri atau takdir kita. Kita merasa
menjadi korban atas dunia di sekitar kita, atau lebih buruk lagi, pikiran kita.
Kita bertarung dengan Otak Perasaan, mencoba menaklukannya.
Atau kita melakukan hal yang sebaliknya dan mengikutinya tanpa pikiran. Kita
secara konyol bersembunyi dari dunia karena Asumsi Klasik. Dan dengan banyak cara,
kemakmuran dan konektivitas dari dunia modern hanya membuat luka dari ilusi
kendali diri semakin menganga.
Tapi
inilah misimu, Otak Berpikir, dan kau mau
tak mau harus menerimanya: mengikutsertakan Otak
Perasaan dengan caranya sendiri. Membuat ekosistem yang dapat membawa Otak Perasaan menuju dorongan dan intuisi terbaiknya.
Lebih baik menerima dan bekerja dengannya alih-alih menentang, sekalipun Otak Perasaan akan berkali-kali muntah kepadamu.
Segala
sesuatu (semua penghakiman dan asumsi dan pembesar-besaran diri) adalah ilusi.
Selalu ilusi. Kau tak punya kendali, Otak Berpikir.
Kau tidak pernah punya, dan tak pernah bisa. Tapi, kau tidak akan pernah
kehilangan harapan.
Dalam Descartes Error, Antonio Damasio mengakhiri tulisannya dengan
cemerlang. Di dalamnya, ia berargumentasi dengan cara sepersis Otak Berpikir memproduksi sesuatu yang logis,
sedangkan Otak Perasaan membangun tipe nilai
pengetahuannya sendiri. Otak Berpikir membuat
asosiasi di antara fakta, data, dan observasi. Gayung bersambut, Otak Perasaan membuat penilaian moral berbasiskan
fakta, data, dan observasi yang sama. Otak Perasaan memutuskan
apa yang baik dan buruk; apa yang dihasrati dan tidak dihasrati; dan yang
paling penting, apa yang layak dan tidak layak kita terima.
Otak Berpikir begitu objektif dan faktual. Otak Perasaan begitu subjektif dan relatif. Dan tidak
peduli apa yang kita lakukan, kita tidak pernah dapat menerjemahkan satu bentuk
pengetahuan ke bentuk lain. Sangat langka mengetahui bagaimana cara memotong
karbon, atau bangun lebih pagi, atau berhenti merokok. Sesuatu di dalam Otak Perasaan-lah, yang memutuskan kita layak untuk melakukan hal-hal tersebut,
bahwa kita tidak pantas melakukannya.
Perasan
dari ketidakpantasan ini secara umum merupakan hasil dari kesialan buruk yang
terjadi pada kita dalam satu titimangsa tertentu. Kita menderita karena
beberapa hal yang menjengkelkan, dan Otak Perasaan memutuskan
bahwa kita layak atas pengalaman
buruk itu.
Inilah
masalah fundamental dari kendali diri. Inilah masalah fundamental dari
harapan—bukan Otak Berpikir yang tak
terlatih, tapi Otak Perasaan yang tak terlatih, Otak Perasaan yang mengadopsi dan menerima penilaian
moral buruk tentang dirinya sendiri dan dunia. Dan inilah tindakan nyata dari
apapun yang menyerupai penyembuhan psikologis: membuat nilai itu berbanding
lurus dengan tindakan kita dan realitas dunia.
0 Komentar