Pablo Picasso: Les Meninas
Kita mungkin pernah
kebingungan. Barangkali, Anda pernah ke toko pakaian dan dibikin bingung untuk
beli pakaian apa di tengah-tengah jejeran etalase yang melimpah ruah. Anda
membeli satu saja, lalu mampir di toko buku. Anda bingung apakah harus membeli
buku Sartre atau puisi Jokpin atau novel Sapardi. Anda mengambil satu saja. Lalu
Anda sadar lapar, dan dibuat bingung lagi dengan tempat makan yang mengelilingi
kepala Anda seperti burung-burung yang melingkari kepala Bugs Bunny di film
kartun. Anda lalu pusing, atau dalam bahasa Barry Schwatz, paralysis.
Sampailah Anda di rumah.
Melihat barang belanjaan hanya untuk menggerutu dalam hati. “Duh, kenapa tidak beli yang pertama tadi ya?
Duh, kenapa harus beli buku ini ya? Duh, kenapa sih harus makan di tempat tadi,
padahal di sampingnya kelihatan enak sekali.”
Oleh Barry Schwatz, inilah
yang disebut paradoks pilihan. Semakin banyak opsi yang menggempur kita dari
kiri-kanan dari depan-belakang, semakin kita gelisah, kian gampang terkempa
penyesalan pada tiap pilihan keputusan yang dibuat.
Masyarakat kita selama ini
berasumsi bahwa kesejahteraan membutuhkan pilihan yang berlimpah ruah, dan
pilihan berlimpah ruah menuntut kebebasan. Nyatanya, di era demokratisasi
informasi dan akses yang tak tertahan, kesejahteraan itu hanya bisa dicapai
secara fisik tapi tidak secara batin. Manusia modern gampang merasa tidak puas
ketimbang manusia pada zaman-zaman belakang. Barangkali ini juga bisa disebut
paradoks kemajuan, semakin peradaban kita digelimpahi barang konsumsi, semakin kita
gelisah. Pada orang kaya hal ini menjelma sebagai neraka treadmill hedonisme.
Seorang ilmuwan psikolog
membuat penelitian begini: terdapat dua wiraniaga es krim berjualan di taman
yang sama. 40% pengunjung mampir di tempat pertama meski hanya tersedia enam
variasi es krim. Sedangkan penjual es krim kedua punya dua puluh empat varian
es krim, maka 60% pengunjung taman mampir di sana. Sejauh ini, fakta itu tampak
masuk akal. Tapi untuk pembelian kedua semua kontras. 30% pengunjung di es krim
pertama kembali membeli di sana. Sedang di penjual es krim kedua? Hanya 6% yang
membeli lagi di sana.
Meskipun penjual es krim
pertama memiliki banyak varian es krim, tapi berdasarkan paradoks pilihan,
konsumen justru menghabiskan makanan dengan ketidakpuasan mengganjal di dada.
Terlebih, konsumen—manusia secara universal—lebih gampang mengingat perasaan
akhir dari aktivitas konsumsi daripada kenikmatan atas banyaknya pilihan yang
tersedia. (Saya ingat Daniel Kahneman dan konsep “diri yang mengingat” di
sini.)
Kemarin sore kakak laki-laki
saya bertanya kuliah saya. Jawaban saya belum selesai lalu ditimpali: “Kau
punya lingkaran atensi yang begitu luas, Yo. Tapi pengaruhmu kecil di sana.”
Saya tidak pusing dengan kalimat kedua, kalimat pertama sudah menembak saya
jatuh terkulai lebih dulu. Saya memang orang yang gampang terdistraksi. Saya
suka memasang target banyak-banyak untuk menguji komitmen hanya demi menyadari
bahwa saya banyak tidak mengetahui hal-hal lain. Sejauh ini, masih
menguntungkan. Parahnya, saya masih begitu naif, anak muda yang sepertinya
lambat dewasa, dengan kepala yang disesaki beribu macam keinginan-keinginan
yang cepat atau lambat akan saya sadari bahwa itu semua tidak perlu.
Di titik ini saya kembali
menyadari pentingnya budaya minimalisme. Minimalisme bukan sekadar mengontrol
arus barang di depan pintu kehidupan privat kita. Juga, mengontrol keinginan
yang tak berguna dan sia-sia di pintu kepala kita. Kita harus mereduksi hasrat
memiliki banyak hal. Kita harus mereduksi hasrat menerima berbagai opsi dari
segala arah. Kalaupun sekarang juga saya tidak bisa disebut bahagia, setidaknya
saya jangan sampai kecewa dan gelisah oleh kepungan pilihan yang tersedia yang
menguras energi saya secara percuma.
0 Komentar