Suatu hari ketika baru saja
menjadi perantau di tanah Parahyangan (yang katanya diciptakan Tuhan ketika
lagi tersenyum), senior saya sekonyong-konyong menunjuk salah seorang yang
makan sendirian di meja yang lebar. “Kasihan,” katanya, setengah berbisik ke
telinga saya.
Kenapa orang yang makan
sendirian harus dikasihani? Itu betul-betul opini yang asing bagi introvert
macam saya. Saya pun berlalu dengan hati diberati tanda tanya. Lalu beberapa
tahun kemudian, hari ini, saya kenalan dengan Claude Fischler. Ia ilmuwan yang
membuat saya paham, bahwa terdapat yang namanya antropologi makanan. Dia
berkisah tentang seorang perempuan yang bicara dengan anaknya.
“Kau tahu, Nak, kau adalah
anak dari suamiku yang dulu, bukan yang sekarang. Aku menceraikannya karena
pernah melihat dia makan sendirian di tempat umum. Kau dengar, Nak? Makan
sendirian di tempat umum! Bagaimana bisa dia bersikap seperti itu? Saat itu aku
tahu, aku sudah menikahi pria yang keliru.”
Anak itu tidak pernah
mengerti kenapa makan sendirian bisa sefatal itu, sebagaimana saya beberapa
tahun silam tak memahami arti “kasihan” oleh senior saya. Bila kita mengungkai
sejarah, maka akan didapati bahwa aktivitas makan bagi mayoritas masyarakat
budaya, dalam setiap peradaban manusia, adalah aktivitas bersama atau
berkelompok. Bukan aktivitas individual. Begitu ujar Claude Fischler.
Pun dalam aktivitas makan,
terdapat hierarki yang membayang. Dalam budaya patriarki, perempuan biasanya
tidak mendapatkan kursi. Dalam The Last
Supper, lukisan karya Leonardo da Vinci yang kesohor itu, kita tahu, Yesus
berada di tengah-tengah bingkai sebagai sentral lukisan yang menunjukan makna
superioritas, bahwa dia adalah inti dari segala kepentingan tamu hadirin di
meja makan panjang itu.
Satu waktu Napoelon III
diundang dalam suatu kenduri oleh raja Siam pada tahun 1800-an. Semua tentara
Napoleon makan dengan peralatan perak. Napoleon makan dengan peralatan emas.
Namun raja Siam makan dengan peralatan alumunium. Alumunium merupakan logam
paling mewah kala itu. Lebih bernilai ketimbang emas dan platina. Itu sebabnya
pucuk monumen Washington dibuat dari alumunium. (Meski komposisi bumi terdiri
dari 8,3% alumunium, namun tidak berbentuk logam murni. Alumunium terikat oleh
oksigen dan silica. Barulah setelah teknologi elektrolisis ditemukan, alumunium
menjadi murah ketimbang logam lain.)
Pokok dari kunjungan
Napoelon adalah, peralatan apa yang dipakai di atas meja makan, menunjukkan
kelas sosial, hierarki, tentang siapa yang merupakan bos dan siapa bawahan,
tentang subordinasi.
Menurut Claude Fischler,
meja makan berbentuk lingkaran lebih baik daripada meja makan persegi panjang.
Lingkaran menjadi perlambang kesetaraan, merupakan simbol aktivitas yang lebih
egaliter. Di atas meja makan berbentuk bundar, semua orang bisa saling tatap
menatap, kebersamaan terbangun dengan citara sosial yang kental. Memang dalam
beberapa meja makan bundar, terdapat satu kursi istimewa yang biasanya beda
dengan kursi lain. Biasanya ditempati raja, atau pimpinan dari mereka yang
makan bersama. Tapi atmosfer yang lebih terasa adalah, mereka menikmati makanan
nyaris tanpa jarak sosial yang jauh dengan pimpinan mereka.
Di masyarakat yang lebih
urban, kehadiran makanan cepat saji menampilkan satu budaya baru: makan sambil
berdiri. Tepatnya di Perancis, oleh restoran burger panjang bernama Free Timer. Mereka membuat iklan
komersil yang menampilkan seorang pria makan sambil berdiri tapi tetap
menikmati burgernya. Di Amerika Serikat, restoran makanan siap saji mengenalkan
budaya makan baru, yakni drive thru, seseorang
memesan burger atau paha ayam goreng, sembari menunggu di mobil. Seringkali
mereka makan di dalam mobil saja.
Claude Fischler mengamati
seorang yang makan di satu resto. Dia datang dua kali seminggu, duduk di tempat
yang sama. Lalu membuka laptop, memesan segelas anggur, lalu beberapa macam
makanan. Dia duduk sendirian di sana. Selalu begitu. Bagi Fischler, makan
sendirian merupakan simbol bagi aktivitas makan modern yang telah mengalami
individualisasi secara signifikan. Bagi paradigma masyarakat rural, hal itu
memang tampak asing, tapi bagi rata-rata masyarakat urban, fenomena itu sudah
dilazimi.
Makanan telah menjadi bagian
dari hidup kita yang tak mungkin terlekangkan. Ia adalah alasan kenapa manusia
tetap hidup di belantara kompetisi Darwinian. Fitrah. Pembagian kerja ditandai
dengan berburu makanan. Revolusi agrikultur dimulai dengan penemuan leluhur
kita mendomestifikasi ladang gandum (atau gandumlah yang mendomenstifikasi
manusia?). Agama primordial menempatkan dewi Sri sebagai sesembahan sebab
dipercaya menyuburkan lahan yang memberi gabah. Saya tidak akan heran pula, bila
jasa yang paling terjual hari-hari ini adalah layanan pengantar pizza, go-food,
dan makanan siap antar lainnya.
Claude Fischler sering
mengutip salah satu kutipan mashyur dalam salah satu esai Montaigne—yang saya
parafrasakan di sini: “Aku berkata, seperti Epicurus: ‘bukan tentang apa yang
kau makan, lebih penting dari itu adalah dengan siapa kamu makan.’” Kebersamaan
di meja makan, ujar Fischler, adalah perkara fundamental bagi bangsa Perancis.
Aktivitas makan tidak bisa
dilepaskan dari konteks sosial. Senior saya yang mengasihani orang asing yang
makan sendiri bergumam kecil, “seperti tidak punya teman saja.” Di indekos
saya, teman-teman sering mengajak makan bersama. Padahal mereka bisa makan
sendiri, kenapa harus mengajak-ajak? Apakah kelaparan mereka tidak bisa hilang
kalau makan sendiri? Saya sering makan sendirian, dan saya merasa kenyang. Tapi
bukan berarti saya anti sosial pula.
Di beberapa negara, terdapat
stigma yang melekati orang yang makan sendirian. Mungkin mereka ingin lebih
banyak makan daripada membagi makanan. Mungkin mereka tidak ingin membagi
makanan. Barangkali orang yang makan sendiri adalah orang paling kesepian di
muka bumi. Barangkali dia tidak punya teman. Dan macam-macam bayangan lain yang
soliter, dingin, dan sunyi.
Aktivitas makan bersama
sanak keluarga, handai taulan, pun kekasih, telah menjadi ritual wajib yang
bukan hanya menggusah kelaparan jasmaniah, juga kelaparan batin. Seorang kawan
aktivis di Jakarta bilang, teramat susah mengajak rapat teman-teman organisasi
di sana. Mereka tersebar dari ujung ke ujung. Ditambah kemacetan lalu lintas
yang seperti neraka metropolitas, berkumpul tidak hanya melahap waktu dan
energI, juga kocek yang tak sedikit.
Satu-satunya strategi paling
andal untuk mengumpulkan teman-teman adalah mengajak mereka makan. Biasanya
pesan sudah menyebar satu minggu atau paling telah tiga-empat hari sebelum hari
pertemuan, ajakan untuk makan tinutu’an (bubur Manado) dan pisang goreng. Mendadak
seisi rumah penuh. Mereka yang jarang memunculkan muka di tiap rapat datang di
perhelatan itu. Setelah kenyang sempurna. Mereka dijebak untuk ikut rapat.
Teman-teman saya di Bandung,
yang asli Sunda, punya acara makan bersama yang disebut liweutan. Biasanya efektif memanggil orang-orang berkumpul. Dalam
aktivitas makan bersama, terdapat nuansa kekeluargaan yang menggelayuti tingkap
dan udara di sekitar kami. Seakan-akan suasana keakraban terjalin secara magis
di antara kami yang makan nasi beraroma khas agak dekat dengan aroma ikan asin.
Ketika saling berbagi segepok nasi dengan teman sebelah. Atau kerja sama saling
menuangkan air putih kepada teman yang baru selesai makan. Seolah-olah di
hadapan orang asing, kami adalah sama, setara, dan tidak berjarak.
Dengan kata lain, sepersis
ujar Claude Fischler, kita dipersatukan oleh makanan.
DIRI,
IDENTITAS, DAN MAKANAN
Oleh Claude Fischler,
antropolog Spanyol itu, hubungan antara manusia dan makanan terbagi dalam dua
dimensi. Satu sisi dari biologis ke kultural dan dari fungsi nutrisional
beranjak ke fungsi simbolik. Di sisi lain, dari individual ke kolektif dan
piskologis ke sosial. Dengan demikian, manusia dan makanan terhubung secara multi-facet, multidimensional.
Makanan bagi manusia tidak
hanya fenomena biologis, ia pun fenomena kultural. Terdapat gagasan dan norma
yang berputar di sekitar akitvitas santap itu. Semisal di Indonesia makan
sambil berbunyi suara piring dianggap tidak sopan, sedangkan di Korea makan
dengan bersuara merupakan tanda penghormatan kepada si pemasak. Dan fungsinya
bukan hanya sebagai asupan nutrisi bagi tubuh, pun penanda semiotik atas
status, hierarki, dan bersosialisasi.
Mayoritas budaya di dunia
menganggap aktivitas menyantap makanan sebagai aktivitas kolektif, dalam
lingkaran kebersamaan. Teramat aneh melihat seseorang makan sendiri. Dalam
budaya Sunda, saya mengenal kebiasaan makan nasi liweut, nasi dengan aroma khas untuk dihidu, yang tak akan pernah
lezat tanpa dilahap bersama teman-teman.
Saya teringat pepatah
Jerman: “Man ist, was man ist” (kau
adalah apa yang kau makan). Dalam teori Claude Fischler, ini disebut dengan
inkorporasi, atau peleburan. Apa yang seseorang makan telah melebur dengan
dirinya, tidak hanya secara biologis, pun kultural, pun psikologikal, pun
sosial. Dalam salah satu episode Spongebob, dia memakan satu keju lama usang,
yang lalu membuat ia dijauhi oleh teman-teman. Bahkan seluruh rakyat Bikini
Bottom. Ia dianggap semenjijikan apa yang dia makan,
Inkorporasi adalah penyatuan
manusia dan makanan; peleburan diri dalam unifikasi relatif. Nutrisi yang kita
serap dari daging menjadi sumber energi, sayur menjadi sumber zat besi, dan
jeruk juga buah-buahan lain menjadi pengabsorbsi vitamin C. Secara spiritual
pun, kita mengalami efek terhadap makanan. Semisal bila Anda muslim yang
memakan babi, terdapat perasaan berdosa bergulat dalam benak Anda—yang jauh
lebih besar dosanya daripada tidak salat.
Inilah prinsip inkorporasi.
Meleburnya makanan dan subjek yang memakan. Kemudian, seorang individu manusia
ditandai sebagai keanggotaan suatu budaya atau kelompok berdasarkan jenis
makanan apa yang budaya mereka miliki. Untuk bangsa Pernacis, orang Italia
adalah “Macaronis” dan orang Inggris adalah “Si Daging Panggang” dan bangsa
Belgia adalah “Pemakan Keripik”. Bagi orang-orang Inggris, bangsa Perancis
adalah “ Si Kodok”. Sedangkan Amerika menyebut Jerman sebagai “Kraut”.
Apa yang kau makan, merupakan
perlambang dari identitasmu. Saya misalnya, ketika baru pertama kali kenalan
dengan suku Sunda lalu menjelaskan letak geografis Bolaang Mongondondow daerah
asal saya, mereka kebingungan, lantas saya menyebut patokannya saja, “Sulawesi
Utara, Manado, Bro.”
“O, yang suka makan
kelelawar sama ular itu ya?” Saya memang orang Sulawesi Utara, dari kabupaten
Bolaang Mongondow Timur lebih tepatnya, tapi tidak pernah makan ular dan
kelelawar. Pun teman-teman Manado yang saya kenal akrab, tidak pernah menyantap
makanan-makanan begitu. Terlanjur saja, itu menjadi kesan pertama ke saya.
Seolah-olah saya seram dan bisa memangsa mereka kapan saja.
0 Komentar