*Puisi
pilihan yang diterjemahkan dari buku Map:
Collected and Last Poems Wislawa Szymborska.
Vietnam
“Perempuan, siapa namamu?” “Aku tidak tahu.”
“Berapa usiamu? Dari mana kamu berasal?” “Aku tidak
tahu.”
“Kenapa kau menggali liang itu?” “Aku tidak tahu.”
“Berapa lama kau telah sembunyi?” “Aku tidak tahu.”
“Kenapa kau menggigit jariku?” “Aku tidak tahu.”
“Apa kamu tahu kami tidak akan menyakitimu?” “Aku
tidak tahu.”
“Kamu berada di sisi mana?” “Aku tidak tahu.”
“Kita di tengah perang, kau harus punya pilihan.”
“Aku tidak tahu.”
“Apa kampung halaman kamu masih utuh?” “Aku tidak
tahu.”
“Apa mereka anak-anakmu?” “Ia.”
----------------------------------------------------------------------------
Percakapan Dengan Sebongkah Batu
Aku mengetuk pintu depan batu itu.
“Hanya aku di sini, izinkanlah masuk.
Aku ingin memasukimu,
melihat sekitar,
mengisi tubuhmu dengan napas aku.”
“Pergi jauh,” ujar batu.
“aku tertutup rapat.
Meski kamu meremuk saya jadi serpihan-serpihan,
kami tetap saja tertutup.
Kamu bisa menggilas kami ke pasir,
kami tetap tak membiarkanmu masuk.”
Aku menutuk pintu depan batu itu.
“Hanya aku di sini, izinkanlah masuk.
Aku benar-benar penasaran.
Hanya kehidupan dapat memadamkan.
Aku bermaksud jalan-jalan di persadamu,
lalu memanggil daun, setetes air.
Aku tidak punya waktu banyak.
Kefanaanku harus menyentuh kamu.”
“Aku dibuat dari batu,” ujar batu,
“dan karena itu harus bermuka datar.
Pergi sana.
Aku tidak punya otot untuk ketawa.”
Aku mengetuk pintu depan batu itu.
“Hanya aku di sini. Izinkanlah masuk.
Aku dengar kau punya aula lapang di dalam kamu,
tak terlihat, keindahan dalam keangkuhan,
bisu, tak menggemakan setiap langkah.
Akuilah kamu tidak mengenalnya cukup baik.”
“Lapang dan kosong, cukup benar,” ujar batu itu,
“tapi tidak ada kamar di sini.
Indah, barangkali, tapi tidak untuk selera kamu.
Kamu mungkin kenal aku, tapi kamu tidak pernah tahu
kedalamanku.
Seluruh permukaan diriku menghadap kamu,
segala kedalamanku berpaling.”
Aku menutuk pintu depan batu itu.
“Hanya aku di sini, izinkanlah masuk.
Aku tidak mengungsi demi keabadian.
Bukannya tidak berbahagia.
Bukannya aku tunawisma.
Duniaku layak dikembalikan ke semula.
Aku akan memasuki tubuhmu dan keluar dengan tangan
kosong.
Dan bukti kehadiranku akan menjadi sekadar
kata-kata,
tidak akan ada yang
bakal percaya.”
“Seharusnya kamu tidak masuk,” ujar batu itu.
“Kau tak punya perasaan untuk menjadi bagianku.
Tidak ada perasaan lain yang bisa menggantikan
ketiadaan perasaanmu untuk menjadi bagian diriku.
Meski mata kamu dapat menatap segalanya.
Seharusnya kamu tidak masuk, kamu hanya punya
perasaan
yang harusnya kamu miliki,
hanya bibit saja, imajinasi.”
Aku mengetuk pintu masuk batu itu.
“Hanya aku di sini, izinkanlah masuk.
Aku tidak punya dua ribu abad, jadi
izinkanlah aku masuk ke bawah atap kamu.”
“Jika saja kamu tidak percaya aku,” ujar batu,
“cukup tanya dedaunan, mereka akan berkata hal
sama.
Tanyai tetes air, mereka akan mengatakan hal sama
dengan dedaunan.
Akhirnya, tanyai seutas rambut kepala kamu.
Tawaku tergelak, ya, terpingkal, tawa yang meruah,
meskipun aku tidak tahu cara tertawa.
Aku mengetuk pintu depan batu itu.
“Hanya aku di sini, izinkanlah masuk.”
“Aku tidak punya pintu,” ujar batu itu.
---------------------------------------------------------------------------------------
Catatan Terima Kasih
Aku berutang banyak
pada mereka yang tidak ku cintai.
Terhadap kebaikan yang aku setuju
bahwa seseorang lain lebih memerlukannya.
Kebahagiaan bahwa aku bukan
serigala bagi domba mereka.
Kedamaian yang kurasakan bersama mereka,
kebebasan—
yang cinta tidak bisa berikan
pun tak bisa renggut.
Aku tak menunggu mereka,
seperti pada jendela-ke-pintu-dan-belakang.
Hampir sama sabarnya dengan
bayangan jam matahari,
aku memahami
apa yang cinta tidak bisa,
dan maafkan
sebagai cinta yang tidak pernah.
Dari tempat pertemuan ke sepucuk surat
hanya butuh beberapa hari atau minggu,
bukan kekekalan.
Perjalanan dengan mereka selalu berlangsung lembut,
mendengar konser,
mengunjungi katerdal,
menatap pemandangan.
Dan tatkala tujuh bukit dan sungai
datang ke antara kami,
bukit dan sungai bisa
ditemukan dalam semua peta.
Mereka layak atas penghargaan,
bila aku tinggal dalam tiga dimensi,
dalam ruang tak liris dan tak retoris,
bersama kesejatian, menggeser cakrawala.
Mereka sendiri tak sadari
berapa sering mereka genggam tangan kosong itu.
“Aku
tidak berutang apa-apa pada mereka”
akan
menjadi jawaban cinta
kepada
pertanyaan terbuka ini.
--------------------------------------------------------------------------
AWAJUDUL
Segalanya milik saya tapi hanya titipan,
tidak ada ingatan untuk digenggam,
meskipun kulihat sebagai milikku.
Ingatan tiba ke pikiran segalib patung
galian
dengan kepala yang salah tempat
Dari kota Samokov, hanya hujan
dan lebih banyak hujan
Paris dari Louvre ke jemari
tumbuh jejaring mata pada saat ini
Jalan raya Saint-Martin: beberapa tangga
menuntun ke kelenyapan perlahan.
Hanya sebuah jembatan dan setengah
dari jembatan Leningrad.
Upsala yang malang, direduksi menjadi serpihan
dari katerdal yang perkasa.
Sofia si penari rengsa,
sesosok tubuh tanpa wajah.
Kemudian terpisahlah, mata dari wajahnya;
terpisah lagi, mata tanpa pupil,
dan, pupil tanpa seekor kucing.
Seekor elang Kaukasia membubung
di atas dongak meriam,
emas palsu dari matahari,
batu imitasi.
Segalanya milik saya tapi hanya titipan,
tidak ada ingatan digenggam,
meskipun tampak seperti milikku.
Tidak habis-habisnya, tak terlacak,
tapi khusus untuk sabut terkecil,
butir pasir, tetes air—
lanskap
saya tidak akan melindungi satu helai rumput
seperti yang terlihat.
Salam dan pamit
dengan lekas sekilas.
Untuk kelebihan dan ketiadaan,
dengan satu gerakan leher.
----------------------------------------------------------------------------------
PARABEL
Beberapa pemancing menarik botol dari dasar laut.
Botol itu menyimpan sehelai kertas, dengan tulisan begini: “Seseorang,
selamatkan aku! Aku di sini. Laut melemparku ke pulau pasir ini. Aku berdiri di
bibir pantai menunggu bantuan. Cepat! Selamatkan aku!”
“Di sini tidak tercantum tanggal. Aku bertaruh
semua sudah terlambat. Benda ini bisa saja sudah mengambang selama
bertahun-tahun,” pemancing pertama berkata.
“Dan dia tidak menyebut di mana. Entah di laut yang
mana,” pemancing kedua berkata.
“Ini belum terlalu terlambat, atau belum terlalu
jauh. Pulau itu bisa berada di mana saja,” pemancing ketika berkata.
Mereka semua merasa canggung. Tidak ada lagi yang
bicara. Itulah cara kerja kebenaran universal.

0 Komentar