Ket: The-Dog-1823-Francisco-Goya


Di atas dataran Tortilla, Monterey, yang anggurnya tidak seenak kota lain, hiduplah seorang bajak laut yang memiliki lima ekor sahabat berspesies anjing, yang keamanan makanannya terpenuhi dengan baik sehari-hari karena orang-orang merasa iba pada nasibnya, dan acap menjual kayu yang ia seret dengan gerobaknya. Tidak jelas siapa nama Bajak Laut dalam novel John Steinbeck itu. Tapi saya bayangkan, ia berparas persis Barbossa dalam Pirate of Carribean, tapi dengan tampang lebih tolol serta otaknya tumpul betul.

Perbedaaan mencolok lain dengan Barossa adalah, si Bajak Laut itu punya hati setulus merpati. Dikisahkan bahwa suatu hari anjingnya sakit parah nyaris meregang nyawa. Ia pun bermunajat kepada orang-orang suci mulia agar sahabat karibnya itu diberi penyelamatan. Keajaiban terjadi. Anjing yang kurus kerontang mendadak sehat kembali. Ia bisa meloncat-loncat dengan ekor menjengit riang, air mata rasa syukur pun mencair dari mata Bajak Laut, mengalir sampai ke ujung jenggotnya yang kotor. Sejak itu, ia berambisi membeli lilin emas untuk dipersembahkan kepada St. Francis sebagai utang budi.

Beruntunglah Bajak Laut ketemu dengan Danny dan sahabat-sahabatnya yang terkenal tukang onar di dataran Tortilla. Terenyuh oleh niat suci Bajak Laut, Danny beserta kawan-kawan kemudian mengumpulkan uang dari hari ke hari. Tabungan itu adalah satu-satunya yang tak diselewengkan untuk beli anggur demi memuaskan keinginan kompulsif mereka. Dengan penantian panjang, akhirnya uang terkumpul sudah, dengan hati riang kandil emas itu terbeli.

Di depan pendeta, sekawanan tukang onar menyurahkan hati soal niat baik Bajak Laut. Pendeta ternyuh. Untuk mereka yang berperawakan jahat yang sering keluar-masuk penjara, ternyata kebaikan masih bisa memperoleh ruang di hati manusia. Rasa haru pendeta bagi mereka membuktikan, bahwa menolong anjing sekarat juga bisa disebut laku humanisme.

Sebuah hikayat di jazirah Islam punya hikayat yang agak mirip. Seorang pelacur—yang gampang kita justifikasi sebagai ahli neraka—suatu hari menemukan seekor anjing yang kehausan di tengah gurun pasir. Satu-satunya air minum yang dimiliki pelacur kemudian diberikan kepada anjing tersebut. Tak dinyana, air itu bukan hanya menyegarkan kerongkongan hewan itu, tapi juga memadamkan api neraka yang siap melahap jiwa sang pelacur. Pintu surga terbuka baginya. Dan Tuhan membuktikan, bahwa manusia sering salah kaprah soal vonis kafir-neraka berdasarkan sampul seseorang. Hikayat itu membuat saya percaya bahwa amal bukan sekadar kalkulasi matematis semata.

Anjing merupakan hewan pertama yang didomestifikasi umat manusia. Persahabatan antara Bajak Laut dan kelima sahabatnya, adalah simbolisasi perkawanan umat manusia dengan spesies anjing. Kesetiaan ini kemudian dibikinkan patung bernama Hachiko di stasiun Shibuya, Jepang. Anjing adalah perlambang kesetiaan, yang bahkan lebih representatif daripada manusia. Kita justru makhluk yang lebih sering mencemari kata “kesetiaan” itu—yang membuat frasa “saphiens” menjadi anomali dilekatkan kepada kita. Mereka yang menyadari kebaikan hati anjing dengan laku tindakan, memang pantas menerima pintu surga terbuka dan layak memasuki gereja menatap kandil emas meski pakaian compang-camping bak Barbossa.

Menulis ini, membuat saya diam-diam pengen lebih dekat dengan anjing. Di masa kanak-kanak, pernah saya ditolong oleh anjing hitam milik tetangga. Kompleks rumah saya memang ramai dengan anjing. Ketika main ke rumah teman berjarak sekitar dua puluh rumah dari rumah saya, anjing-anjing jahil di sekitar jalan sibuk mendengkingi saya. Sebelum insting lari saya mengudeta insting bertarung, tak disangka, anjing tetangga saya menyalak balik anjing-anjing nakal yang mengganggu saya. Itu salah satu momen yang memengaruhi cara berpikir saya sampai saat ini.

Hal-hal menjadi agak mengganggu ketika saya merantau ke tanah Parahyangan. Memang di sini, bahasa Sunda yang sering kita hapal adalah kata-kata kasar. Salah satunya yang gampang diingat: “anying”, artinya anjing. Makian itu membuat kata “anjing” tercemari konotasi negatif, seolah mangafirmasi ketidaksetiaan kita atas usia panjang persahabatan dua spesies. Frasa anjing itu, benar-benar makian yang tidak manusiawi, tidak bermartabat. Makhluk yang bisa membuat Bajak Laut ketemu kemuliaan gereja dan pelacur diterima haribaan surga, tidak pantas dijadikan kata-kata makian.

Membaca buku John Steinbeck, akhirnya, membuat saya harus menghindari kata-kata “ajg” ketika lagi main Mobile Legend. Dan ini barangkali salah satu pencerahan terbaik saya bertahun-tahun ini. Bagaimana kita bisa menjadikan nama anjing sebagai makian sedangkan Rumi pernah berujar: “Petiklah hikmah, meski dari mulut anjing sekalipun.