Manuskrip yang menjadi petunjuk masuknya catur dari Persia ke Arab. (Abu'l Qasim Firdausi/Metmuseum.org)
Permainan hitam putih ini
dikenal berasal dari India abad ke-6 dengan nama chaturanga, berarti empat unsur terpisah. Tapi beberapa ahli
menyangsikannya, sebab tidak ditemukan literatur Sanskrit yang menyoal catur pada
masa-masa itu. Justru gim ini muncul dalam syair-syair Cina klasik 800 tahun
sebelumnya. Menurut Ismail Sloan, di Cinalah catur pertama kali dimainkan.
Meskipun waktu itu bentuknya bukan kotak-kota, melainkan bulat-bulat.
Lalu pada abad ke-6, catur
dibawa orang Islam dari India dan Persia ke pelosok dunia. Konon, pada zaman
kekhalifaan Ali bin Abu Thalib, catur merupakan permainan yang populer—bahkan
mungkin dimainkan pula oleh Ali sendiri. Dari Maysaroh bin Habib, ia berkata: “Ali
bin Abu Thalib ra. pernah melewati suatu kaum yang tengah main catur. Lantas ia
berkata, ‘Apa gerangan dengan patung-patung yang kalian I’tikaf—atau berdiam
lama—di depannya?’” (HR. Al Baihaqi 10:212).
Pun ada yang menyebut bahwa
panglima perang Nabi Muhammad, Khalid bin Walid teramat menyenangi catur
(barangkali ini ada relasinya dengan kelihaiannya menyusun strategi perang).
Kita kenal juga Said bin Jubair, tabi’in (sahabat Rasul) yang tersohor bisa
main blindfold (catur buta, bermain
tanpa menengok papan catur). Di zaman kekhalifaan selanjutnya, khalifah Harun al-Rasyid
pernah menghadiahkan papan catur kepada raja Eropa, pendiri dinasti Carolia,
yakni Charlemagne.
Pada abad ke-8 tatkala
bangsa Moor menyebar Islam ke Spanyol, catur mulai merambaki daratan Eropa sampai di Jerman, Italia,
Belanda, Inggris, Irlandia, dan Rusia. Di Eropa, catur ini kemudian mulai
berkembang pesat kira-kira abad ke-10: mulai dari diperkuat tupoksi ratu—yang
kalau dipikir-pikir, sarat spirit feminism—, pengembangan nama, bentuk, dan
peraturan, munculnya konsep promosi pion, diperkenalkan permainan catur cepat,
dan banyak lagi yang bertumbuh dewasa seiring dengan usia peradaban umat
manusia.
Pada abad pertengahan, sang
malaikat maut pemikul sabit dikenal gemar memainkan catur di samping main
violin. Terdapat lukisan berjudul Döden spelar schack (Death Playing Chess),
karya Albertus Pictor pada 1480, di sana sang Maut lagi menggenggam bidak di
atas hitam-putih meja catur, seperti mengalkulasi langkah kuda troya berwarna
hitam yang hendak menyiduk benteng musuh.
Dengan mata penuh selidik,
saya sempat menaruh curiga bila lukisan Albertus itu merupakan ilham bagi Ingar
Bergman, sineas kondang abad lalu, untuk melahirkan Seventh Seal (1958). Film itu dimulai dengan seorang veteran perang
salib/sabil bernama Antonius Block yang disambangi malaikat ajal. “Apa kau
sudah siap?” tanya malaikat tanpa alis itu. “Tubuhku telah siap kau ambil, tapi
tidak dengan jiwaku.” Syahdan, veteran itu menantang sang malaikat main catur
dengan niat terselubung: kematiannya bisa ditangguhkan barang sesaat. (barangkali
Antonous Block juga menyadari dari dongeng, nyanyian rakyat, dan lukisan abad
pertengahan, bahwa maut gemar main catur.)
Syahdan, veteran perang
salib itu berhasil menangguhkan takdir, dan membuktikan bahwa kematian memang
senang bermain-main dengan kehidupan.
Di Russia sendiri, kita
kenal novela fiksi sains karangan Aleksandr Abramov yang dipublikasikan tahun
1926. Novel tipis itu berkisar tentang seorang matematikawan Moskow yang
berambisi membuat mesin catur yang dapat menaklukkan manusia di atas papan 8x8.
Setengah abad kemudian, mesin catur itu bukan lagi fiksi, ia bernama Deep Blue
yang mengalahkan grand master catur global, Garry Kasparov pada 1997. Hari-hari
ini bahkan kita tahu Deep Blue telah berevolusi menjadi berbagai macam nama,
sebut saja AlphaZero, Leela Chess Zero, Stockfish 10, dan seterusnya, dan
seterusnya.
Nah! Bila musuh utama
manusia di gelanggang catur abad pertengahan sampai abad silam adalah maut, dan
musuh manusia di akhir abad lalu adalah Artificial Intelligences, maka belakangan
ini, muncul musuh baru palagan catur: justifikasi moral. Lini masa media sosial
kita adalah gerai bagi wacana ini. Ramai-ramai warganet menyoal UAS yang
menyatakan keharaman catur dengan mengutip fatwa ulama Saudi dan pendapat imam
Hanafi, di negeri yang konon menganut mahzab Syafii ini—yang justru dalam
mahzab Syafii, catur hukumnya makruh.
Lalu saya bayangkan sebuah
adegan dalam benak saya. Berangkat dari dalil “mereka yang menyerupai suatu
kaum akan dibangkitkan dengan kaum itu”, maka mungkin UAS bakal dibangkitkan
bersama umat baginda Rasul di pengadilan terakhir. Seraya menunggu antrian, UAS
asyik bergaul dengan sahabat-sahabat Rasul. Untuk membunuh waktu, ia lalu
mencoba peruntungan main catur dengan Khalid bin Walid, Said bin Jubair, dan
Harun al-Rasyid. Ratusan, bahkan ribuan kali permainan selalu berakhir dengan
langkah sama: raja UAS terpojok oleh skakmat.
Melihat kekalahan UAS
berkali-kali, Albertus Pictor dan Ingmar Bergman lalu memberi kursus singkat
pada UAS tentang strategi-strategi modern memanfaatkan kuda hitam yang dengan
gegas menyergap benteng Troya lawan, strategi andalan ketika malaikat maut
menyudutkan kehidupan.
Berbekal taktik itu, ia
kembali menantang ketiga grand master catur dari jazirah Islam. Tak dinyana,
jemari UAS kian lihai mencekuti bidak-bidak catur, menggeret langkah secepat
menggarit korek api. Syahdan, bidak raja Harun al-Rasyid, benteng Khalid bin
Walid, serta gajah Said bin Jubair ditaklukan kuda hitam UAS dengan kemenangan
gemilang. Seketika itu UAS meloncat kegirangan. “Bon voyage! Bon voyage! Bon
voyage!” Sejurus kemudian, dengan gerak tubuh yang agak dibikin-bikin, ia
menunjuk lawan-lawannya dengan cara paling keren yang ia tahu sembari mengutip
Pram: “Berterimakasihlah kepada semua hal yang memberimu kehidupan, sekalipun
itu seekor kuda!”
------------------------
Oke. Melanturnya saya
cukupkan sampai di sini. Keasyikan menulis tentang catur saya sampai lupa harus
salat magrib. Bon voyage, warganet.
0 Komentar