Ket: Tragedy -- Gustav Klimt


Lucifer pada mulanya adalah seorang malaikat fajar yang bertengger di langit ketika ufuk timur dironai matahari. Suatu insiden membuatnya menerima kutukan lalu menjelma jadi raja iblis yang sampai hari ini bersetia menghasut manusia terperosok ke liang neraka. Kisah itu terekam dalam tradisi biblikal. Dalam “Iblis Menggugat Tuhan”, sang pangeran neraka mengeluh: “Bila aku adalah penghasut manusia, maka siapakah yang menghasutku untuk menjerumuskan Hawa?” Iblis adalah makhluk baik yang melakukan kejahatan.

Adalah Philip Zimbardo, dengan bukunya bertajuk The Lucifer Effect, yang bilang bahwa setiap manusia punya kecenderungan untuk berbuat jahat. Dalam Bannality of Evil, Hannah Arrendt, seorang terdakwa holocaust dibela olehnya karena orang tersebut mengaku berbuat baik karena kepatuhan kepada sang fuhrer, ia mengaku tangannya tidak dilumuri dosa kemanusiaan sebab menjagal orang-orang Yahudi merupakan kebajikan luhur baginya. Efek Lucifer adalah kisah, bahwa orang baik rupanya bisa berbuat jahat—dan kita banyak temukan faktanya pada agama. Sebagaimana Lucifer itu sendiri, yang dengan cepat bertransmisi dari sesosok malaikat menjadi iblis.

Baru-baru ini, lini masa kita diserbu oleh meme yang memaklumkan adagium Joker ala Joaqin Phoenix: “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti.” Seolah mereka yang berlaku jahat menerima legitimasi atas kejahatannya. Setidaknya itu menurut asumsi saya. Sebab orang tidak mau mengakui kejahatannya—kita enggan mengakui diri salah atau buruk atau jahat merupakan kecenderungan psikologis bernama dunning-krueger effect.

Yang menjadi soal apabila adagium itu digeneralisir sampai ke titik yang mana setiap kejahatan merupakan kebaikan yang tak dihargai; orang jahat pada mulanya adalah baik tapi dirisak oleh orang jahat. Bukankah kejadian tersakiti yang traumatis tidak sesederhana itu?

Oleh Rosin Rosenberg, seorang psikolog yang gemar meneliti kepribadian superhero dan supervillain, pada mulanya setiap orang memiliki sistem keyakinan dan mematok tujuan di atas keyakinan yang ajek itu. Perubahan nilai dan keyakinan terjadi pasca seseorang mengalami kejadian traumatis. Dalam contoh kasus X-Men misalnya, sebuah peristiwa holocaust bisa menciptakan dua orang berbeda: satu protagonis dan lainnya antagonis; Prof Xavier dan Magnetto.

Peristiwa traumatis adalah momentum di mana seorang memaknai kehidupannya dengan cara yang baru, menambal sistem nilai yang lama dengan yang baru, memperbaharui hierarki nilai yang dia anut dalm sanubarinya. Kematian orangtua Bruce Wayne membuat dia menjadi Batman suatu kelak. Kegagalan sebagai komedian dan penghinaan bertubi-tubi dari sistem sosial membuat Arthur Fleck menjelma jadi Joker yang nihilis dan anarkis.

Satu peristiwa traumatis adalah titik balik di mana seseorang memaknai hidup dengan cara baru, tapi tidak semua peristiwa traumatis yang sakit membuat orang baik menjadi jahat (Arthur Fleck menjadi Joker), dalam beberapa kasus, orang baik justru jadi lebih baik lagi (Bruce Wayne menjadi Batman). Dan gradasi antara keduanya, seolah hanya berjarak seembusan napas saja.