Ket: The-Cafe-Terrace-on-the-Place-du-Forum. Van Gogh
Kadang ketika lagi bosan,
saya iseng menulis kutipan di uang kertas saya: “Di hadapan uang, kita semua
beragama sama.” Kata-kata itu dari Voltaire. Saat pertama kali mendengarnya,
saya tersenyum pahit. Agak masam sebenarnya. Saya punya sedikit harapan, bila
nanti uang ini sampai ke tangan orang lain, semoga mereka merasa sensasi yang
sama. Lalu tiba-tiba sebohlam lampu menyala di otak saya. Saya penasaran, sejak
kapan sebenarnya uang ini dipakai manusia?
Pada masa lampau, alat tukar
dalam aktivitas perdagangan bukanlah uang kertas, melainkan emas dan perak.
Permasalahannya, emas dan perak ini bukan barang yang gampang disimpan di
kantong. Risiko dibegal atau dicoleng begitu besar. Demi menjaga keamanan
perdagangan setiap orang yang cemas, maka perak dan emas tersebut harus
disimpan dengan baik. Mereka menyimpannya ke tukang emas lalu tukang emas akan
membuat tanda terima semacam nota bahwa emasnya disimpan di toko tersebut.
Tanda terima tersebut lebih
praktis dibawa. Bisa dimasukkan ke kantong dan bisa digunakan sebagai alat
tukar sewaktu berdagang. Tanda terima inilah nenek moyang uang kertas.
Sampai suatu saat, ada
seseorang yang memiliki emas yang sangat banyak sampai menjabal di gudangnya.
Katakanlah 100 kilogram emas. Ia pun memutar otak lantas berinisiatif membikin
surat tanda terima berutang sebanyak-banyaknya agar orang-orang berutang emas
kepadanya lantas mereka peroleh surat tanda berutang yang lebih praktis dibawa
kemana-mana. Dari peristiwa itulah sistem perbankan pertama dimulai. Dan
aktivitas ekonomi kemudian terjalin. Dengan kata lain, sejarah uang merupakan
hikayat tentang utang; peradaban manusia dibangun oleh utang.
Tetapi utang yang bagaimana?
Kata Poltak Hotradero, utang yang dimaksud adalah utang yang dijamin bisa
dibayar. Namun terdapat aktor yang punya berutang dalam skala besar, semisal
kerajaan, kekaisaran, atau negara. Oknum ini biasanya berutang untuk berperang.
Karena perang butuh biaya besar, semisal persenjataan dan persediaan makanan
dalam setiap ekspedisi. Bila ternyata menang perang, maka utang itu wajib dibayarkan.
Problematikanya, tidak semua
perang bisa dimenangkan negara. Konsekuensi logisnya, terjadilah pengemplangan
utang besar-besaran oleh negara karena kekalahan perang. Inilah fase penting
yang menstimulus demokrasi diam-diam lahir. Dahulu di Inggris, terdapat raja
yang gemar berperang. Namanya King John. Ia selalu berutang pada
bangsawan-bangsawan Inggris. Tetapi karena selalu kalah perang, maka para
bangsawan bersekutu untuk mengendalikan nafsu berperang raja. Dibuatlah piagam
Magna Charta, yang memuat aturan bahwa raja harus minta izin terlebih dahulu kepada
parlemen untuk berperang.
Parlemen tersebut beranggotakan
para bangsawan Inggris yang di sana dikenal dengan nama House of Lord. Dengan begitu, parlemen bisa mengontrol dan mengevaluasi
kemampuan negara untuk membayar utang dengan mengalkulasi risiko kekalahan
serta peluang kemenangan berperang. Utang kemudian semakin bisa dikendalikan
sebagaimana kita menutup mata kuda pacu yang terkenal liar.
(Kita juga bisa bilang bahwa
sejarah parlemen adalah sejarah penguasa modal menyelinap ke sistem kenegaraan.
(Tidak heran kontestasi ke gedung parlemen sering tampil sebagai pertarungan
soal siapa yang punya kekuatan kapital lebih banyak.) Wajar bila salah satu
tupoksi legislatif adalah mengelola anggaran negara. Parlemen ini kemudian
dalam teori trias-politika Montesqieu, merupakan penyeimbang kekuasaan agar tak
terjadi penyelewengan kekuasaan (abuse of
power) oleh lembaga eksekutif, dan agar parlemen tidak juga melakukan
penyelewengan kekuasaan, maka dibuatlah mahkamah yudikatif untuk menyeimbangi
kekuasaan parlemen.)
Persoalan pentingnya uang
ini baru saya alami sekitar lima tahun lalu. Saat itu saya berkesempatan ikut
serta dalam training LK-3 di Maluku-Maluku Utara. Salah seorang instruktur
meminta saya menjelaskan makna pahlawan di lembaran uang kertas dan kearifan
lokal di dalamnya. Saya diminta menjelaskan makna gambar Otto Iskandar Dinata
dan perkebunan teh di uang dua puluh ribu rupiah. Saya ditanyai karena delegasi
Bandung saat itu, dan saya tidak bisa menjawab. Seketika saya diomeli “Goblok,”
kata instruktur itu dengan geram. Saya kaget karena tidak bisa menjawab
pertanyaan itu, sekaligus penasaran, sepenting apa semiotika di uang kertas
yang membuat saya harus tahu maknanya?
Uang, bagi instruktur galak
itu, adalah perlambang dari harga diri bangsa. Itu pernyataan mengejutkan untuk
saya, sebab jamaknya uang merupakan penanda (signifier) dari kemampuan orang untuk memiliki properti atau
prestise seseorang dalam hierarki sosial. Pernyataan uang sebagai harga diri
bangsa kemudian saya anggap sebagai proses dekolonialisasi yang membuat kita
berdaulat bukan saja secara politik tapi ekonomi. Terlepasnya belenggu kolonial
yang mencari Gold (di samping
kejayaan dan penyebaran agama), membuat uang Indonesia tidak lagi milik oknum
luar yang ekstraktif. Kita berdaulat bisa mengatur ekonomi ktia sendiri, karena
itulah uang jadi alat ukur harga diri.
Tapi sekali lagi: sejarah
uang adalah sejarah utang. Barangkali wajah-wajah pahlawan masa lalu mampang di
uang kertas karena menjadi pengingat bahwa kita harus membayar utang kepada
mereka, dengan merawat negara ini. Seperti kata seorang penyair, “Kita tidak
berutang nyawa kepada mereka. Kita berutang makna.” Surat tanda berutang yang
kini terselip di dompet dan ATM kita, harus dicairkan dalam kenangan kita:
mereka yang telah tumbang di belakang sejarah membayar utang budi kepada anak
cucu dengan memberi napas kebebasan, kita yang hidup hari ini membayar utang
kepada anak cucu umat manusia lewat memelihara kemerdekaan dunia.
Saya tahu tulisan kali ini
terkesan agak romantik, tapi kita juga harus tahu, sikap nasionalisme sempit
dalam semiotika uang sudah tidak relevan. Nasionalisme saya adalah apa yang
terdapat dalam definisi Mahatma Gandhi: nasionalisme adalah humanisme. Toh
dalam pergaulan internasional, tetap saja Indonesia menggunakan mata uang
dollar sebagai alat tukar.
Nah soal dollar ini, ada hal
yang menarik. Kembali ke pernyataan instruktur di Maluku-Maluku Utara bahwa uang
merupakan penanda akan harga diri, maka apakah tolak ukur harga diri dollar
yang dicetak dengan massif oleh Rotschild, yang memiliki mesin pencetak uang
global? Di dollar, kita tahu, tercetak dengan gamblang frasa “In God We Trust”
(kepada Tuhan, kami percaya). Namun dalam film They Live (1988) yang diulas dengan baik oleh Salvoj Žižek dalam The Perverted Guide to Ideology, lewat
kaca mata kritik ideologi, uang itu bermakna: “Akulah Tuhanmu!”
Pada titik ini kita bisa
memparafrasekan secara radikal adagium Voltaire yang berbunyi “di hadapan uang,
kita semua beragama sama” menjadi “di hadapan uang, kita semua bertuhan sama”.
Sejarah kita memang tentang menuhankan uang, tentang menuhankan utang, dan
selalu kita melunasinya kepada hasrat dari apa yang dihasrati yang-lain (désir de sen désir). Kita boleh berbeda
agama, ras, bangsa, bahasa, dan marga, tapi kita tidak pernah berselisih paham
soal uang. Bukan ideologi dan agama yang membuat kita bersatu. Uanglah
pemersatu itu.
Fakta ini memang pahit. Tapi
bukankah kebenaran memang tidak pernah semanis kebohongan?
0 Komentar