*Vincent Van Gogh - Still Life with French Novels and a Rose - 1887


Pada masa depan negara Amerika yang distopia, yang masyarakatnya telah diperbudak media, dibius obat-obatan, dan konformitas: menyimpan buku adalah tindakan kriminal. Bila Orwell memiliki “polisi pikiran”, Ray Bradburry memiliki “petugas kebakaran” yang bukannya memadamkan api melainkan menyalakannya sampai titik didih empat ratus lima puluh satu derajat farenheit di tengah perpustakaan rahasia warga, sampai rak-rak buku berdetar, sampai kertas-kertas melayang sebagai kupu-kupu abu. “Bakar sampai abu, lalu bakar abunya” merupakan slogan Montag dan rekan-rekan seprofesinya.

Petugas Kebakaran adalah pekerjaan yang membuat orang-orang segan. Montag menikmati prestise itu selama sepuluh tahun bekerja. Kebengisan, gengsi, dan maskulinitas bertengger di dada kiri mereka. Petugas kebakaran bahkan tidak ragu-ragu membakar habis seisi rumah meskipun masih ada orang di dalamnya. Peristiwa itu juga yang menjadi titik balik bagi kehidupan Montag.

“Pasti ada sesuatu dalam buku-buku … sampai-sampai ada wanita yang ingin tetap tinggal di rumah terbakar,” ujar Montag kepada istrinya. Ia baru menyadari bahwa selama ini hidup sebagai cangkang kosong, seperti ada yang hilang. Rasa penasaran membuat tanggannya gatal, sehingga ia mengambil risiko melakukan hal ilegal: menyelundupkan beberapa buku lantas membawanya pulang. Di negeri itu, menyimpan buku dapat membuat seorang petugas kebakaran mengidap demam karena ketakutan. Diam-diam Montag ngeri, suatu saat, tulang-belulangnya akan menjadi debu karena kejahatan itu.

Negeri dIstopia Bradburry membenci buku, sebab buku membuat orang-orang berpikir. Dan pikiran, adalah prasyarat kebebasan. Petugas kebakaran dan warga yang patuh pada status quo tidak lebih dari wayang, dan itu lebih baik bagi dalang kekuasaan. Fahrenheit 451 kemudian jadi ilham bagi Michael Moore (komentator politik ternama Amerika) membuat film berjudul Fahrenheit 9/11. Jargon film doKumenter ini adalah “The Temperature at Which Freedom Burns” (suhu yang membakar kebebasan). Benang merahnya dengan Ray Bradburry masih sama: tatkala literasi publik dikendalikan pemerintah, kebebasan berpikir terkerangkeng.

Bolehlah kita bilang bahwa pemberangus buku dari masa ke masa adalah penjagal kebebasan, penjagal kemanusiaan. Pemerintah totaliter dari zaman kuno, Byzantium, sampai abad ini teramat menyadari: literasi akan memberi kesadaran akan adanya penindasan; kebodohan ialah prasyarat bagi diktatorianisme bertahan. Maka mereka bikin festival membakar buku di Jerman dan negara otoriter lain, melenyapkan kebebasan berpikir itu sampai menguap ke arah langit malam. Laporan dari Central of Connecticut State University (CCSU), negara yang tidak memberi ruang bagi aktivitas literasi cenderung melakukan represi terhadap hak asasi manusia, berpikiran sempit, bahkan brutal.

Indonesia sempat mengalami masa-masa seperti itu. Di Orde Baru, pemerintah membredel pers dan melarang pengedaran buku-buku yang berpotensi membangkitkan gairah perlawanan. Forum-forum diskusi diawasi ketat oleh militer—yang membuat kita ingat ketika kolonial mengawasi diskusi Kongres Pemuda di Batavia dahulu kala. Kolonial pra-proklamasi dan kolonial Orba mahfum betul, satu-satunya ancaman bagi kenyamanan kekuasaan adalah aktivitas berpikir manusia dalam iklim literasi.

Karena itu, seorang founding father berkata: “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku.” Orang itu, Mohamad Hatta, dibuang ke Digul yang dikepung oleh hutan dan malaria, seraya menjaga kewarasan dengan buku-bukunya (Hatta yang jenaka dikenal karena menjadikan buku sebagai mas kawin. Ada lelucon bahwa Rahmi istri keduanya, istri pertamanya buku.) Seorang pengacara di cerpen “Pertaruhan” Anthon Chekov pun mengalami hal sama, tatkala disekap dalam paviliun selama lima belas tahun, membaca pelbagai buku menjaga hati nuraninya agar tidak ikut tersekap jeruji besi.

Syahdan, Montag pun lambat laun keluar dari jeruji itu; sang petugas kebakaran melakukan pemberontakan pertamanya dengan membakar para petugas kebakaran yang lain. Ia bersama Faber bekerja sama untuk mencetak buku sebanyak-banyaknya. Montag dipersekusi oleh para Anjing Pemburu sampai di satu hilir sungai ia dipertemukan dengan para intelektual yang hidupnya menggelandang.

Granger, salah seorang gelandangan itu bertututr tentang hikayat burung api, “Dahulu, sebelum masa Kristus, terdapat burung sialan bodoh yang disebut Burung Api. Setiap beberapa ratus tahun ia membangun api unggun dan membakar dirinya sendiri. Tapi setiap kali membakar dirinya, ia terlahir kembali dari abu… Tapi kita memiliki satu hal yang tidak pernah dimiliki si Burung Api… suatu hari kita akan berhenti membangun api unggun pemakaman itu dan meloncat ke tengah-tengahnya.”

Peradaban umat manusia hari ini telah berhasil memadamkan api unggun pemakaman itu (meski di beberapa negara yang masih totaliter, kebebasan masih membara di bawah jilat burung api). Api tidak hanya menghanguskan buku, pun ingatan dan imajinasi masa silam yang memuat arwah mereka sampai ke kita. Akhirnya, membaca buku—setidaknya bagi saya—adalah ikhtiar terus menerus menziarahi sesuatu yang subtil; menerawangi keakraban spiritual dari keajaiban kata-kata yang pada mulanya tidak pernah ada. Setiap mengeja aksara selalu saya dengar mereka berbisik dalam pikiran saya paling privat dengan meminjam suara saya sendiri. Saya kira, “Fahrenheit 451” haram hukumnya dibakar. Di manapun anak-anak dan cucu kita membangun kehidupan, karya Ray Bradbury ini harus tetap hidup, agar generasi nanti tidak sekadar mewarisi abu.