(God Measuring the World with the Compass)
Saya terpingkal membaca
status seorang kawan FB: “cara memberi selamat Natal tanpa dikofar-kafirkan: baraqallahu fii umriq Yesus Kristus.” Teman
FB lain men-screenshot terjemahan
google dari Merry Christmas menjadi “eid milad saehid”. Setengah bercanda, saya
kira inilah cara paling “Islami” mengucapkan selamat natal tanpa cemas
dikofar-kafirkan umat Islama wkw.
Dan sebagaimana ritus
tahunan di negara bermayoritas Islam arogan ini, wacana haram-halal ucapan
selamat natal kembali bergema di ruang publik digital kita. Tapi menurut saya,
katakanlah kita tidak secara intensionalitas mengucap selamat natal lewat
tutur, toh emosi euforia dan alam bawah sadar tidak dapat menyangkal: diam-diam
ada kata “Alhamdulillah” berkelabat cepat dalam benak kita.
Kita boleh saja tidak
mengucapkan selamat natal lewat tutur, tetapi tindakan kita dapat saja dinilai
mengikutsertakan diri dalam euforia natal. Bisa saja kita menolak natal tapi
bersukur Alhamdulillah karena saudara tak seiman kita menyumbangkan tanggal
merah di kalender. Kita mungkin akan liburan ke tempat-tempat wisata yang sulit
dilakukan di hari kerja biasa. Kita mungkin akan berburu barang belanjaan di
hari natal dan tahun baru yang lagi cuci gudang. Kita barangkali tanpa sadar
menikmati keguyuban akrab mengelumuni kita di hadapan keriut pohon cemara yang
dihiasi di ruang publik, derai-derai tawa Tuan Santa yang bermain dengan
anak-anak, atau menonton “Home Alone” di rumah dengan kudapan seadanya seraya
mengenang masa kanak yang jauh dan lugu itu.
Nah, setelah saya telusuri,
saya temukan dalil yang sering dipakai orang yang mengharamkan selamat natal:
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari kaum itu” (HR. Abu
Dawud dan Ahmad). Ini disebut juga “tasyabuh” atau mengikuti orang kafir.
Karena natal adalah budaya orang kafir, maka kita dilarang untuk mengucapkan
selamat untuk mereka yang merayakannya.
Ini mengusik saya. Kalau
begitu, adakah tradisi yang benar-benar Islam? Bukankah pakaian koko yang
sering kita pakai ke masjid berasal dari Cina yang dilabeli komunis bin kafir
bin anti-Pancasialis? Bukankah bersedekap ketika salat berasal dari ritual para
penyembah api? Bukankah metode penemuan hukum Islam bernama qiyas berasal dari
logika silogisme Aristotelian sepuluh abad sebelum Muhammad lahir? Bukankah
tradisi berjilbab, menurut Murtadha Mutthahhari, pertama kali muncul di India
kemudian Persia sebelum menjadi syariat Islam?
Saya pengen bilang
sesungguhnya, bahwa aspek-aspek prinsipil dalam agama pun tetap saja adalah
hasil akulturasi dari sistem keyakinan lain di luar Islam. Apakah bila kita
tetap menjalankan warisan tradisi lain itu kita akan dibangkitkan di pengadilan
terakhir bersama orang-orang cipit, orang Yunani abad ke-7 SM, para majusi, dan
perempuan-perempuan India-Persia pra-Islam? Saya tidak tahu. Tapi untuk
mengetahui lebih mendalam soal hadith itu, tidak ada cara lebih baik selain
mencari tahu raison d’etre/asbab al nuzul lahirnya hadith tersebut.
Hadith tersebut pada mulanya
lahir sebagai bentuk politik identitas umat Islam zaman Madinah untuk menjaga
disintegrasi umat. Karena dahulu sifat pembeda (differentia) antara Yahudi, Nasrani, dan Islam susah dipastikan
karena berakar dari suku, bahasa, dan akar budaya yang sama, maka seringkali
umat non-Islam pada pagi hari bersyahadat lantas mengikuti diskusi soal
strategi dakwah kemudian sorenya mereka kembali murtad. Orang-orang itu dalam
Quran disebut sebagai kaum munafiqun. Untuk memperjelas garis demarkasi
identitas, maka Muhammad saw pun mengeluarkan kata-kata tersebut.
Hadith ini pun tidak terlalu
kuat dijadikan pegangan, setidaknya menurut Prof Nadiersyah Hossen, ulama
andalan saya. Olehnya, sanad hadith tersebut tidak kuat karena tidak
diriwayatkan oleh dua kitab utama, yakni sahih Bukhari dan sahih Muslim. Banyak
ulama berselisih paham soal hadith itu: ada yang sepakat, ada yang tidak, ada
pula yang bilang dhaif (lemah kekuatan kebenarannya).
Dari Nadirsyah Hossen juga
saya mengetahui bahwa dalam kaidah hukum Islam terdapat konsep al-‘adah muhakkammah. Bahwa tradisi yang
tak bertentangan dengan pokok-pokok kaidah Islam (ushul) bisa diakui dan diakomodir dalam ekspresi keislaman kita.
Islam sesungguhnya agama inklusif dan dinamis. Bahkan penyebaran Islam pertama
di Indonesia tidak mungkin terwujud tanpa upaya kreatif dalam gerakan strategi
kebudayaan Wali Songo. Gerakan Islam pertama di Nusantara memang adalah Islam
konteks, “Islam Teks” atau skriptualis sendiri muncul tatkala Terusan Suez
dibuka dan paham-paham syariat serta fiqh menggempur Nusantara sekitar abad
ke-18 kalau saya tidak salah ingat.
Toh bila saya pakai baju
koko, bukan berarti aqidah saya mengikuti komunisme; kalau saya pakai qiyas
untuk menghukumi bayi tabung yang belum ada di zaman nabi bukan berarti saya
beraqidah kepada Aristoteles yang berhaluan Paripatetik itu; kalau ibu saya berjilbab
bukan berarti ibu saya beraqidah kepada dewa-dewi India serta tuhan apinya
Persia pra-Islam; hanya karena saya bersedekap ketika salat bukan berarti saya
lagi menyembah api atau dinding di depan saya; hanya karena saya mengucapkan
“baraqallahu fii umriq” bukan berarti saya mengimani Yesus al-Masih sebagai
Tuhan.
0 Komentar