A Girl with a Basket of Fruit (1863) - Frederic Leighton

Kenapa lebih banyak jumlah poligami daripada poliandri? Dan kenapa seiring modernnya zaman, praktik monogami lebih banyak terjadi? Kita mungkin bisa mengatakan bahwa semakin meningkatnya peran, partisipasi, serta makna perempuan dalam hierarki sosial merupakan faktor utamanya. Paradigma institusi perkawinan yang didominasi oleh perspektif laki-laki dalam patriariki memang cenderung melumrahi bahkan memuliakan praktik proligami. Tetapi kiwari, perempuan telah melampaui nasib malangnya di belakang zaman yang berdarah-darah dan banyak yang sia-sia, mereka telah menduduki peran-peran penting dalam gerakan intelektual, politik, maupun ekonomi dalam artian makro. Dunia tidak lagi dilihat dari kaca mata pria.

Lelucon Foucault bahwa sejarah (history) merupakan kisah tentang laki-laki (seolah-olah history berasal dari dua suku kata: “he” + “story”) lambat laun mulai bergeser menjadi lebih inklusif, dan kutukan jenis kelamin kelas dua semakin rontok oleh kemajuan nalar manusia. Saya bersyukur untuk hal-hal itu. Meskipun demikian, bukan berarti praktik poligami benar-benar raib dari muka bumi.

Pernah saya melihat di lini masa media sosial sebuah pamflet yang menyiarkan ajakan mengikuti seminar untuk memperkuat keterampilan berpoligami. Para pembicaranya memakai baju koko import dari Cina dengan “prestasi” yang tercetak tegas di bawah foto mereka: “praktisi poligami dengan empat istri”. Saya baru tahu kalau hal begituan bisa dikemas dalam sebuah workshop. Benar-benar membikin heran bila tabiat begituan bisa dijadikan bahan kebanggaan yang seolah wajib disebarluaskan ilmunya.

Setahu saya, bukankah Rasul sendiri menikahi mereka yang sudah janda, yang suaminya gugur di medan perang, serta yang usianya sudah renta? Ada “konteks” di balik poligami yang dilakukan Muhammad saw. Maka bukan hal mengejutkan apabila sang Rasul tidak merestui Ali untuk berpoligami.

Hari-hari ini, upaya poligami bagi laki-laki kok saya lihat sebagai perwujudan libido seksual yang dibungkus dengan pasal-pasal agama dan kata-kata manis seperti “keadilan” bla bla bla. Tidak sulit menyadari motif seperti ini. Sejauh yang saya lihat, misalnya, istri kedua atau kesekian biasanya lebih cantik dan lebih muda ketimbang istri pertama.

Saya ingat dengan seorang kawan perempuan, ia adalah anak dari orangtua laki-laki yang berpoligami. Kelak, kata dia, bila suaminya mau poligami, ia tetap akan mengizinkan tetapi syaratnya istri kesekian itu harus dipilihkan oleh dia bukan oleh sang suami. Saya pikir itu strategi yang baik juga. Pun bila kita menyimak konteks poligami itu, seharusnya daripada merekrut istri surplus dari golongan cantik-cantik dan masih muda, kenapa tidak sekalian dipilihkan janda tua yang suaminya banyak gugur di palagan perang di Timur Tengah sana?

Saran saya untuk perempuan apabila kelak dimadu suami: iyakan mereka, tapi ingatkan bahwa syaratnya adalah mengambil istri dari janda-janda lemah dan renta dari korban peperangan. Sunnah nabi kan?

Dalam buku “Why Men Don’t Listen & Women Cant Read Maps” karya Allan dan Barbara, tersebutlah bahwa 80% masyarakat manusia zaman silam merupakan masyarakat yang poligamis. Di era primitif, monogami memang bukan default system spesies kita. Dorongan libidinal yang terprogram di otak pria—yang bertanggung jawab atas desakan internal untuk berpoligami—merupakan warisan dari evolusi biologi manusia. Sepanjang sejarah spesies kita, presentase pertempuran menyebabkan jumlah pria tumbang satu per satu di medan perang. Dalam masyarakat tribalistik, hal ini bisa menjadi ancaman akan survivalitas kelangsungan suku. Karena meningkatnya jumlah janda setelah itu, maka masyarakat persukuan membuat sebuah harem yang diperuntukkan kepada pria yang kembali dari medan perang. Harem tersebut merupakan strategi bertahan hidup yang sangat efektif di zaman tribal seperti itu.

Praktik itu berjalan selama ratusan, atau bahkan ribuan tahun lamanya. Sebagai tambahan, pria modern masih saja dilengkapi dengan hipotalamus yang lebih besar dan jumlah massif dari testoteron sebagai warisan biologis nenek moyang, senantiasa mencari cara memenuhi desakan untuk melakukan prokreasi. Inilah sebabnya pria begitu agresif secara seksual ketimbang perempuan, dan kenapa praktik poligami menjadi lebih dominan sedangkan poliandri kena stigma di mata kita. Secara biologi, pria memang tidak cenderung menyukai monogamy.

Otak laki-laki yang memang tidak cocok dengan monogami bisa kita lihat dari industry seks yang berorientasi laki-laki. Secara praktikal, semua pornografi, video erotis, prostitusi, dan gambar-gambar vulgar memang diarahkan untuk pria, menunjukan bahwa ketika kebanyakan pria hidup dalam kehidupan monogami, otak mereka sendiri menuntut situasi mental yang poligamis.

Sampai di sini, saya bukannya mau mempromosikan fakta bahwa pria—termasuk saya—memang harus hidup sesuai dengan fitrah biologis seperti ini. Yang ingin saya tunjukan adalah, poligami merupakan sisa-sisa praktik primitif di tengah kemajuan modern umat manusia yang sebenarnya tidak lagi relevan. Bila dahulu poligami serta harem didirikan demi perang, maka di atas planet yang telah melanggar aksioma pistol Chekhov ini, apalagi alasan poligami selain justifikasi hasrat seksual semata? Menjadi manusia pada abad ke-21 dan seterusnya merupakan ikhtiar tak sudah-sudah untuk menaklukkan dan menundukkan residu kebinatangan nenek moyang yang masih melekat dalam diri kita!