A Sage (Abad ke-12) - Liang Kai

Bagaimana kalau saya jadi tuhan ya?

Mengambil sedikit ilustrasi dari film Bruce Almighty, saya barangkali dapat menarik jarak bulan dengan laso khas koboi kampus, sampai dengan sesuka hati membiarkan air pasang laut menggelepar bersama angin selatan, sampai seorang pemalas tak berguna dalam masyarakat bisa saja memenangi undian lotere yang sekejap kilat menyulap nasibnya jadi manusia kaya raya.

Tapi belajar dari hubungan saya dengan Tuhan, saya bakal lebih hati-hati sih. Pernah saya berdoa kepada Tuhan agar diberikan samurai karena saya sangat menggemari film The Last Samurai yang dibintangi Tom Cruise yang uwu itu. Tetapi ketika saya punya samurai—meskipun bentuknya tidak sepersis yang di dalam film—itu, saya mainkan di dalam rumah, tak dinyana saya malah menyakiti sepupu laki-laki saya. Pahanya berdarah. Segaris luka tergarit dengan warna merah darah yang masih segar. Segera bapak memarahi saya karena main-main dengan senjatanya. Sepupu saya berteriak mengadu ke orangtua saya bahwa saya sengaja memainkan samurai itu untuk melukainya, tetapi saya bersikeras bahwa saya tidak sengaja, justru saya bilang bahwa sepupu saya yang mendekat-dekatkan kakinya ke lidah samurai—sungguh pembelaan yang sangat payah!

Pelajaran moral yang dapat dipetik: saya rupanya tak bertanggung jawab atas hadiah yang saya terima. Tetapi kenapa saya tidak bisa memanfaatkannya sebagaimana yang saya inginkan? Semisal menyelamatkan dunia, atau menumpas orang-orang jahat, atau untuk sekadar pamer di jalanan agar kelihatan hidup saya tidak tawar amat.

Pada kesempatan lain di waktu yang berbeda saya mengirim doa kepada Tuhan nun sana agar saya menjadi lelaki yang pantas untuk siapapun calon pendamping hidup saya selamanya di masa depan. Segera setelah saya menyampaikan doa itu, tanpa direncanakan seseorang datang ke dalam hidup saya tanpa diundang. Ia datang tanpa permisi, tetapi kehadirannya dapat mengubah segala interior batin saya dalam waktu yang gegas.

Kami berdekatan untuk beberapa lama. Saling melakukan transaksi emosional: saya memberikan sesuatu yang membuat dia nyaman, pun begitu sebaliknya. Sampai tingkat kepercayaan kami saling terikat erat bahkan sepersis jerat, mendadak semua jadi tidak ada artinya sama sekali karena satu persoalan sepele: dia masih berkomunikasi dengan mantan perasaan dia. Saya menimbang kembali keputusan untuk melanjutkan petualangan ini. Bagaimana seseorang bisa memulai hidup baru bila lubuk hatinya masih menerima beban masa lalu? Saya rasa ini skenario yang tidak mungkin. Harus berakhir. Tidak boleh berlanjut. Akhirnya, saya dengan sengaja mematahkan hati saya sendiri. Saya mematahkan hati saya lebih cepat daripada yang seharusnya, sebab, cepat atau lambat hal seperti ini sebenarnya akan terjadi.

Lantas kenapa doa saya tidak pernah tepat sasaran? Kenapa doa saya seperti panah dilemparkan oleh simpanse ke papan dart? Apakah Tuhan tidak mendengar saya? Apakah Dia tidak mengacuhkan saya yang sebegitu brengsek ini?

Tidak. Tuhan maha romantis. Dan Dia, selalu menunjukan itu dengan cara seelegan mungkin.

Beberapa minggu, bulan, pun tahun busai di kalender saya. Hari-hari tumbang di luar jendela. Satu demi satu mata rantai psikologis saya terjalin, menggusah hari-hari lama yang ditukar dengan hari-hari baru. Saya memahami, segala rasa sakit yang pernah melukai saya entah sengaja atau tidak, rupanya adalah cara paling sederhana untuk menunjukan cara agar tidak berlaku tidak adil kepada orang yang tidak pantas menerima kesedihan serupa. Segala kegelapan yang pernah mengurung saya dalam tenda murung dalam kepala sendiri, tidak lebih dari kabut asap yang diwanti-wanti agar saya tidak menggunakannya kepada orang lain.

Kita memang butuh luka. Kita butuh gelisah. Bahkan kalau perlu, dan bila kita sudah cukup bisa memahami cara berterima kasih kepada hal-hal yang tak mengenakan hati itu, kita akan menyadari seterang-terangnya betapa besar utang terima kasih yang layak diterima luka itu dari kita. Kita kuat karena bisa bertahan sampai sini. Kita bisa bertahan, karena kita pernah kecewa sebelumnya. Atau dalam bahasa Nietzche: “Apa yang tidak bisa membunuhmu, akan membuatmu menjadi diri yang lebih tangguh!”

Sekarang, bagaimana bila kebetulan saya didelegasikan tugas oleh Tuhan untuk menjawab doa-doa hamba-Nya yang terkasih dan tersisih? Sebagai bentuk cinta kasih paling tinggi, saya kira, saya tidak akan memberi jawaban yang paling gampang. Menyuapi balita itu masuk akal, tetapi menyuapi orang dewasa itu perilaku tak berakal—boleh saja, bila kau mau melihat teman kau tumbuh besar sebagai seorang monster narsistik yang bisa mendirikan partai Nazi kalau secara kebetulan dia bisa berorasi seperti orang gila.