The-Treachery-of-Images-This-is-not-a-pipe-Perhaps-the-most-famous-painting-by-Rene-Magritte
OLEH: SUHENDRA MANGGOPA
Jika hendak ditanyakan kepada
setiap orang, mungkin jawaban mereka akan beragam. Misalnya, saya akan
bertanggung jawab atas tubuh saya; saya lahir dengan tubuh saya maka saya akan
selalu menjaganya; Tuhan menitipkan tubuh ini kepada saya untuk saya tutup dan
lindungi di hadapan para lelaki; karena tubuh ini milik saya maka bebas saya
gunakan semau saya, dan seterusnya.
Beberapa jawaban di atas tidak
salah, hanya terlalu normatif untuk pertanyaan yang saya ajukan.
Jawaban-jawaban itu pada dirinya mengandaikan bias moral dan ajaran politik
tertentu.
Dalam tulisan ini, saya mencoba
melampaui pengertian-pengertian sederhana perihal tubuh dengan maksud merefleksikannya
secara filosofis dan berharap dapat menyentuh makna terdalam dari apa artinya
"memiliki tubuh."
*
Dalam sejarah panjang umat
manusia, terdapat satu era di mana sebagian orang nyaris terasing dari tubuh
mereka sendiri. Era yang kita sebut era perbudakan.
Di era itu, sebagaimana terdapat
dalam catatan kuno--Mesopotamia Kode
Hammurabi (s. 1860 SM)--perbudakan dianggap sebagai sebuah lembaga. Dan itu
merupakan hal umum pada bangsa-bangsa kuno seperti Sumeria, Mesir Kuno,
Akkadia, Elamit, Asiria, Babilonia, dan Hattia.
Dan bisa dikatakan, di zaman itu,
sebagian orang tidak benar-benar memiliki tubuh mereka. Sebab, menjadi budak
berarti kehilangan otonomi tubuh. mereka seperti benda di mata sesama spesies
mereka yang punya kedudukan khusus, para pemilik budak. Jadi berbeda dengan
seorang perempuan misalnya yang mengatakan kepada kekasihnya bahwa "aku
hanya milikmu semata". Yang terakhir ini mengandaikan consent, jadi tidak dikategorikan perbudakan. Meskipun di mata feminisme
gelombang terakhir, kesepakatan yang terjadi bagaimanapun, tidak menghapus
penanda transendental yang ada di belakangnya, yakni kekuasaan laki-laki.
Kemudian dalam perkembangannya,
muncul para nabi dan pemikir yang menyadari bahwa adalah suatu kejahatan besar
memperlakukan orang lain secara tidak manusiawi. Manusia bukanlah benda, ia
adalah tujuan; ia adalah ciptaan Tuhan, ia adalah asas dari segala nilai yang
ada di dunia.
Berkat gugatan itu, hubungan
manusia dengan sesamanya mulai membaik .Tapi saya tidak yakin jika melihat
kondisi dewasa ini. Jika saya tidak berlebihan---perbudakan masih ada tapi
dengan wajahnya baru.
Kita dapat membayangkan betapa
sakitnya jika tidak memiliki hak atas tubuh (menjadi budak), atau hanya
memiliki sebagian. Dan itu sangat mungkin terdeteksi saat orang lain terlalu
banyak ikut campur dengan urusan kita (dan sayangnya, ini sering dilakukan negara).
Anda akan merasa diri anda hanya separuh manusia, atau bukan manusia sama
sekali. Namun patut kita bersyukur, kita menikmati hak dan kebebasan jauh lebih
banyak ketimbang di masa lalu.
Dengan demikian, terlepas dari
kejahatan atas perbudakan, pertanyaannya harus kita lanjutkan: apakah lebih
bermakna jika menikmati lebih banyak kebebasan dan punya otonomi moral atas
tubuh, alias memiliki tubuh sepenuhnya? Jika dijawab secara etis, maka lebih
bermakna secara moral. Tapi jika dijawab secara eksistensial, tunggu dulu.
Tubuh, berdasar definisi
sederhananya adalah keseluruhan jasad manusia atau binatang yg kelihatan dari
bagian ujung kaki sampai ujung rambut. Dalam tulisan ini, saya memahaminya
dalam modus keseluruhan. Artinya saya membedakan diri dari sebentuk dualisme
tubuh-jiwa dan memahaminya sebagai atau sekalgius keduanya. Dengan mendasarkan
diri pada asumsi itu, maka tubuh tidak sekedar ada pada atau dalam dirinya
sendiri, ia juga adalah "being for-itself". Ia bukanlah batu atau
segala hal yang bukan manusia. Dengan kutukan yang entah ia banggakan atau
tidak, ia adalah pengada yang terangkum atau dirangkum di bawah beban struktur
dunia.
Pendasaran ini brangkali adalah
semacam justifikasi terselubung mengapa Nietzsche melihat ada keutamaan pada
tubuh. Ia tidak tahan dengan Plato dan gurunya Socrates yang secara tidak sengaja
telah mengilhami ideologi “anti-tubuh” dari agama Kristen. Sebab, menurut Plato
dan Socrates (dan bahkan kekristenan kemudian), tubuh adalah benda yang sakit
dan dunia ini adalah mitos yang paling keliru.
Selain itu, tubuh lahir dengan
ciri khasnya sendiri, yakni berpikir—salah satu alasan mengapa ia disebut homo
sapiens. Dan pada hakikatnya, ia tidak berpikir hanya dalam mode Cartesian. Ia
bepikir tentang banyak hal, bahkan tentang asal-usul dan tujuanya—atau yang
lebih mendasar—ia berpikir bagaimana ia bisa hadir dan datang di dunia ini
menerima sistem dan budaya yang sudah ada. Seperti yang ditulis Heidegger,
"seseorang lahir [sebagai] banyak orang namun mati sebagai satu
orang". Descartes tidak pusing dengan intuisi semacam ini. Ia hanya sibuk
memastikan keberadaan subjek secara ontologis-epistemologis. Padahal, tubuh
tidak sekedar soal pembedaan tubuh-jiwa, material-imaterial, dan mana yang
paling benar untuk diprioritaskan.
Jadi, ketika tubuh jatuh ke
dunia, ia juga sekaligus menemukan dirinya memikul beban eksistensial berupa
menjadi manusia; menjadi orang indonesia; menjadi anak penurut dalam keluarga
dan lain sebagainya. Ia juga harus menerima fakta alamiah seperti berpikir tapi
terbatas, berharap abadi tapi fana, atau secara absurd melakukan perlawan a la Kirilov terhadap Tuhan lewat pembuktian kemampuannya melakukan bunuh diri.
Dalam kerangka postrukturalisme,
kita bahkan bukan benar-benar diri kita sebagai subjek--sejauh subjek dipahami
sebagai tubuh--karena sudah tercemar dengan struktur imanensi bahasa. Saat
Derrida berkabung atas kematian gurunya sekaligus sahabatnya, Emmanuel Levinas,
ia menyadari ada yang pupus dari jejaring
kebahasaan. Subjek yang dulu tinggal dalam bahasa, kini telah tida.
Sampai di sini, sekali lagi,
bisakah kita temukan apa arti sesungguhnya dari memiliki tubuh? Kalau dalam
tataran etis, ini berarti meletakkan derajat kemanusiaan lebih tinggi dan
memungkinkan setiap orang hidup dengan setara. Ideologi Liberalisme
menjangkarkan dirinya lewat prinsip ini. Tapi (di sini saya harus tekankan),
arti dan fungsi etisnya hanyalah apa yang tampak di permukaan. Apa yang ada di
baliknya justru tampak suram.
Memiliki tubuh (memiliki suatu
x), seolah terlihat tidak seperti berkah karena kesadaran bahwa memiliki x
semacam upaya menyangkal kondisi faktis manusia yang sudah selalu inescapable fact. Sebab, kata
"milik" memiliki arti lain bahwa kita jangan atau tidak ingin
kehilangan sesuatu; bahwa sebagai pemilik tubuh, saya dengan sendirinya
memenuhi kebutuhan tubuh terus-menerus. Tidak hanya tubuh ini harus makan, tapi
juga harus bekerja, harus tahu informasi aktual tentang politik, tentang
korupsi, tentang selebriti dan lain-lain. Dan memliki tubuh, berarti "akan"
kehilangan tubuh; lahir dan terancam menemui ketiadaan tubuh.
Oleh sebab itu, pemberian
kekuasaan atas kepemilikan tubuh tidak secara keseluruhan menyelamatkan manusia
(secara individual), dari "perbudakan". Memang jenis perbudakan yang
lama sudah menghilang, tapi perbudakan hasrat dari tubuh tidak pernah lekang.
Memiliki tubuh, sederhanya, adalah upaya menjalani ihwal kebutuhan tubuh. Jika
melihat kondisi di abad 21, nyaris semua harapan tubuh kita terpenuhi lewat
bantuan teknologi yang melimpah. Tapi masalahnya, kata Harari, ketika harapan
sebelumnya terpenuhi, harapan baru muncul.
Pada kondisi tertentu, kadang
kita ketakutan jika tidak tahu apa yang sedang terjadi di negeri seberang, atau
apa rencana persiden untuk beberapa tahun ke depan. Kita seperti mengalami
kehausan irasional atas segala sesuatu yang terjadi di dunia. Lebih jauh lagi,
kita kehilangan refleksi untuk melihat apa yang hendak kita inginkan sebagai
tubuh.
Di antara kebiasaan modern yang paling
buruk, kata Isaac Singer (seorang penulis Amerika saat mengenang pesan ayahnya)
adalah membaca koran di pagi hari. Mengapa? Sebab, saat jiwa masih segar dan
terbuka, sudah mengalir pada diri seseorang hal buruk yang dihasilkan dunia
pada hari sebelumnya.
Kita yang berada dalam budaya
layar, mengikuti Singer, ketika bagun di pagi hari buta, pertama-tama yang kita
raih adalah gawai. Kita harus mengeceknya terlebih dahulu sebelum melakukan
aktivitas lain karena takutnya ada informasi yang luput dari sepengetahuan
kita.
Hal demikian sudah begitu lazim
hari ini. Seolah kita hanya bisa
bertahan dengan aktualitas, atau kebaruan dengan terus melahap apa yang disebut
news (hal-hal baru). Barangkali ada
pentingnya memahami pepatah Jerman ini "keine Nacricht ist eine gute Nachricht"—tiadanya berita justru
pertanda adanya berita baik.
Jadi, apa artinya memiliki tubuh?
0 Komentar