The Swing (1767) - Jean-Honore Fragonard
Pernah satu waktu ibu mengirim video
seekor bebek mengambil satu per satu makanan ikan untuk disuapi lewat paruhnya
ke arah mulut-mulut mujair yang megap-megap. Saya langsung ingat kebiasaan ibu
melempar sisa pepaya ke kolam belakang rumah hanya untuk lihat ekspresi ikan
menangkap makanan. Lucu, kata ibu.
Pemandangan bebek menyuapi mujair itu
membekas cukup lama di benak saya. Bila seekor hewan bisa mengekspresikan
bahasa kasihnya melampaui perbedaan spesies dah habitat, kenapa manusia justru
bisa saling membinasakan—bukan hanya spesies lain—spesiesnya sendiri?
Ibu punya hati selembut awan kapas. Apapun
yang datang darinya adalah kasih. Sampai hari ini masih teka-teki bagi saya,
sebenarnya apa yang dipikirkan Tuhan ketika menciptakan hati seorang ibu?
Darinya saya belajar, bahwa cinta itu bahasa yang sangat universal, melampaui
perbedaan kasta, kelas, bahkan spesies. Tetapi ketika diungkapkan, ia menjadi
bahasa yang partikular. Untuk kakak kedua saya, bahasa kasih itu menjelma jadi “jaga
kesehatan”. Untuk saya, bahasa kasih itu jadi “jangan begadang”. Kakak pertama
saya sendiri sekarang membalas bahasa kasih ibu dengan cucu pertama bernama
Arif.
Di antara kakak beradik, sesuai pengakuan
ibu, katanya sayalah paling romantis (bakat yang saya yakin terasah setiap kali
meminta uang bulanan ke ibu). Dalam keluarga, saya yang paling sering
mengingatkan perayaan hari ibu atau hari ayah. Meski begitu, kakak kedua selalu
bilang bahwa setiap hari kita patut merayakan rasa sayang kepada orangtua.
Cinta memang tidak punya tanggal lahir, dan tak terbatas waktu pun ruang.
Tapi kata Emilie Durkheim, simbolisme
maupun prosesi itu diperlukan dalam komunitas sosiologis. Simbol membantu
solidaritas sosial terekat erat. Seorang Nasrani Evangelis dan Saksi Yehovah
bisa menemukan keterikatan emosional bila mereka memegang salib yang sama,
tanpa perlu saling mengenal satu sama lain. Seorang bersuku Bolaang Mongondow
dan Sunda bisa saling bekerja sama di bawah nama nasionalisme meskipun mereka
asing satu sama lain. Simbol membuat umat manusia bisa bekerja sama dalam
jumlah besar dan fleksibel. Para pembaca Harari barangkali akan bilang bahwa
itu fiksi, tapi mereka tak bisa mengelak bahwa itu termasuk fiksi positif.
Satu di antara simbol yang dirayakan setiap
tahun di seluruh dunia bertengger di angka empat belas Februari. Masih belum jelas
latar belakang tanggal itu ditetapkan sebagai hari berkasih-kasihan, tapi kalau
ingatan saya tidak berdusta, kisah itu berkisar tentang tragedi seorang bernama
Valentino. Kisah Valentino ialah salah satu bukti cinta yang kuat biasanya
muncul dalam tragedi, yang kata Aristoteles, adalah proses katarsis diri
(penyucian jiwa). Kita bisa lihat itu dari epos Layla-Majnun maupun Romeo-Juliet;
seolah-olah cinta jauh lebih kuat daripada maut. Dan dari kisah-kisah besar
tentang cinta, selalu kita temukan harapan dan keberanian, selalu kita dapat
menemukan seratus mengapa untuk
menjawab seribu bagaimana (sebagaimana
ujar Nietzche: hanya mereka yang mengetahui mengapa
yang bisa menjawab bagaimana).
Di Indonesia sendiri Valentine disambut
dengan jargon “bukan budaya kita”. Jargon itu kerap bergema acap kali kita
ketemu dengan perayaan tahun baru, Halloween, dan semacamnya. Seolah ada yang
namanya “budaya kita”. Sebab bila kita jujur, bukankah sebagian besar tanggal
merah yang mewarnai kalender adalah produk import dari luar Indonesia? Lebih
dari itu, kita mungkin perlu merenungi fakta bahwa nama Indonesia sendiri pun
tak diciptakan oleh pribumi.
Beberapa yang lain meramaikan Valentine
dengan selebaran, brosur, atau spanduk bertulis “Indonesia tanpa pacaran” atau “budaya
orang kafir” atau “hari perzinahan” atau sejenis itu. Mereka barangkali akan
mengungkit konsep tasyabuh (barang
siapa menyerupai satu kaum, maka ia bagian dari kaum itu) tanpa disertai dengan
asbab al-nuzul hadisnya. Toh mereka menolak
Valentine atas dasar rasa cinta kepada dogma agama yang mereka kepal. Dengan
kata lain, mereka yang ramai-ramai menolak Valentine sebenarnya lagi
merayakannya meski tidak dengan cokelat atau bunga; mereka lagi mengekspresikan
cinta di hari Valentine dengan menentang Valentine.
Jadi sebenarnya sama saja. Baik yang bersepakat
dan tidak bersepakat dengan Valentine, sedang merayakan cinta dengan bahasa
mereka masing-masing. Sebagaimana pelajaran yang saya petik dari ibu: cinta itu
universal sebagai realitas yang mendahului bahasa, tetapi relatif-partikular
sebagai tafsir. Di hari Valentine, setiap orang boleh mengekspresikan yang
universal itu dengan cara santuy atau
ngegas, dua-dua dibolehkan.
Kita tentu bisa memakai pelbagai kutipan
dari para filsuf yang bijaksana untuk bicara panjang lebar soal cinta ini. Tapi
bagaimana pun, cinta tetap adalah bahasa yang tak terbatas. Sebagaimana
filsafat yang berakar dari kata phillo yang
artinya cinta tetapi filsafat tidak pernah bisa mendefinisikan cinta sampai
hari ini. Sebab sebagaimana Tuhan, bagaimana bisa kita membicarakan yang tak terbatas
dengan bahasa yang terbatas?
Cinta tetap diekspresikan sesuai dengan
level gagasan masing-masing tiap orang yang senantiasa berbeda-beda. Bila Anda
suka budaya populer, Anda mungkin mengungkapkannya dengan “I love you 3000”. Bila Anda seorang yang Islami Anda akan bilang “’ana uhibbuki fillah 3000”. Bila Anda
berasal dari budaya Bolaang Mongondow saya akan bilang “akuoi moibog koinimu 3000”. Ketiga-tiga itu punya makna yang sama,
tapi diungkapkan dengan bahasa berbeda. Sebagaimana bahasa kasih ibu di mata
kakak saya adalah “jaga kesehatan” atau bahasa kasih ibu kepada kami adalah
video bebek yang memberi makan mujair-mujair atau bahasa kasih bapak adalah
lelucon garing yang membuat kami takut menjadi anak durhaka kalau tidak tertawa
atau bahasa kasih saya kepada kalian adalah tulisan ini yang sangat sederhana.
0 Komentar