1.
Kau makan di warung Tegal yang kata
teman-temanmu ramah harganya. Seperti biasa, kau tidak pernah benar-benar tahu
apa yang mau kau makan, dan memilih teman nasi hanya karena didesak oleh
penjaga warung yang entah kenapa membuatmu tergesa-gesa menunjuk ikan goreng,
kikil, dan tempe. Di tengah-tengah aktivitas makan, kau tidak peduli lagi
dengan apa yang baru saja kau pesan. Setelah dipikir-pikir, kau memang tidak
pemilih dalam soal lidah dan perut.
Kau ingat belum ke ATM dan uang yang kau
bawa kurang seribu rupiah dari harga makanan. Kau minta izin kepada penjaga
warung untuk ke ATM di seberang. Kau kembali dengan mulut mengunyah permen
karet. Penjaga warung tertawa melihat tingkahmu. “Aneh,” katanya. Kau tahu
warung itu cukup supel karena terbiasa membiarkan pelanggan mereka berutang.
Kenapa membayar utang dengan cepat adalah perkara aneh?
Lalu kau teringat sepetik nasihat Lelaki
Tua-nya Ernest Hemmingway yang kau baca di cerpen terpanjang yang awalnya kau
kira novel: “pertama-tama kau berutang, lalu kau miskin…”
2.
Kau melihat kertas tempel berwarna kuning
mustard bertulis angka dua puluh sembilan di belakang meja laptopmu lalu
menghitung dengan jari. Satu… dua … tiga… Baru tiga, tapi terasa seperti
selamanya. Hari-hari tumbang di luar jendela, tetapi ukuran waktu di dunia
dalam pojok rahasia dadamu begitu misterius.
3.
Youtube mengantar kau ke ceramah yang
diisi oleh Joko Pinurobo lalu tiba-tiba terbit rasa ingin untuk pergi ke tempat
ngopi sembari membaca lagi buku puisi lama yang tak lagi kau sentuh. Kau telah
banyak membaca buku puisi sampai halaman paling terakhir tetapi tidak pernah
benar-benar memahami seratus persen apa yang dibicarakan buku itu. Kata
Sapardi, puisi memang seperti bermain tebak-tebakan. Kata Aan Mansyur, puisi
seperti membawa sesuatu ke dunia entah dan pulang membawa sesuatu yang lain
yang berbeda-beda untuk tiap orang.
Kau ingin ke Skema, tetapi melihat awan
berwarna arang yang semakin dekat dengan tempat berdiri, kau memilih tempat
paling dekat. Sans.co. Di sana, secara kebetulan kau ketemu dengan teman yang
pernikahannya tidak sempat kau datangi karena tidak berada di Bandung. Kau
memang aneh. Kau sulit ditemui lewat janji tetapi begitu gampang ditemui oleh
kebetulan. “Seperti dibimbing takdir,” kata teman kau.
Memang akhir-akhir ini, rasanya kau sedang
asyik main petak umpet dengan takdir.
4.
Sebuah hari telah menguras mental kau. Kau
tahu itu dari suara-suara yang yang lebih sengit dalam kepala kau daripada riuh
sekeliling café yang saling berebut perhatian. Konsentrasi kau seperti kereta
yang terputus. Seharian itu kau telah berbicara lebih banyak daripada biasanya,
kau bahkan tak bisa mengenali suara kau sendiri. Tidak seperti biasanya, kau
pulang lebih cepat.
Pukul 01.26: kau dikageti suara
orang-orang bermain gim di seberang kamar indekos. Kau keluar, menghentakkan
kaki, membanting pintu toilet, lalu kembali ke kamar. Keributan di seberang
belum reda. Kau menghampiri tetangga itu, lalu meminta dengan nada tinggi agar
ia diam. Kau sudah lupa kapan terakhir kali tidak bisa menahan amarah.
Barangkali ini efek putus nikotin setelah sebulan, pikirmu—kau ingat seorang
kawan bilang ia sering naik pitam ketika melepas sigaret. Di dalam remang kamar
itu kau dengar cicak berdecak seperti mengolok-olok. Kau membaca ayat kursi
tiga kali, lalu tertidur.
Pukul tujuh pagi: mantan pacar kau
mengajak main PUBG, kau bingung sebab ia tak pernah mau menginstal gim itu dan
dia tahu kau tak mungkin melakukan hal yang serupa. Lalu kau tersinggung.
Beberapa detik kemudian kau lihat ia dikejar karma. Lalu kau terjaga dengan denyut
nadi yang saling memburu. Mimpi buruk, batin kau.
5.
Kau berutang percakapan kepada seseorang
yang berpapasan dengan kau di antara malam ke arah pagi. Ia bilang kau lebih
cocok dipanggil Moko ketimbang Tyo. Tetapi kau tidak bisa karena kau pikir huruf
paling konyol adalah “o”, dan huruf itu senang menyelinap di tengah-tengah
bahasa ibu kau, pun di belakang nama kau. Kau percaya tiap aksara memiliki
karakternya masing-masing: “a” adalah huruf paling bahagia, “i” huruf paling
melankolis, “e” huruf paling aneh, dan “u” huruf paling jauh. Kau hanya memilih
beberapa huruf itu karena mereka memang yang paling vokal.
Kau mendengar dia bicara tentang novel
yang ia jadikan makam perasaan kepada seorang bernama seperti penjual jus di
belakang kampus, lokasi paling tepat menatap matari pulang tidur dari Candi
Sewu, perjalanan sendirian ke rahasia Blora dan soto batok kelapa, kopi jos
dekat stasiun Yogyakarta yang ditandai spanduk warna biru, dan tersesat di
tengah-tengah huru-hara Taman Sari yang demontrasinya bahkan tidak ia ikuti
sama sekali.
Entah kenapa tiba-tiba kalian menyinggung
kesehatan mental manusia kiwari, lalu diminta menonton “Pilu Membiru
Expriences”-nya Kunto Aji yang konon selalu berhasil membuatnya menangis bahkan
setelah tiga kali diulang-ulang. Kau pernah mendengar lagu itu mampir di lalu
lintas youtube kau, tetapi tidak pernah benar-benar mendengarnya, atau kau
pernah mencoba mendengarnya tapi tidak pernah benar-benar mau memahaminya.
Lalu entah kenapa kau menyimpulkan bahwa
delapan menit suara bisa berkuasa meringkas seribu kisah manusia yang semuanya
tidak kau kenal, tetapi kesepian mereka rasanya mengenali kau lebih dari kau
mengenali dirimu sendiri. Setelah itu ia menawarkan “Langit Abu-Abu”-nya Tulus,
tetapi kau perlu menikmati after taste
lagu sebelumnya. Tiba-tiba kau butuh kopi.
6.
Kau baru saja pulang dari diskusi. Mampir
di indekos meletakkan ransel, lalu mengganti celana yang lebih nyaman. Di luar
tingkap langit kedengaran galak. Jadi sebelum hujan melebat kau cepat-cepat
berjalan ke warung Tegal di perempatan Dago yang ramah untuk spesies seperti
kau. Kau tiba tepat sebelum hujan benar-benar padat.
“Soto ayam, A?” sambut penjaga warung sebelum
kau membuka mulut, kau hanya balas mengangguk karena kau memang hendak memesan
itu—kali ini kau benar-benar mau makan soto hangat. Benak kau agak terganggu
dengan penjaga warung yang mukanya seperti tokoh film kartun itu. Ia punya kebiasaan
menghapal pesanan tiap pengunjung. (Kau tentu tersanjung karena ada yang
mengingat apa yang mau kau makan, kau hanya tidak menyangka sanjungan itu
justru muncul dari seorang om-om.) Kau percaya bahwa mengingat hal-hal kecil
yang sangat mendetil dari seseorang adalah cara tercepat membangun koneksi
interpersonal. Kau juga percaya bahwa ingatan fotografis wajib dimiliki agen
rahasia negara mana pun. Akhirnya kau bisa memaklumi kenapa tukang nasi goreng
di depan sekretariat organisasimu sering dicurigai sebagai Intel.
Soto telah kering berpindah sebagai
keringat di kening kau. Di jalan pulang indekos, kau mengikuti ekor sebutir
hujan yang sudah tidak begitu lebat kemudian menyadari belum mengganti kemeja.
Kau merasa pakaian atas dan bawah kau kontradiktif dari segi warna dan segi
mana pun. Yang paling membuat kau terkejut: kau sama sekali tidak peduli.
7.
(Kau lagi belajar menunggu, dan ternyata
tidak gampang. Kau merasa tersesat di tengah-tengah ruang gelap dengan mata
tertutup sedangkan satu-satunya hiburan kau hanya menangkap kucing hitam bernama
Schrödinger.)
Tiga puluh sembilan hari tumbang di luar
jendela: takdir memang lagi main petak umpet dengan kau, dan kau mahfum bahwa
takdir tidak getir, ia hanya sedikit jahil. Sebab dari ia kau temui pertanyaan
semacam “kenapa orang yang tepat selalu datang terlambat?”
…….
“Kenapa orang yang tepat selalu datang
terlambat?” Kau tidak bisa menjawab, sebagaimana kau tak tahu di mana selama
ini tanya itu menetap. Tapi masihkah punya waktu untuk menyusul semua cerita
yang lewat, segala yang tertinggal dari pengetahuanmu, masihkah bisa kau jadi
sejarawan dari seluruh cerita yang bahkan tak ia bicarakan kepada orang
terdekatnya? Bisakah kau memahami setiap inci kata dari doa yang ia percakapkan
dalam gumam di sepertiga malam? Kau ingin memiliki kesegalaan itu, sebagaimana
kini sudah kaupertaruhkan seluruh mata uang keyakinan yang tersisa dari yang
pernah diremuk-redamkan oleh mereka yang kau kira layak dititipkan. Kau
belajar, bahwa mata uang di tengah hari-hari sulit adalah kesetiaan. Di luar
itu hanya kemiskinan.
Padahal, kau tahu bahwa jatuh cinta tidak lebih dari bahaya yang
tertunda. Dan kau masih belum kapok-kapok juga.
0 Komentar