Di sudut kiri kafe, kebisuan mengunci
tubuhku. Aku duduk sendirian di kursi dan meja yang memanjang, dikelilingi
koran lama yang tertempel di dinding. Di luar pondok ini, matari Jogjakarta
sedang genit-genitnya. Di tempatku duduk, bisa kusaksikan kemegahan Alun-Alun
yang damai bermandikan cahaya matahari. Angin sepoi-sepoi tak ketinggalan ikut
serta dari situasi ini, barisan pohon yang mengitari situs penting Jogjakarta
bertugas laksana dayang-dayang yang meredam sengat terik yang tersisip di antara
lembut cahaya langit. Kopi sudah kupesan, tak lupa tempe mendoan isi lima
dengan kecap yang dihiasi cabe hijau di dalamnya. Seandainya aku masih merokok,
kurasa kebahagiaan spiritualku akan lebih sempurna di sini.
Kedua bola mataku bekerja tanpa perintah.
Dua benda bulat cokelat itu punya ingatan yang berdiri sendiri dari kehendak
bebasku. Ia mencari-cari sudut di mana sebuah foto pernah tertangkap, foto yang
memampang dua anak muda setelah menutup mata dengan kain hitam dan kalau tak
salah mereka baru saja gagal menyeberangi pintu gerbang Alun-Alun yang konon
katanya tidak mengizinkan orang-orang dengan intensi hati yang tak baik
menembusinya. Foto itu pernah aku pampang di feed IG-ku ketika perayaan delapan tahun pacaran. Saat itu aku
memakai sweater hitam dan perempuan itu kalau tak salah berpakaian krem.
Jilbabnya bersandar di bahu kiriku, dan aku tertawa dengan mata khas orang
Tionghoa.
Bagi lelaki lain, datang ke tempat yang
sama yang pernah mengukir cukup banyak cerita adalah risiko berbahaya bagi
orang yang hendak bangkit dari patah hati. Idealnya, bila ingin melakukan “uji
nyali” macam itu, lakukanlah setelah proses empat bulan berpisah—skala waktu
itu kerap dianggap sudah cukup stabil bagi emosi. Saya ingin cepat-cepat
menggusah cerita lama itu di kepala saya. Entah saya dengar dari podcast siapa,
tetapi mendatangi tempat yang memorable harusnya
jadi langkah penting untuk memutus mata rantai psikologis kita akan tempat itu
dan menulis narasi baru akan tempat tersebut; seperti proses mengedit kembali
tulisan yang telah rampung. Bila saya tidak melakukan hal begitu, akan sangat
mungkin besok-besok hari saya datang ke tempat yang sama hanya untuk menikmati
patah hati.
Refleksiku terhenti sejenak diinterupsi
bau rumput dan aroma kopi yang ketemu di tengah udara. Hari sudah siang, lambat
laun warna langit bergradasi. Awan-awan murung terlihat sedang mendekat dari
jauh. Nyanyi kicau burung yang dari tadi datang dan pergi kini terdengar makin
menjauh suaranya. Udara yang mulanya sepoi-sepoi terasa semakin dingin. Aku
tahu dingin macam ini, dingin yang akan menurunkan suhunya sampai bisa
menembusi sumsum tulang kita yang paling inti. Sebentar lagi akan hujan, dan
kemampuanku bersedih rupanya sudah luntur lebih dahulu. Aku akhirnya mahfum,
kesehatan akan menyukai mereka yang benar-benar mendambakan kehadirannya,
kedamaian jiwa akan mendatangi mereka yang benar-benar mengizinkan hatinya
untuk dikunjungi. Aku telah berserah diri bersama rahasia bahasa alam di
sekitarku, dan aku ingin menanamkan percaya jauh ke akar batinku terpalung,
bahwa aku tak bisa lagi dikalahkan oleh kehendak hati yang lemah yang bahkan
tak mampu menegakkan pandangan setelah seribu badai langkisau yang berpusing
sebagai roda berputar di kepalaku.
~ Kedai kopi Margomulyo, 25 Februari.
0 Komentar